Berita Nunukan Terkini
Pedagang Sembako di Nunukan Beralih Dagang Tas Anyaman Khas Tidung
Gara-gara pandemi Covid-19 pedagang sembako di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, ini beralih dagang tas anyaman.
TRIBUNKALTIM.CO, NUNUKAN - Gara-gara pandemi Covid-19 pedagang sembako di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, ini beralih dagang tas anyaman khas Tidung.
Bagi H Salbiah (52), untuk bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19 harus bisa keluar dari zona nyaman.
Saat ditemui TribunKaltara.com, dikediamannya di Jalan Sanusi, RT 06, Kelurahan Nunukan Barat, Salbiah mengaku sudah berdagang tas anyaman khas Tidung tiga tahun yang lalu.
Salbiah mulai termotivasi saat menghadiri perayaan ulang tahun di rumah adat Tidung.
Baca juga: Dinkes Tana Tidung Akan Gelar Pre Test Filariasis Pada Malam Hari, Ini Alasannya
Baca juga: PPKM Kabupaten Tana Tidung Turun ke Level 2, Bupati Ibrahim Ali Minta Masyarakat Tetap Taati Prokes
Baca juga: Hari Kesehatan Nasional, Dinkes Kabupaten Tana Tidung Buka Pelayanan Gerai Vaksin Covid-19
Ia sedih melihat tak ada satupun kerajinan khas Tidung yang bisa dipajang di balai adat mereka.
"Saya sebelumnya pedagang sembako. Tapi karena pandemi, jadi mau coba usaha lain. Kebetulan waktu acara ulang tahun di balai adat, saya sedih lihat tidak ada kerajinan tangan di situ. Mulailah saya berpikir untuk mencari kerajinan tangan apa yang cocok untuk dipajang di balai adat kami," kata Salbiah kepada TribunKaltara.com, Minggu (14/11/2021) sore.
Singkat cerita, Salbiah lalu menemukan ide untuk mencari tahu cara membuat tas anyaman khas Tidung dari bahan Pandan Purun.
Menurut ibu dua anak itu, Pandan Purun merupakan tanaman yang sudah digunakan oleh para leluhur mereka untuk membuat kerajinan tangan.
Baca juga: Bupati Ibrahim Ali Sebut Masalah Aset di Kabupaten Tana Tidung Jadi Catatan KPK
Daun Pandan Purun itu sudah dari nenek moyang kami gunakan untuk membuat kerajinan tangan.
Seperti untuk membuat tas, tikar, tempat kintung atau tempat lauk, tempat padi, dan hasil panen.
"Kalau di Nunukan bisa kita temukan di dekat sungai atau rawa," ucapnya.
Untuk sementara ini, Salbiah menuturkan, dirinya belum bisa memproduksi tas anyaman khas Tidung itu sendiri. Lantaran, kesulitan mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang konsen di bidang kerajinan tangan.
Baca juga: Peringatan Hari Pahlawan di Tana Tidung, Bupati Harapkan Generasi Muda Punya Semangat Gotong Royong
"Saya belum bisa produksi sendiri. Butuh SDM (sumber daya manusia) juga. Masih agak susah kalau di Nunukan ini apalagi ini pandemi. Orang lebih memilih mabetang (ikat rumput laut)," ujarnya.
Sehingga, sementara ini Salbiah mendapatkan tas anyaman khas Tidung itu dari Samarinda, Kalimantan Timur.
Tak sampai di situ, saat barang tiba Salbiah menambah beberapa bagian dalam tas anyaman tersebut. Seperti kain furing dan resleting tas, sesuai permintaan konsumen.
"Saya pesan dari Samarinda itu setengah jadi. Biasanya kan agak kasar di dalam tasnya, jadi saya pasang furing. Kalau ada konsumen yang mau tambahan resleting, bisa juga," tuturnya.
Tas anyaman khas Tidung yang didatangkan dari Samarinda itu, bermacam-macam motifnya. Semua itu kata Salbiah tergantung permintaan konsumen.
Untuk harga jual tergantung besar kecilnya ukuran tas termasuk original atau calour.
"Saya ambil ada yang original (tanpa pewarna) ada juga yang sudah berwarna. Saya jual mulai Rp30 ribu itu yang berwarna tapi ukurannya kecil," tuturnya.
"Kalau yang original dan kecil itu Rp 20 ribu. Ada yang Rp 80 ribu yang sedang dan paling mahal Rp 100 sampai 150 ribu," ungkapnya.
Selama pandemi ini, konsumen tas anyaman khas Tidung itu terbilang sepi. Kendati begitu, Salbiah tetap berusaha menjual kepada rekan terdekatnya.
Bahkan, dia berharap ketika lockdown Tawau sudah dibuka, Salbiah rencanakan untuk mencari konsumen sampai ke negeri jiran, Malaysia.
"Memang pandemi ini sepi pembeli. Tapi nanti begitu Tawau sudah buka, saya akan jual ke sana. Karena sudah ada beberapa konsumen di Tawau yang nanya soal tas anyaman itu," beber Salbiah. (*)