Virus Corona di Kaltara
Plt Dirut RSUD Tarakan Sebut Varian Virus Delta Lebih Cepat Menular
Varian baru jenis delta mutasi dari virus induk Covid-19 sudah mulai muncul di Indonesia.
TRIBUNKALTIM.CO, TARAKAN - Varian baru jenis delta mutasi dari virus induk Covid-19 sudah mulai muncul di Indonesia.
Di beberapa provinsi pun sudah dilaporkan varian baru tersebut.
Dikatakan dr. Frangky Sientoro, Plt Dirut RSUD Tarakan Provinsi Kaltara sekaligus Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Kaltara, varian baru tersebut lebih cepat menularkan.
Ia menjelaskan secara medias, varian ini secara ilmiah memiliki genotipe berbeda dari virus awalnya atau induk virusnya.
“Virus itu genotipenya itu gen, berurutan. Nah varian yang berubah itu menyebabkan variasi dari tipe. Nah variasi daripada tipe ini bisa mejadi lebih hebat atau rentan terhadap obat,” ungkap dr. Frangky.
Baca juga: Virus Delta Dikabarkan Masuk Kaltim, Dinkes Minta Bukti Otentik Langsung dari Kemenkes
Pada umumnya lanjut dr. Franky, biasanya sesuatu yang sudah bermutasi akan lebih kuat.
Alasan terjadinya mutase karena adanya gangguan terhadap genotype awalnya.
“Kalau virusnya aman saja, tidak diganggu maka tidak akan bermutasi. Namun ketika diganggu dengan obat-obatan maka saat dia belum mati betul dan keluarlah mutasinya atau keturunannya,” ungkap dr. Frangky.
Terhadap vaksin lanjutnya, efektivitas Sinovac terhadap varian Delta hanya 40 persen.
Berbeda saat melawan virus awalnya, bisa sampai 70 persen melawan Covid-19.
“Katakanlah dari 100 orang maka hanya 40 orang yang terlindungi. Varian baru ini kemungkinan membentuk keturunan lebih kuat. Terjadi mutasi karena faktor tadi,” ujarnya.
Kembali disinggung penyebab awal terjadinya mutase genetic karena ada pasien yang belum sembuh lalu melarikan diri sehingga mengganggu proses menuju kesembuhan.
Ia meluruskan, saat nii tidak ada obat 100 persen bisa mengobati Covid-19. Karena tak bisa maksimal 100 persen membunuh Covid-19, maka dia bermutasi saat diberikan obat.
“Menghasilkan keturunan. Caranya dia bermutasi tadi tersusun genomnya genotipenya dan itu ada rumusnya dia berputar. Kecepatan penularan Delta lebih berbahaya. Virulensinya dan daya tularnya lebih kuat,” bebernya.
Jika virus awal hanya tinggal di area tenggorokan, varian Delta bisa sampai di paru-paru hidupnya. Kareanya orang yang cepat merasa sesak bisa jadi sudah tertular varian baru Covid-19 ini.
“Varian baru ini bisa di mana saja. Kalau yang virus awal di tenggorokan, dia masuk ke paru-paru dan menyebabkan lebih cepat rasa sesak,” ungkap dr. Frangky kepada TribunKaltim.Co.
Itu terbukti penularan dan masa gejala lebih cepat dirasakan pasien. Di virus awal, tunggu berhari-hari baru bisa merasakan sesak.
Baca juga: 5 Balita Terpapar Covid-19, Dinkes Khawatir Virus Varian Delta Mulai Masuk ke Bontang
Namun di varian baru ini perjalanan dari tenggorokan sampai ke paru-paru cukup cepat.
Adapun media penularannya, teori yag digunakan masih melalui droplet.
“Inikan teorinya menular lewat pernapasan hidung da mulut. Untuk Kulit belum ada penelitian dan belum ada ditemukan teorinya. Bahkan terbaru selain Alpha dan Delta, muncul varian baru yaitu Lamda dan ini masih diteliti,” tukasnya.
Sebelumnya pada Jumat lalu, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penyebaran varian delta sudah ada di luar Pulau Jawa.
Ia megakui sudah berkomunikasi dengan tim epidomologis dan diskusi dengan diaspora Indonesia di luar negeri.
Penemuan kasus Delta itu setelah adanya penelitian di Inggris. Ada dua ciri-cirinya dibeberkan Menkes Budi. Pertama CT-nya lebih rendah. CT value adalah singkatan dari cycle treshold value.
Secara sederhana, CT value adalah indikator yang menunjukkan perkiraan jumlah materi genetik (RNA) virus pada sebuah sampel.
Sampel yang dimaksud adalah air liur yang didapatkan dari rongga saluran pernapasan, baik hidung maupun mulut.
Baca juga: JANGAN Takut Divaksin, WHO Sebut Semua jenis Vaksin Efektif Melawan Covid-19 Varian Delta
Kemudian ciri-ciri kedua yakni masa aktifnya lebih cepat dan sembuhnya pun lebih cepat.
“Tapi meningkat keparahanya lebih cepat sehingga intervensi perawatannya di setiap rumah sakit pasti berbeda. Dari angka seperti ini kita sudah mecoba melakukan simulasi menggunakan CT,” pungkasya. (*)