Berita Nasional Terkini
SYARAT Rusia Tak Masuk Akal, Presiden Prancis Beber Gencatan Senjata Dengan Ukraina Mustahil Terjadi
Syarat Rusia tak masuk akal, Presiden Prancis Emmanuel Macron nilai gencatan senjata dengan Ukraina mustahil terjadi.
TRIBUNKALTIM.CO - Perang senjata Rusia dan Ukraina masih bergulir.
Beberapa kepala negara dunia turut bereaksi atas invasi militer yang dilakukan Rusia kepada Ukraina.
Tujuannya tak lain mencari jalan damai untuk kedua belah pihak yang berseteru.
Berbagai cara diplomatik selalu menemui jalan buntu untuk menyudahi perang Rusia dengan Ukraina.
Beberapa kepala negara dunia menilai syarat Rusia tak masuk akal.
Tak terkecuali Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Ia menilai gencatan senjata dengan Ukraina mustahil terjadi, bila syarat yang diajukan Rusia sangatlah berat.
Informasi selengkapnya ada dalam artikel ini.
Baca juga: Ukraina Diprediksi Alami Akhir Memalukan hingga Presiden Chechnya Tuding Zelensky Presiden Boneka
Melansir Kompas.TV, syarat Rusia untuk gencatan senjata di Ukraina tidak bisa diterima oleh siapa pun.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan persyaratan yang ditetapkan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk gencatan senjata di Ukraina tidak dapat diterima oleh siapa pun.
“Saya tidak melihat solusi diplomatik dalam beberapa jam mendatang atau bahkan beberapa hari mendatang,” kata Macron kepada wartawan di Versailles menjelang pertemuan puncak para pemimpin Uni Eropa, seperti dilaporkan CNN, Jumat (11/3/2022).
KTT pemimpin Uni Eropa itu diproyeksikan akan berpusat pada invasi Rusia ke Ukraina; solusi untuk kenaikan harga energi, dan mengurangi ketergantungan Eropa pada gas dan minyak Rusia.
Macron mengatakan dia tidak melihat gencatan senjata di Ukraina sebagai "realistis" dalam beberapa jam mendatang.
"Saya pasti optimistis, tapi saya juga harus realistis," tambahnya.
Sebelumnya pada hari Kamis, Putin mengadakan percakapan telepon dengan Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz.
Berbicara tentang permintaan Ukraina untuk masuk Uni Eropa secepatnya, Macron mengatakan kepada wartawan, “Dengan negara yang berperang? Saya rasa tidak. Haruskah kita menutup pintu dan berkata 'tidak pernah'? Itu tidak adil.”
Baca juga: Negosiasi Gagal, Serangan Rusia Makin Brutal, Ukraina Tak Lagi Minat Gabung NATO
Presiden Prancis mengatakan perang di Ukraina adalah tragedi kemanusiaan, politik dan kemanusiaan.
Dia juga menambahkan peristiwa ini akan mengarah pada pendefinisian ulang arsitektur Eropa sepenuhnya.
“Ini adalah diskusi yang strategis dan bersejarah. Mereka akan mengarah pada, hari ini, dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, keputusan bersejarah untuk Eropa kita,” kata Macron.
Pemimpin Prancis mengatakan dia terganggu berat melihat foto-foto serangan bom mematikan di sebuah rumah sakit bersalin di Mariupol Ukraina selatan pada hari Rabu.
Macron mengatakan sejak awal perang Rusia di Ukraina, “Tragedi kemanusiaan semacam ini terjadi pada beberapa kesempatan.”
“Senjata-senjata itu, sangat mematikan, tanpa pertimbangan, digunakan tepat di tengah kota,” lanjut Macron.
Baca juga: MIRIS! Serangan Rusia Sasar Rumah Sakit di Ukraina, Ada Ibu Hamil Berlumuran Darah Gendong Anak
Ukraina Ogah Gabung NATO?
Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba mengatakan, pertemuan bersama Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov itu berlangsung sekitar 90 menit.
Namun, pembicaraan keduanya gagal untuk mencapai kesepakatan damai.
Kuleba menyebut, Rusia akan melanjutkan serangan sampai tujuannya tercapai.
"Narasi luas yang dia sampaikan kepada saya adalah bahwa mereka akan melanjutkan agresi mereka sampai Ukraina memenuhi tuntutan mereka, dan tuntutan ini paling tidak adalah menyerah," kata Kuleba, dikutip Tribunnews dari Bloomberg.
Setelah pertemuan itu, Lavrov menyampaikan Rusia terbuka dengan pembicaraan serius antara kedua presiden.
Namun, ia menginginkan pembicaraan tersebut harus menguntungkan.
Lavrov juga menegaskan, Rusia sedang mengupayakan demiliterisasi untuk Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan, dia bersedia mempertimbangkan beberapa kompromi atas permintaan Rusia.
Seperti permintaan agar Ukraina meninggalkan ambisi untuk bergabung dengan NATO dan mengambil posisi netral.
Zelensky juga menginginkan bertemu langsung dengan Putin.
"Hanya setelah pembicaraan langsung antara kedua presiden kita dapat mengakhiri perang ini," katanya.
Kendati demikian, Ukraina bersikeras atas keamanan negaranya kepada sekutu seperti AS, Inggris dan Jerman.
Mereka juga enggan menyerahkan wilayahnya kepada Rusia, sedikitpun.
Hal ini disampaikan Wakil Kepala Staf Zelensky, Ihor Zhovkva, dalam wawancara di Bloomberg TV, Rabu lalu.
"Kami tidak akan menyerahkan "satu inci" dari wilayah Ukraina ke Rusia," kata Ihor Zhovkva dari Kyiv.
"Prasyarat pertama dan terpenting kami untuk melakukan negosiasi semacam itu adalah segera gencatan senjata dan penarikan pasukan Rusia," tambah Zhovkva.
Baca juga: Viral Foto Ibu Hamil yang Selamat Usai Serangan Bom Rusia, Ternyata Rekayasa Ukraina?
Seperti diketahui, ada empat tuntutan Rusia untuk menghentikan aksi militer.
Di antaranya mengubah konstitusi untuk menyegel status netral (tidak bergabung dengan blok atau aliansi militer tertentu seperti NATO), mengakui Krimea sebagai wilayah Rusia, serta mengakui republik pemberontak di Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka.
Hingga Jumat (11/3/2022), terhitung sudah dua pekan Rusia dan Ukraina terlibat perang.
Rusia terlihat sedikit kesulitan untuk memenangkan Ukraina.
Terlebih, saat ini pertahanan Ukraina didukung oleh aliran senjata dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Buntutnya, Presiden Rusia Vladimir Putin berencana mengadopsi taktik serangan yang semakin brutal.
Seperti saat pasukannya menembaki kota-kota di Ukraina demi mematahkan perlawanan.
Di saat yang sama, intensitas respons internasional dalam memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia tampaknya mengejutkan Kremlin.
Terbukti saat ini nilai rubel merosot ke rekor terendah, belasan bisnis asing menarik diri dari Rusia, hingga pasar memperkirakan risiko gagal bayar negara yang semakin besar. (*)