Pernik
Chai Siswandi Koleksi Benda Sejarah & Budaya Nusantara, Berburu ke Pedalaman Suku Dayak hingga Aceh
Chai Siswandi Koleksi Benda Sejarah & Budaya Nusantara, Berburu ke Pedalaman Suku Dayak hingga Aceh
Penulis: Nevrianto |
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Chai Siswandi Koleksi Benda Sejarah & Budaya Nusantara, Berburu ke Pedalaman Suku Dayak hingga Aceh
Indonesia khususnya Kalimantan Timur kaya akan kearifan lokal, wisata, dan budaya.
Bicara budaya tentunya Chai Siswandi, pria ramah kelahiran Samarinda dan bermukim di Kota Bangun Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur ini sangat akrab dan berusaha mewarisi budaya juga mencari referensi.
Sejak muda Chai Siswandi sudah akrab dengan kegiatan alam dan aktivitasnya. Bahkan pegawai statistik ahli muda di BPS Kutai Timur ini rela pulang pergi Kota Bangun Sampai Kutai Timur untuk mengabdikan diri pada negeri namun tak begitu saja melewatkan waktu hidup.
Chai Siswandi mengisi waktu dengan mengoleksi pernak-pernik seraung, topeng budaya, Hudoq, dan buku. Jumlahnya tak main-main, mencapai ratusan pernak-pernik budaya dan ribuan buku sebagai referensi pendukung.
"Motivasi awalnya buat dekorasi ruang saja, biar ada nuansa tradisional di rumah. Tapi kemudian baca buku soal riset dan sejarah Kalimantan. Belakangan sadar pengetahuan dan benda-benda budaya yang masterpiece lebih banyak berada dan diapresiasi di luar negeri,” ujar Chai Siswandi.
Perlahan, dia mulai mengumpulkan sedikit demi sedikit sebagai upaya kecil konservasi sejumlah benda kebudayaan Kalimantan. Juga benda-benda sejarah nasional.
“Pelan-pelan saja soalnya duitku nggak banyak,” katanya. Upaya mengumpulkan pernak-pernik bernilai budaya dan sejarah sebagai koleksi literasi di tanah air bertujuan menjembatani generasi mendatang soal kesadaran bahwa kekayaan Kaltim itu tak hanya tambang, minyak, sawit tapi juga budaya.
Chai Siswandi bertemu sejumlah orang, berinteraksi, kemudian menemukan bermacam pernik.
Ada yang didapat ketika perjalanan ke pedalaman, ada yang dikasih teman, ada juga yag beli dari teman teman penjual barang antik seperti buku, kain tradisional, mandau, topeng, keris, guci/antang, wayang, pisau, anting Dayak, dayung, alat tato Dayak, seraung, dan lain-lain.Saking banyaknya, kadang Chai lupa apa saja jenisnya.

Chai Siswandi mengaku tak menghadirkan galeri cuma ditaruh begitu saja di rumahnya di Desa Liang, Kecamatan Kota Bangun. Niat awalnya, mencegah barang-barang tersebut dijual keluar negeri.
Sementara ini, Chai Siswandi mengoleksi 33 bilah mandau, kemudian balato (pedang Nias), rencong, badik, pedang Timor dan Sumba, alameng (pedang Bugis), keris dari berbagai era (mulai dari Segaluh, Kerajaan Pajang, Mataram, dan Kamardikan. Kemudian golok Banten dan Sunda.
Selanjutnya dua kelebit (perisai Dayak); enam dayung; ada juga beragam bentuk anting Dayak, dan Antang juga biasa disebut tempayan yang tak lain merupakan guci Dayak.
Seraung (topi lebar Dayak) ada sekitar 15 dari berbagai sub etnik Kalimantan (Kutai, Benuaq, Kenyah Lepoq Jalan, Kenyah Lepoq Bem, dan Apokayan).
Topeng klasik sekitar 45-an, dimana 14 diantaranya Hudoq dari sub Dayak Kayan, Bahau, Modang dan Wehea. Lainnya topeng Cirebon, Panji, Bali, dan Sumba.
Selain itu koleksi wayang purwa belum dihitung, kain tradisional mulai Buna Insana, Ulap Doyo, Ulos Batak, Batik Tiga Negeri. Kemudian anyaman Dayak meliputi Anjat, topi rotan, tikar dayak, dan lain lain juga dikoleksi.
Biasanya untuk pernak-pernik Dayak diperoleh dari berbagai tempat. Dari Busang, Apokayan, Kabupaten Mahakam Hulu.
Sedangkan barang Nusantara lainnya dari Aceh sampai Timor.
Untuk koleksi Seraung diakuinya agak susah menjelaskan. Misalnya Seraung dari Apokayan dinamakan seraung seling dengan motif orang motif ini disebut kalung kelunan.
“Zaman dulu hanya boleh dipakai bangsawan. Motif orang itu menandakan ia orang yg memiliki budak (pada masa lalu),” paparnya.
Seraung merupakan sebutan umum untuk topi matahari, untuk melindungi dari terik sinar matahari saat ke ladang atau keluar rumah.
Seraung sebenarnya ada di sejumlah wilayah. Sebutannya berbeda-beda, orang aoheng menyebutnya Cahung Kallung untuk yang bermotif hias, orang Apokayan saung.

Kalau awalnya Seraung ini topi caping, tapi ini menunjukkan citarasa dan budaya Kalimantan tempo dulu, bahwa topi untuk ke kebun mereka saja bercitarasa seni tinggi.
2.000 Buku Bertema Sejarah hingga Sastra
Sebagai pendukung referensi pernak-pernik, Chai Siswandi mengoleksi sekitar 2.000-an buku dengan berbagai tema mulai dari sejarah, budaya, agama, filsafat, sastra, dan ragam majalah.
Motivasi lainnya, menghadirkan perpustakaan pribadi di rumah Chai Siswandi di Desa Liang Kecamatan Kota Bangun.
“Sekadar menyediakan ruang budaya alternatif--cultural space di tepi Kalimantan,” tuturnya.
Justru buku-buku soal Hudoq, judulnya Mask Of Kalimantan dibeli Chai Siawandi dari Los Angeles dikirim lewat United States postal service Amerika.
Kemudian juga buku soal kebudayaan Kalimantan yang ditulis H.F Tillema judulnya, A Journey Among the peoples of Central Borneo in Word and Picture juga dapatnya dikirim dari Amerika.
Hal lucu juga mewarnai keseharian Chai Siswandi saat mengoleksi pernik. Sebelum pandemi, kadang ada orang riset soal kebudayaan Kalimantan Timur, peneliti dari Bogor, Yogyakarta, Kalteng tiba-tiba datang ke rumah. Chai mengaku nggak kenal, mereka mau pinjam buku sebagai bahan pustaka riset mereka.

Dibersihkan dengan Lap Kering
Agar awet, Chai Siswandi merawat pernak-pernik koleksinya. Seraung juga berfungsi sebagai payung. Jika basah kena hujan,
ia membersihkannya dengan lap kering. Selain itu hindari penyimpanan dari tempat lembab, dan jangan terkena sinar matahari langsung dalam jangka panjang untuk mempertahankan warnanya.
Perawatan buku kurang lebih sama yakni dilap, ditaruh ditempat memadai, bisa dirak atau lemari.Tetap hindari penyimpanan dari tempat lembab. (*)