Viral Pengakuan Ismail Bolong
Sederet Kasus yang Menyeret Nama Jenderal Polri, Dugaan Setoran Tambang Ilegal, Pembunuhan & Narkoba
Sejumlah kasus menyeret nama beberapa jenderal polisi, mulai dari dugaan setoran tambang ilegal, pembunuhan berencana, hingga setoran tambang ilegal.
TRIBUNKALTIM.CO - Di tahun 2022 ini, sejumlah kasus menyeret nama beberapa jenderal polisi, mulai dari dugaan setoran tambang ilegal, pembunuhan berencana, hingga setoran tambang ilegal.
Jenderal yang diduga terlibat mulai dari bintang 1 hingga bintang 3.
Kasus-kasus tersebut kini sudah ditangani dan prosesnya masih terus berlanjut.
Apa saja kasus yang menyeret nama Jenderal Polri? berikut rangkumannya:
Baca juga: Bareskrim akan Tetapkan Ismail Bolong Jadi Tersangka Kasus Tambang Ilegal, Anak dan Istri Diperiksa
1. Dugaan setoran tambang ilegal di Kaltim
Kasus pengakuan mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong soal tambang ilegal di Kalimantan Timur terus bergulir.
Dalam pengakuan di video yang beredar, Ismail Bolong mengaku menjadi dalang dari aktivitas tambang ilegal tersebut.
Ia juga membuat pengakuan bahwa menyetorkan uang hasil tambang ilegal tersebut kepada sejumlah petinggi Polri, termasuk Kabareskrim Komjen Pol, Agus Andrianto.
Terungkapnya kasustambang ilegal di Kaltim tersebut bermula dari pengakuan Ismail Bolong melalui video testimoninya yang viral di media sosial.
Dalam videonya tersebut, Ismail Bolong mengaku bahwa dirinya adalah dalang penambangan liar di Kaltim.
Ismail Bolong mengaku jika uang dari hasil setoran tambang ilegal tersebut sudah disetorkan ke sejumlah petinggi polri.
Uang yang sudah disetorkan kepada seorang perwira tingii polri sebesar Rp6 miliar.
Keuntungan yang ia raup sekitar Rp5 miliar - Rp10 miliar.
Ismail Bolong juga mengaku sudah berkoordinasi dengan Kabareskrim Komjen Pol, Agus Andrianto dengan memberikan uang sebanyak tiga kali.
Setoran tersebut disebut rinci pada September 2021, sebanyak Rp2 miliar. Kemudian Oktober 2021 sebanyak Rp2 miliar dan November 2021 sebanyak Rp2 miliar.
Setelah video pengakuannya mengenai setoran tambang ilegal itu viral, beberapa waktu kemudian, Ismail Bolong membuat video klarifikasi.
Video klarifikasi tersebut berisi terkait pengakuannya mengenai dirinya yang ditekan untuk membuat video pengakuan pemberian uang terhadap Kabareskrim Komjen Pol, Agus Andrianto.
Baca juga: Kasus Ismail Bolong Masuk Tahap Penyidikan, Ada 1 Tersangka, Kapolri Didesak Nonaktifkan Kabareskrim
Dalam video klarifikasinya tersebut, Ismail mengaku tidak pernah memberikan uang apa pun kepada Kabareskrim.
“Saya mohon maaf kepada Kabareskrim atas berita viral saat ini yang beredar."
"Saya klarifikasi bahwa berita itu tidak benar." ucapnya seperti dilansir SerambiNews.com di artikel berjudul Kasus Tambang Ilegal di Kaltim, Ismail Bolong Berpotensi Jadi Tersangka, Kabareskrim Bantah Terlibat.
Bantahan Agus Andrianto

Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto membantah pernyataan mengenai keterlibatan dirinya dalam kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur tersebut.
Menurut Agus, penyataan Hendra soal laporan tersebut tidak ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan dirinya dalam kasus tambang ilegal.
Terlebih lagi, Ismail juga mengaku jika membuat video tersebut atas dasar paksaan.
"Keterangan saja tidak cukup, apalagi sudah diklarifikasi karena dipaksa," kata Agus, Jumat (25/11/2022).
Kemudian Agus menyerang balik dengan menuding Hendra Kurniawan dan Ferdy Sambo yang pada saat itu menjabat sebagai petinggi Divisi Propam Polri.
"Jangan-jangan mereka yang terima dengan tidak teruskan masalah, lempar batu untuk alihkan isu," ujar Agus.
Agus lantas mempertanyakan mengapa kasus tidak ditutantaskan segera jika laporan yang ada sudah diterima.
"Kenapa kok dilepas sama mereka kalau waktu itu benar," tuturnya.
Baca juga: Ferdy Sambo dan Bharada E Kompak Bohongi Kapolri, Listyo: Kamu Nembak Enggak, Mbo?
2. Dugaan Pembunuhan Berencana

Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir yang diduga dilakukan oleh mantan Irjen Ferdy Sambo kini tengah bergulir di pengadilan.
Kabar terbaru, sidang perdana terdakwa Ferdy Sambo untuk kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J digelar pada Senin (17/10/2022).
Persidangan diselenggarakan dengan agenda pembacaan dakwaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sekaligus obstruction of justice atau tindakan menghalangi penyidikan kasus kematian Yosua.
Dalam perkara pembunuhan berencana, Sambo disangkakan melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.
Selain kasus pembunuhan, Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo juga didakwa melakukan obstruction of justice atau perintangan proses penyidikan dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Dalam perkara obstruction of justice, Sambo diancam pidana Pasal 221 Ayat (1) ke-2 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyebutkan bahwa perintangan penyidikan itu melibatkan Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
“Turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya,” ujar jaksa Rudy Irmawan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin.
Sambo disebut memerintahkan Brigjen Hendra Kurniawan untuk melakukan pengecekan terhadap CCTV yang dipasang di lingkungan Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pasca pembunuhan Brigadir J.
Akan tetapi, lima hari selang insiden pembunuhan tersebut, Sambo membantah pernyataan Hendra dan Arif terkait temuan CCTV yang mendapati Yosua masih hidup ketika Sambo tiba di rumah dinas.
Sambo kemudian meminta agar Hendra dan Arif mempercayai penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya. Eks Kadiv Propam Polri itu kemudian memerintahkan keduanya untuk segera menghapus dan memusnahkan semua temuan bukti CCTV tersebut.
Atas perbuatannya itu, Sambo didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsider Pasal 48 Ayat (1) juncto Pasal 32 Ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 233 KUHP subsider Pasal 221 Ayat (1) ke 2 juncto Pasal 55 KUHP.
3. Narkoba

Pusaran kasus penjualan barang bukti kasus narkoba berupa sabu yang menjerat mantan Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa terus bergulir.
Polda Metro Jaya sebenarnya hampir menyelesaikan penyidikan kasus peredaran 5 kilogram sabu dengan 11 tersangka, yang di antaranya Teddy Minahasa.
Namun pekan lalu, Teddy Minahasa melalui kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea, justru mencabut semua berita acara pemeriksaan (BAP).
Hotman Paris menjelaskan, kliennya menarik semua BAP, termasuk BAP sebagai saksi bagi tiga tersangka lain.
”Dicabut atas dasar sudah ditemukan bukti baru bahwa barang utuh di Bukittinggi,” kata Hotman kepada Kompas.com, Jumat (18/11/2022).
Hal yang mendukung Teddy Minahasa mencabut keterangannya yakni bukti baru berupa 5 kilogram narkoba yang masih disimpan utuh oleh jaksa untuk tersangka lainnya di Bukittingi, Sumatera Barat.
Pihak kuasa hukum Teddy Minahasa meyakini temuan terbaru ini bisa mengubah semua fakta kejadian yang selama ini disangkakan terhadap Teddy.
Sejalan dengan pencabutan BAP Teddy Minahasa, maka Teddy Minahasa pun kembali menjalani pemeriksaan.
Berikut rangkuman fakta dan kronologi kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa dari awal penangkapan hingga update pemeriksaan terbaru:
Kronologi penangkapan
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Markas Besar Polri melakukan penangkapan terhadap Irjen Teddy Minahasa yang hendak dilantik sebagai Kapolda Jawa Timur, pada 14 Oktober 2022.
Penangkapan dilakukan atas dugaan keterlibatan pengedaran narkoba sesuai perintah dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Tanggal penangkapan tersebut bersamaan dengan pemanggilan ratusan perwira tinggi polri ke istana oleh Presiden Joko Widodo.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan, keterlibatan Teddy terkuak dari proses penangkapan tiga orang oleh penyidik Polda Metro Jaya.
"Berawal dari laporan masyarakat berhasil diamankan tiga orang dari masyarakat sipil," kata Sigit, Jumat (14/10/2022).
Polda Metro Jaya kemudian mengembangkan perkara dari keterangan tiga orang tersebut dan menemukan keterlibatan polisi dalam dugaan peredaran narkoba. Polisi yang diduga terlibat adalah seorang Bripka, seorang Kompol yang menjabat sebagai Kapolsek.
Penyidikan kemudian berkembang hingga mengarah kepada pengedar.
Dari sana, kata Sigit, penyidik menemukan keterlibatan mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara.
Dari sanalah terlihat keterlibatan Irjen Teddy Minahasa.
"Atas dasar hal tersebut kemarin saya minta Kadiv Propam untuk menjemput yang bersangkutan dan melakukan pemeriksaan," kata Sigit.
Diduga mengedarkan barang bukti Polda Metro Jaya membeberkan bahwa Teddy Minahasa diduga mengedarkan narkoba jenis sabu seberat 5 kg.
Sabu tersebut ditujukan untuk Kampung Bahari yang terkenal sebagai Kampung Narkoba di Jakarta.
Dari 5 kg sabu tersebut, baru 1,7 kg yang diedarkan ke Kampung Bahari.
Sementara 3,3 kg sabu lainnya berhasil disita polisi.
"Sudah ada 3,3 kg barang bukti yang diamankan dan 1,7 kg sabu didedarkan di Kampung Bahari," ujar Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juharsa dalam konferensi pers di Polres Jakarta Pusat.
Sementara itu, sabu seberat 5 kg yang diedarkan merupakan barang bukti hasil pengungkapan kasus narkoba di Mapolres Bukittingi.
Sabu tersebut diduga diambil secara diam-diam oleh anggota Polda Sumatera Barat AKBP Doddy, dan diganti dengan tawas.
AKBP Doddy diminta Teddy mengambil sabu seberat 5 kg dari total 41,4 kg sabu yang hendak dimusnahkan di Mapolres Bukittinggi.
Terancam hukuman mati
Tak lama usai penangkapan Teddy Minahasa, Polda Metro Jaya menetapkan mantan Kapolda Sumatera Barat ini sebagai tersangka dugaan kasus peredaran narkoba jenis sabu-sabu. Teddy Minahasa dijerat dengan Pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Adapun ancaman hukumannya, maksimal hukuman mati dan penjara maksimal 20 tahun.
Pencabutan BAP Setelah pemeriksaan, Teddy Minahasa mencabut keterangannya saat diperiksa sebagai tersangka, termasuk kesaksiannya atas tersangka AKBP Doddy Prawiranegara dan warga sipil bernama Linda.
Hotman menjelaskan, adanya bukti baru berupa 5 kg narkoba yang masih disimpan utuh oleh jaksa, menunjukkan bahwa Teddy tidak pernah memerintahkan Dody mengganti 5 kg narkoba dengan tawas.
Ia menjelaskan, pada awalnya kapolres ini melaporkan ke kapolda ditemukan 41,4 kg itu laporan pertamanya, tetapi setelah ditimbang pada saat rilis tiba-tiba jumlahnya cuma 39,5 kg.
"Artinya, dari sebelum rilis sudah hilang barbuk ini 1,9 kg. Di situ Teddy mulai curiga sudah ada yang nyolong 1,9 kg dan ini yang diduga beredar di Jakarta," ujar Hotman kepada Kompas.com.
Ia pun meyakini meyakini 1,9 kg yang hilang diedarkan Doddy kepada Linda melalui bantuan tersangka Syamsul Maarif.
Hotman lalu menunjukkan dokumen pemusnahan sekitar 35 kg dari 39,5 kg sabu yang disita.
"Periksa semua pejabat yang menyaksikan pemusnahan yang 35 kg, ada 75 media di situ, semua pejabat, bahkan ketua pengadilan ikut menyaksikan, ada berita acara resminya,” lanjutnya.
"Dari sekitar 39,5 kg yang ditimbang, sekitar 5 kg yang dijadikan barang bukti untuk persidangan terdakwa di Bukittinggi. Artinya tidak ada sama sekali dari barang bukti yang relevan dengan kasus ini,” jelas Hotman.
Konfrontasi antartersangka
Irjen Teddy Minahasa dan AKBP Doddy Prawiranegara cs dikonfrontasi terkait kasus sabu.
Hotman Paris, pengacara Irjen Teddy Minahasa, mengungkapkan ada rasa canggung antara kliennya dan AKBP Doddy saat dikonfrontasi tersebut.
Konfrontasi keduanya digelar di gedung Ditresnarkoba Polda Metro Jaya sejak pukul 09.00 WIB.
Irjen Teddy dan AKBP Doddy berada dalam satu ruangan yang sama.
"Mereka satu ruangan tapi saling nggak lihat. Bedanya hanya satu meter," kata Hotman dilansir dari antaranews.com, Rabu (23/11/2022).
Dalam konfrontasi tersebut, sejumlah pertanyaan ditanya penyidik.
Salah satunya soal saling klaim barang bukti narkoba yang menjadi pokok perkara penyidikan.
"Pointer-pointer yang menjadi kejanggalan dan belum ada titik temu adalah Teddy Minahasa itu dituduh memperdagangkan yang 5 kg ternyata yang disita dari rumah Linda dan Doddy itu hanya 3,3 kg," ujarnya.(*)
Berita Nasional Terkini Lainnya