Renungan Paskah 2022

Via Dolorosa adalah Jalan Menuju Kemuliaan

Salib adalah ujung tergelap dari anak tangga yang menuju maut, dan Kristus telah turun ke sana untuk memindahkan kita yang percaya kepadaNya.

Editor: Fransina Luhukay
HO
Pdt DR Samuel Kusuma M.Th, Rektor Institut Kristen Borneo 

Oleh: Pdt DR Samuel Kusuma M.Th
Rektor Institut Kristen Borneo

JALAN Salib, yang juga dikenal sebagai Via Dolorosa, merupakan narasi atau penggambaran jam-jam terakhir dari kehidupan Yesus Kristus di dunia, yang secara terus-menerus memberikan keyakinan rohani bagi semua orang Kristen dan penerapannya dalam kehidupan kita. Jalan Salib berfungsi sebagai pengingat yang kejam akan kerelaan Yesus mengesampingkan otoritas ilahi-Nya untuk menyediakan jalan keselamatan melalui pengorbanan-Nya.

Ada beberapa versi yang diterima secara luas mengenai Jalan Salib ini. Salah satunya alkitabiah, sedangkan yang lainnya hanya merupakan catatan perjalanan jam-jam terakhir Tuhan Yesus berdasarkan tradisi. Berikut adalah urutan tradisional dari Jalan Salib:
1. Yesus dihukum mati.
2. Yesus memikul salib.
3. Yesus jatuh untuk pertamakalinya.
4. Yesus bertemu dengan ibu-Nya, Maria.
5. Simon dari Kirene dipaksa untuk memikul salib.
6. Veronica mengusap darah dari wajah Yesus.
7. Yesus jatuh untuk kedua kalinya.
8. Yesus bertemu dengan perempuan-perempuan dari Yerusalem.
9. Yesus jatuh untuk ketiga kalinya.
10. Pakaian Yesus ditanggalkan.
11. Yesus disalibkan – Penyaliban.
12. Yesus mati di kayu salib.
13. Tubuh Yesus dipindahkan dari kayu salib – Penurunan dan Ratapan.

Mengikuti alur pikir di atas, dapatlah dikatakan bahwa drama Jalan Salib hanyalah sebuah jalan untuk mengingat, sebuah instrument, alat bantu agar kita bertobat dan membaharui dunia. Yesus, melalui sengsaraNya di kayu salib yang dilakonkanNya dengan setia ingin menunjukkan sesuatu yang lebih jauh, bahwa Dia taat hingga akhir untuk menjalankan kehendak BapaNya sampai tuntas, bahkan rela mati tragis di tiang gantung! Marthin Luther (1518), seorang ahli kitab suci dan reformator, pernah membangun sebuah Theologia Crucis (teologi salib), berpendapat bahwa salib merupakan sumber pengetahuan spiritual mengenai siapakah Allah dan bagaimana Dia melakukan penyelamatan atas ciptaanNya. Salib menyatakan kegagalan manusia untuk mengerti kehendak Allah. Padahal, melalui salib, seluruh umat manusia dipersatukan oleh Roh Kristus melalui pertobatan (1Kor 12:13, Rom 8:9).

Selain itu, hanya pada Saliblah ada jaminan keselamatan yang dimeteraikan oleh Roh Kristus (Efs 1:13-14). Salib, karenanya, adalah simbol sebuah kesetiaan, ketekadan dan keteladanan. Sengsara dan penderitaan adalah bagian yang menyatu dengan kodrat manusia. Karena itu, sikap yang tepat, bukan menghindarinya melainkan menghadapinya tanpa kegentaran

Prosesi Jalan Salib yang dipentaskan, bermuara pada kerinduan untuk menjadi pembebas, yakni suatu sikap untuk menolak pelbagai bentuk penindasan baik yang secara tersamar muncul sebagai sikap dasariah (optio fundamentalis) maupun secara kasat mata pada pelbagai praktik ketidakadilan yang nyata menjadi aksi kita pada pelbagai level. Keseriusan kita menjalankan ritual jalan salib tidak boleh jatuh kepada pemuliaan penderitaan dan kesengsaraan, yang tanpa disadari kita terpenjara secara sistemik di dalamnya. Atau, sebuah keseriusan melakonkan drama penderitaan karena tidak tahu bagaimana keluar dari persoalan-persoalan nyata yang secara privat dan komunal menjadi tak terbantahkan dari kehidupan kita. Sehingga, seolah-olah, jalan salib adalah ekspresi ketakberdayaan tanpa batas kita terhadap keterpenjaraan fundamental yang diasalkan dari praktik-praktik ketidakadilan yang sudah terlanjur lumrah dalam masyarakat kita.

Jalan Menuju Kemuliaan
Jalan salib kehidupan pada galibnya bermuara pada iman, yakni suatu usaha konkrit untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan (Yak 2:14-26) berkualitas yang dihasilkan oleh permenungan atas perlawanan terhadap penderitaan. Sebuah penerimaan yang kreatif, bukan untuk memujanya, melainkan untuk mengubahnya menjadi jalan pembebasan.

Itulah sebabnya, Salib Yesus tidak berhenti pada pemakaman, melainkan berakhir di peristiwa kebangkitan. Iman akan kebangkitan berarti menghidupkan komitmen membangun kehidupan bermartabat yang membebaskan manusia dari cengkeraman ketidakadilan, kelaliman dan ketamakan, menciptakan kehidupan yang aman, damai dan sejehtera. Yesus sudah menunjukkan jalan, mari kita berani melaluinya.

Kata-kata seperti the next level atau naik ke tingkat berikutnya, sering kita dengar dalam perbincangan tentang karir seseorang. The nex level layak untuk diperjuangkan, berapapun harganya. Terus naik dan naik dalam hal apa saja yang membuat nama dan status orang makin tenar dan mendatangkan puja-puji. Naik pangkat diikuti dengan naik gaji, naik gaji diikuti dengan naik jumlah kekayaan, naik jumlah kekayaan naik pula rasa hormat orang. Ah…betapa luar biasanya hal "naik" ini. Caranya? Seribu satu macam cara! Yang penting naik dan naik. Apakah sementara "naik" itu orang lain dirugikan atau menjadi tumbal, peduli amat. Menumpuk kekayaan dengan cara korupsi, tidak peduli. Itulah kenyataan seputar dunia ini. Penuh intrik karena nafsu kepentingan diri.

Di kalangan orang percaya pun tak jarang menggunakan sebuah ayat yang salah satu frasanya berbunyi. "Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun." Tentu, sah-sah saja mengutipnya dan menjadikannya sarana untuk menyemangati diri, sebab siapa yang tidak suka jadi kepala? Dan siapa juga yang suka jadi ekor? Silakan mau jadi kepala, monggo pula mau terus naik, asal bersedia untuk taat sepenuhnya kepada Tuhan sebagai persyaratannya.

Dalam dunia yang serba ingin naik ini, menjadi sebuah anomali dan keheranan besar ketika Allah sendiri memilih jalan untuk "turun". Yesus adalah Allah tetapi tidak menganggap kesetaraanNya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Bandingkan dengan manusia yang mati-matian mempertahankan kedudukannya sedemikian rupa supaya jangan pernah turun (walaupun itu juga tidak mungkin). Bahkan, kita yang hanya manusia saja, kadang tak dapat mengendalikan diri untuk menaikkan diri sendiri alias meninggikan diri. Sementara Allah kita di dalam Kristus Yesus justru merendahkan diri-Nya sedemikian rupa.

Bacalah Filipi 2:5-11, kita akan menemukan paling tidak ada lima langkah "menurun" dari Yesus Tuhan kita.
1. Pertama, Ia tidak memakai hakNya sebagai Allah melainkan mengambil rupa seorang hamba. Allah yang layak dilayani mengambil rupa dan menyatakan diri sebagai seorang hamba yang melayani. Dari sini saya meyakini bahwa sejatinya Allah adalah Allah yang melayani. Allah dalam keagunganNya yang terukur ternyata adalah Allah yang begitu rendah hati. Karena itu tidak heran jika Ia sangat menyukai orang yang rendah hati.
Sebagai hamba, Ia mengusahakan kebaikan dari orang-orang yang dilayani-Nya. Lebih dari itu Ia sendiri telah mengatakan bahwa Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang. Allah mengambil rupa seorang hamba supaya dapat melayani secara total dengan menyerahkan nyawaNya sendiri.

Seorang hamba adalah seorang yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya. Begitulah Kristus ketika Ia mengambil rupa seorang hamba Ia telah menyerahkan seluruh hak-haknya kepada BapaNya. Hak untuk dihormati sebagai pribadi, hak untuk memilki sesuatu, juga hak atas waktu-waktu yang dimilikiNya. Ini semua Dia lakukan supaya Dia selalu sedia dan tersedia bagi manusia yang membutuhkan diri-Nya.

Dari Allah yang pantas disembah dan dihormati lalu mengambil rupa seorang hamba adalah langkah menurun yang tak terkira-kira. Betapa dalam perbedaan itu. Ketika Ia sendiri lapar Dia lebih memikirkan untuk memberi makan orang-orang lain yang lapar. Ketika nyawaNya terancam Dia tetap melakukan pekerjaanNya dengan setia. Sebagai hamba Ia terbiasa menderita, diremehkan dan direndahkan. Bahkan bagi kita "Ia tidak masuk hitungan".

2. Kedua, langkah menurun berikutnya adalah, "menjadi sama dengan manusia". Tak cukup menjadi hamba, Ia juga menjadi sama dengan manusia. Dari yang tak terbatas menjadi sangat terbatas. Hidup dalam darah dan daging seperti yang dimiliki oleh manusia. Hal ini dilakukan supaya Ia dapat tinggal di tengah-tengah manusia.
Supaya Ia dapat merasakan pencobaan dan kesusahan yang dialami oleh manusia. Hal itu dilakukan supaya ketika Ia telah memenangkan pergumulanNya sebagai manusia, Ia dapat menolong manusia yang menghadapi pergumulan yang sama. Satu hal lagi yang sangat penting berkaitan dengan hal ini adalah supaya Ia dapat mati. Hanya manusia yang dapat mati sedangkan Allah tak mungkin mati.

3. Ketiga, sebagai manusia Ia telah menjadi taat. Renungkanlah sejenak, Dia adalah Allah yang perlu ditaati, yang setiap perintahNya tidak bisa tidak, wajib dituruti oleh manusia. Sekarang sebagai manusia Ia sendiri telah menjadi taat. Saya kehilangan ide untuk menuliskan bagian ini dan hanya bisa membandingkan dengan diri saya atau kebanyakan manusia yang sangat sukar untuk menjadi taat kepada perintah Allah.
Manusia taat kalau ada "maunya". Manusia taat kalau itu dirasa masih dalam "kesanggupannya", tetapi ia akan mulai berdalih ketika ketaatan akan memperhadapkan dirinya kepada situasi yang sulit. Bukankah begitu kita? .Yesus sebagai manusia telah taat setaat-taatnya kepada BapaNya, sekalipun ketaatan itu membawa Dia kepada kesengsaraan dan kematian.

4. Keempat, Ia taat sampai mati. KetaatanNya sempurna, sampai kepada batas akhirnya, yakni sampai mati. KematianNya adalah kematian karena taat. Banyak orang yang taat sampai mati, tetapi itu berbeda dengan Kristus yang mati karena ketaatan-Nya. Alangkah bodohnya menurut penilaian dunia. Dunia sekarang lebih memilih mati dalam kenikmatan dan kesenangan sekalipun itu kenikmatan dan kesenangan dalam dosa. Sangat sedikit orang yang mati karena ketaatanNya kepada kebenaran.

Mereka adalah para syahid, dan mereka adalah orang-orang yang telah ditetapkan oleh Allah. Mati karena taat kepada Allah sesungguhnya adalah sebuah kehormatan, sebuah kemuliaan. Kristus dalam kematianNya menggenapkan kebenaran bahwa hari kematian lebih baik dari hari kelahiran. KematianNya dalam kehendak Allah adalah teladan dan warisan bagi semua pengikutNya.

5. Kelima, Ia taat sampai mati dan mati di kayu salib. Bukan hanya taat sampai mati, tetapi sampai mati di kayu salib. Mati di kayu salib sangat ditekankan di sini. Kayu salib di Golgota adalah tempat yang paling hina bahkan terkutuk. Siapakah di antara kita pernah memimpikan cara mati yang enak? Ketika sedang tidur mungkin? Atau yang kedengaran sangat rohani, misalnya sedang berdoa atau menyembah Tuhan?.

Tidak ada orang yang memilih mati dengan cara yang paling nista di tempat yang paling hina. Kristus telah menetapkan pilihanNya untuk membiarkan diri mati dengan cara yang paling hina dan ditempatkan dalam kumpulan orang yang paling tidak diingini lagi dalam masyarakat. Di kayu salib Ia mati di antara para penjahat yang dihukum mati seperti diriNya. Mungkinkah masih ada cara mati yang lebih hina lagi dari cara mati Anak Allah yang tidak pernah berbuat salah? Mungkinkah ada proses "turun" yang begitu dalam yang pernah di alami oleh manusia yang sudah jatuh dalam dosa seperti Kristus yang sama sekali tidak pernah berbuat dosa?

Namun ini belum berakhir, sebab langkah menurun yang begitu dalam ini adalah dalam rencana Bapa yang kekal dan hanya AnakNya sendiri yang sanggup melaksanakannya dan layak untuk melakukannya. Misi untuk turun dan turun lebih dalam telah membuat Bapa sangat meninggikan Dia.

(Filipi 2:9) Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, 2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Salib adalah ujung tergelap dari anak tangga yang menuju maut, dan Kristus telah turun ke sana untuk memindahkan kita yang percaya kepadaNya. Memindahkan kita dari maut ke dalam hidup, dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Di mata Allah salib Kristus adalah kuasa dan hikmatNya, yang mampu menyelamatkan manusia dari ancaman kebinasaan kekal. Salib Kristus dengan tetesan darah Anak Domba Allah adalah korban persembahan yang berbau harum di hadapan Bapa.

Maukah kita meneladani Dia, memikul salib kita sendiri sebagai konsekuensi dari ketaatan kita kepada Dia? Memikul salib kita sendiri bisa merupakan jalan menurun bagi kita, yakni jalan untuk merendahkan diri dengan kemuliaan menanti di ujungnya. Karena sebagaimana Kristus telah merendahkan diri-Nya serendah-rendahnya, maka Allah telah meninggikan Dia setinggi-tingginya. Allah mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama. Nama yang layak untuk disembah yang setiap lutut harus bertelut dan setiap lidah harus mengaku bahwa Kristuslah Tuhan.

Via Dolorosa adalah jalan penderitaan yang berujung kepada kemuliaan. Kemuliaan bagi Dia, kemuliaan bagi Bapa dan kelak kemuliaan bagi kita yang percaya! Selamat Paskah Tahun 2022, Kebangkitan Kristus memberi jaminan "Kemuliaan Sorgawi dan Kehidupan Kekal" bersama Kristus Yesus Tuhan, Amin! (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved