Wawancara Eksklusif

Kenang Kudatuli, Puan Maharani: Saya Sampai Bingung Harus Masak Apa yang Cepat untuk Orang Banyak

Puan Maharani turut menjadi saksi perjalan panjang perjuangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), termasuk peristiwa Kudatuli

Editor: Adhinata Kusuma
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra melakukan wawancara khusus dengan Ketua DPR RI Puan Maharani usai pertemuan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023). 

Dan di tahun ke-50 ini tentu saja harapannya seperti Ibu Mega sampaikan semoga PDIP bisa menjadi 100 tahun. Menjadi partai yang kemudian bermanfaat bagi Nusa dan Bangsa.

Untuk menjadi Indonesia raya yang seraya-rayanya sesuai dengan cita-cita dari Bung Karno. Harapannya yah seperti itu kita bisa berguna bagi masyarakat bagi Nusa dan bangsa dan bagi Indonesia.

Mbak Puan sepanjang mengikuti perjuangan PDIP 50 tahun, apa yang paling Mbak Puan tidak bisa lupakan?

Banyak sekali pengalaman dan hal-hal yang lupakan. Bagaimana waktu Ibu Mega berjuang pertama kali mau menjadi Ketua Umum.

Kan sudah secara de facto Sukolilo kan, saya ada, saya datang ke situ kemudian terakhir Ibu Mega mengatakan secara de facto saya ketua umum PDIP, namun tetap gak diterima oleh pemerintah.

Jadi pasang surutnya pasca Orde Baru sampai pasca reformasi bukan suatu hal yang mudah bagi PDI-P. Bahkan ada peristiwa Kudatuli, peristiwa 27 Juli waktu itu saya juga ada. Karena waktu itu saya tinggalkan serumah bareng sama Ibu Mega

Apa yang Mbak Puan lihat dan rasakan saat peristiwa Kudatuli?

Ada ketidakadilan bagi apa namanya satu perjuangan rakyat yang kemudian mengharapkan adanya perubahan dan perbaikan. Walaupun memang pada saat itu kan nggak semua juga hal-hal yang bisa kita sampaikan itu bisa dilakukan secara riil, terbuka. Jadi memang banyak sekali dengan mekanisme kemudian terjadi di lapangan.

Rumah saya itu kan kemudian menjadi tempat berkumpulnya teman-teman atau kawan-kawan seperjuangan, para aktivis, saya menyiapkan dapur umumnya ditugaskan oleh bapak ibu saya, 'kamu yang tanggung jawab sama dapur umum'.

Penanggung jawab dapur umum pada waktu itu bukan suatu hal yang mudah. Karena orangnya datang terus, ya makanannya juga... Saya juga sampai bingung harus masak apa, masak apa yang cepat bisa dimakan orang banyak dan waktu itu kan kondisi dapur umum nggak seperti ini, nggak ada juga kayak sekarang kita kan sudah punya ada truk yang komplit, ada kompornya, dan mencari orang yang mau masak juga nggak semudah sekarang.

Karena kan bayangin sebagai partai atau orang-orang yang kemudian dalam tanda kutip tidak disukai oleh pemerintah pada saat itu, orang juga banyak sekali yang takut untuk ikut bersama berjuang bersama kami. Dan waktu itu saya masih mahasiswa.

Bayangkan di rumah mahasiswa masih unyu-unyu kan. Harusnya menikmati masa remajanya dengan ya seperti layaknya remaja-remaja lain, tapi rumah itu penuh dengan aktivis.

Jadi saya harus urusin dapur umum. Jadi memang ya penuh dinamika yang seperti itu. Tapi saya melihat perjuangan ibu bapak saya itu kan kemudian menumbuhkan perasaan bahwa ya inilah suatu perjuangan untuk mencapai suatu hal yang dianggap perlu suatu pengorbanan dan semangat yang revolusioner.

Mbak Puan pada waktu itu puncak perjuangan Bu Mega, apakah Mbak Puan pernah merasa takut, karena kan harus berhadapan dengan penguasa yang pada saat itu mutlak Kekuasaannya. Ada rasa takut nggak?

Alhamdulillah sih enggak ada rasa takut karena memang saya digembleng atau otomatis ya karena memang hari-hari seperti itu. Jadi saya melihat semuanya semangat, ibu saya semangat, bapak saya semangat, orang-orang sekitar saya semangat. Jadi nggak ada perasaan takut karena saya merasa yah bersama dengan orang-orang yang punya pemikiran dan visi dan cita-cita yang sama.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved