Virus Corona

Pandemi Covid-19 Belum Usai Volume Limbah Medis Meningkat, Berikut Praktik Pengolahannya 

Peningkatan volume limbah medis menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi Indonesia, seiring dengan adanya Pandemi Covid-19

Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO
Ilustrasi tempat sampah infeksius guna menampung limbah medis B3 berbahaya sekali pakai. TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO 

TRIBUNKALTIM.CO, SOLO – Peningkatan volume limbah medis menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi Indonesia, seiring dengan adanya Pandemi Covid-19.

Satu di antaranya yang terjadi di Surakarta, Jawa Tengah.

Seperti halnya daerah-daerah lain, kota kelahiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini juga terus bergulat dengan adanya limbah-limbah medis.

Bukan sekadar limbah saja, namun masuk kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

Baca Juga: UPDATE Virus Corona di Kalimantan Timur, Penambahan 12 Kasus Terkonfirmasi Covid-19

Sifatnya pun infeksius, bisa saja menularkan penyakit pada manusia rentan apabila tidak tertangani dengan baik.

Kasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surakarta Herri Widiyanto mengatakan volume limbah medis memang mengalami peningkatan.

“Kenaikan limbah B3 nasional rata-rata 30 persen, sedangkan di Surakarta untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) rumah sakit (RS) di kisaran 20 persen, kemudian Fasyankes Puskesmas itu di kisaran 10 persen,” ujar Herri kepada Tribunnews, Selasa (31/5/2021).

Pihaknya mengatakan tingginya aktifitas fasilitas pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit infeksius di masa pandemi menjadi faktor peningkatan volume sampah medis, di antaranya vaksinasi.

Baca Juga: UPDATE Virus Corona di Indonesia Sabtu 29 Mei 2021, Total Positif 1.809.926 Kasus, Meninggal 50.262 

Selain itu juga adanya limbah medis sekali pakai, seperti masker, sarung tangan, dan hazardous material (hazmat), jarum suntik, kapas, tisu, makanan sisa pasien, dan lainnya juga turut serta ikut andil.

“Kalau rata-rata di Kota Surakarta untuk limbah karakteristik infeksius itu mencapai  5 ton hingga 7 ton per hari untuk fasyankes RS, Puskesmas termasuk laboratorium kesehatan di seluruh kota Surakarta,” tutur Herri.

Herri menyebut saat ini laporan penanganan limbah medis dari Fasyankes dilakukan per minggu.

Sementara untuk pengolahan limbah medis pun pengelolaan serta distribusinya sudah tercatat secara detail.

Insinerator di Rumah Sakit

Saat ini baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Moewardi yang memiliki alat pembakar limbah atau insinerator.

Bahkan RS yang terletak di Jl Kolonel Sutarto No.132, Jebres, Kecamatan Jebres, ini sudah memenuhi standar olah limbah dan mengantongi izin nasional.

Terkait pengolahannya, lanjut Herri, limbah medis infeksius dibakar dalam tungku pembakaran, mengkonversi materi padat sampah menjadi materi gas dan abu (bottom Ash dan fly Ash).

“Sementara rumah sakit tipe B dan C hingga fasyankes lainnya menggunakan pihak ketiga,” jelas Herri.

Baca Juga: UPDATE Virus Corona di Indonesia, Per Hari Program Vaksinasi Covid-19 Menyentuh Angka 500 Ribu

Namun memang semua rumah sakit di Surakarta sudah memiliki mesin penyimpan limbah sementara yang sesuai standar.

Tempat penyimpanan ini dikhususkan, masuk ke mesin pendingin untuk masa simpannya maksimal adalah 2 x 24 jam.

Disimpan di tempat penyimpanan dengan suhu di atas 0 derajat, dan sampai 90 hari jika disimpan di tempat dengan suhu kurang dari 0 derajat.

Bekerja Sama dengan PPLI

Herri mengatakan pengolahan limbah medis di Kota Surakarta masih melibatkan pihak ketiga, termasuk bekerja sama dengan PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI).

RSUD Dr Moewardi misalnya, walaupun sudah memiliki insinerator namun tetap belum bisa mandiri mengolah bottom Ash dan fly Ash.

“Hasil dari pembakaran di insinerator ini yakni bottom Ash dan fly Ash, pengolahannya masih bekerja sama dengan pihak ketiga yakni PPLI, karena memang di Surakarta belum ada lahan untuk sanitary landfill atau penimbunan terkendali,” lanjut Herri.

Dengan kata lain abu sisa insinerator ini  ditimbun di landfill  karena  abu  insinerator mengandung bahan-bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan termasuk parameter-parameter logam.

Baca Juga: Kamar di Hotel Grand Tiga Mustika Balikpapan Tersisa 94 Kamar, Dipastikan Kosong Sepanjang Isolasi

Sementara itu Manajer Humas PT PPLI, Arum Pusposari menjelaskan, memang tidak dipungkiri penanganan limbah medis cukup kompleks.

“Karena dia tergolong sebagai limbah yang infeksius jadi sifatnya dia beracun dan bisa menular dan  menginfeksi orang,” katanya kepada Tribunnews, Selasa (1/6/2021).

Maka dari itu treatment pengolahannya harus detail, mulai dari limbah datang, packaging limbah, pembakaran, hingga akhirnya dapat aman dilepas ke alam.

Proses pengolahan limbah

Limbah infeksius yang dihasilkan dari tempat medis dan diolah ke PPLI akan memiliki packaging berwarna kuning,

“Sehingga orang tahu bahwa limbah ini adalah limbah infeksius, kemudian tidak hanya dibungkus plastik juga dilengkapi dengan box, kemudian akan diangkut dengan kendaraan khusus yakni refrigerator truck atau truk pendingin,” kata Arum.

Suhu dalam refrigerator truck mencapai sekitar -18 Celcius, hal ini agar menjaga limbah medis tetap aman, tidak mudah bereaksi bakteri dan kuman-kumannya.

Bukan hanya soal moda transportasi saja, PPLI juga menjaga profesionalitas pengendara refrigerator truck.

Mereka akan menggunakan alat pelindung diri yang lengkap.

Mereka menggunakan pakaian khusus pelindung diri, menggunakan respirator, sepatu safety, kacamata globe, sarung tangan, sehingga saat mereka mengambil limbah itu mereka betul-betul terlindungi.

“Para petugas pengambil limbah juga melalui proses pelatihan, sehingga akan profesional ketika di lapangan, mereka pun tahu bagaimana bertindak cepat ketika ada tumpahan limbah atau kebocoran limbah, jadi memang dedicated person-nya itu ada,” imbuhnya.

Lalu setelah limbah diangkut ke PPLI, akan ditimbang untuk mengetahui tonasenya.

Dan setelah itu akan dibakar limbah medis akan dibakar di incinerator, di mana dalam hal ini PPLI masih menggunakan jasa pihak ketiga.

Namun walaupun demikian kini PPLI akan mengoperasikan insinerator pengolahan limbah yang rencananya akan beroperasi bulan depan, lanjut Arum.

Insinerator ini nantinya akan berlokasi di pusat fasilitas pengolahan limbah B3 PT PPLI di Bogor, Jawa Barat.  

Memungkinkan untuk menghilangkan racun B3 dari bahan yang tidak cocok untuk diolah secara teknologi waste-to-energy maupun landfill.

“Kapasitas pengolahan adalah 50 ton per hari, dan akan beroperasi bulan depan,” ungkapnya.

Landfill dan Tanah Subur

Abu sisa pembakaran limbah di insinerator atau bottom Ash dan fly Ash akan ditimbun di area Landfill PPLI.

Seperti halnya RSUD Dr Moewardi Surakarta.

“Abu sisa yang ditimbun di area landfill, tidak akan berbahaya bagi alam dan, karena titik panas pembakaran di insinerator itu sudah cukup untuk menghilangkan atau membunuh kuman serta bakteri infeksius yang ada dalam limbah medis,” kata Arum.

Hingga hasilnya nyata terhampar di Kawasan Eco-Landfill PPLI, hasil pengolahan limbah bisa ditimbun di dan tetap bisa ditanami pepohonan atau tumbuhan.

Tanah tetap subur dan tidak tercemar limbah, tentu saja menjaga bumi tetap lestari.

Seperti diketahui PT PPLI telah berdiri sejak 1994, PPLI memang fokus menyediakan jasa pengumpulan, daur ulang, pengolahan, serta pembuangan limbah B3 maupun non-B3. PPLI adalah perusahaan Indonesia yang sahamnya 95 persen dimiliki oleh DOWA dan lima persen sisanya milik Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

(Tribunnews.com/Garudea Prabawati) 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Menilik Proses Pengolahan Limbah Medis, dari Toksik hingga Aman Bagi Bumi

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved