Berita Internasional Terkini

Profil Erdogan Menang Pemilu, Presiden Turkiye 3 Periode, Pernah Dipenjara hingga Alami Kudeta

Simak Profil Recep Tayyip Erdogan yang kembali menang Pemilu, Presiden Turkiye 3 periode.

|
AFP/Arda Kucukkaya / ANADOLU AGENCY
Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan berbicara kepada media setelah bertemu dengan para korban gempa dan menyampaikan belasungkawa di kota tenda Diyarbakir pada 11 Februari 2023. Simak Profil Recep Tayyip Erdogan yang kembali menang Pemilu, Presiden Turkiye 3 periode. 

Pada 2013, para kritikus mulai memperingatkan bahwa Erdogan menjadi semakin otokratis.

Pada musim panas 2013, pengunjuk rasa turun ke jalan, sebagian dipicu rencana pemerintahan Erdogan mengubah taman yang sangat disukai orang-orang di pusat Kota Istanbul, juga untuk menantang pemerintahannya yang semakin otoriter.

Erdogan memerintahkan penggusuran paksa pengunjuk rasa dari Taman Gezi dan penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan memicu demonstrasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itu menandai titik balik dalam pemerintahannya.

Di mata para pengkritiknya, Erdogan bertindak lebih seperti seorang sultan dari Kesultanan Ustmaniyah dibandingkan seorang demokrat.

Baca juga: Rusia dan Turki Jadi Juru Damai di Suriah, Mampukah Erdogan Mencuci Otak Putin atas Invasinya?

Kebangkitan umat Muslim

Partai yang dipimpin Erdogan juga mencabut larangan perempuan mengenakan jilbab di kampus-kampus dan tempat pelayanan publik yang berlaku setelah kudeta militer pada tahun 1990.

Larangan tersebut juga akhirnya dicabut untuk para perempuan di institusi kepolisian, militer, dan peradilan.

Kritikus mengeluhkan bahwa Erdogan telah merusak pilar-pilar republik sekuler yang dibangun Mustafa Kemal Ataturk.

Meski religius, Erdogan selalu membantah bahwa dia ingin memaksakan nilai-nilai Islam, dan bersikeras dia hanya mendukung hak-hak orang Turkiye untuk mengekspresikan keyakinan mereka secara lebih terbuka.

Namun, dia berulang kali mengatakan bahwa peran perempuan di dalam masyarakat harus “memenuhi peran gender tradisional” dan bagi perempuan peran yang dimaksud itu adalah “menjadi ibu dan istri yang ideal”, di atas segalanya.

Dia mengutuk feminis dan mengatakan para laki-laki dan perempuan tidak bisa diperlakukan secara sama.

Erdogan telah lama memperjuangkan perjuangan Islam dan Islam politik, kelompok-kelompok yang secara ideologis dekat dengan Ikhwanul Muslimin yang tertindas di Mesir.

Terkadang, dia menggunakan salam empat jari khas kelompok itu--rabaa.

Pada Juli 2020, dia mengonversi Hagia Sophia yang bersejarah di Istanbul menjadi masjid, membuat marah banyak orang Kristen dan Muslim sekuler di Turkiye.

Hagia Sophia dibangun 1.500 tahun yang lalu sebagai katedral, dan dijadikan masjid oleh rezim Ottoman. Namun Ataturk mengubahnya menjadi museum, simbol dari negara sekuler baru.

Baca juga: Erdogan Kritik Pengiriman Tank NATO ke Ukraina untuk Lawan Rusia, Untungkan Cukong

Memperkuat cengkeramannya

Erdogan dilarang mencalonkan diri kembali sebagai perdana menteri pada 2014 karena telah mencapai batas tiga kali masa jabatan.

Dia kemudian mencalonkan diri untuk peran seremonial sebagai presiden dalam pemilihan langsung yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dia berencana mereformasi jabatan tersebut melalui konstitusi yang baru, yang oleh para kritikus diyakini akan menantang pendirian sekuler negara itu.

Namun pada masa-masa awal kepresidenannya, dia menghadapi dua ujian atas kekuasaannya.

Partainya kehilangan suara mayoritas di parlemen selama beberapa bulan pada 2015, dan dua tahun berikutnya, tepatnya pada 15 Juli 2016, upaya kudeta terjadi untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade di Turkiye.

Hampir 300 warga sipil tewas ketika mereka berupaya memblokir pergerakan maju komplotan kudeta.

Plot kudeta itu dituduhkan pada kelompok Gulen, yang dipimpin oleh seorang cendekiawan Islam yang berbasis di AS bernama Fethullah Gulen.

Gerakan sosial dan budaya dari kelompok Gulen telah membantu Erdogan meraih kemenangan dalam tiga pemilihan berturut-turut, tetapi ketika kedua sekutu itu bercerai, timbul dampak yang dramatis bagi masyarakat Turkiye.

Menyusul upaya kudeta pada 2016, sekitar 150.000 pegawai negeri dipecat dan lebih dari 50.000 orang ditahan termasuk tentara, jurnalis, pengacara, polisi, akademisi, hingga politisi Kurdi.

Aksi represif terhadap kritik ini memicu kekhawatiran internasional, dan berkontribusi pada mendinginnya hubungan Turkiye dengan Uni Eropa: pengajuan Turkiye untuk bisa bergabung dengan Uni Eropa tidak berprogres selama bertahun-tahun.

Argumen Turkiye soal masuknya imigran ke Yunani memperburuk situasi itu.

Erdogan menang tipis dalam referendum 2017 yang memberinya kekuasaan kepresidenan, termasuk hak untuk memberlakukan status keadaan darurat dan menunjuk pejabat tinggi publik, serta untuk campur tangan dalam sistem hukum.

Aktor internasional

Sepanjang masa kepemimpinannya, Erdogan juga tumbuh sebagai tokoh penting dalam politik internasional.

Dia menunjukkan Turkiye sebagai kekuatan regional dan gaya diplomasinya yang agresif membuat marah para sekutunya di Eropa dan sekitarnya.

Meskipun dia adalah pemimpin dari negara anggota NATO, Erdogan berhubungan dekat dengan Vladimir Putin dari Rusia dan memposisikan dirinya sebagai penengah dalam perang Rusia di Ukraina.

Dia membantu menengahi kesepakatan yang membuka koridor aman untuk ekspor biji-bijian melalui Laut Hitam, dan mencegah penghentiannya saat Rusia berencana mengakhiri perjanjian tersebut.

Erdogan juga membuat Swedia dan Finlandia menunggu pengajuan mereka untuk bergabung dengan aliansi NATO.

Dia akhirnya menyetujui Finlandia untuk bergabung, tapi menahan Swedia dan menuduh negara itu menyembunyikan separatis Kurdi dan pembangkang lainnya yang dia anggap sebagai “teroris”.

Baca juga: Di Tengah Kecaman dan Sanksi Akibat Perang di Ukraina, Rusia Justru Dipuji Presiden Turki Erdogan

Keadaan berbalik

Banyak kritikus memandang pemilihan lokal 2019 sebagai “pukulan pertama” bagi pemerintahan panjang Erdogan karena partainya kalah di tiga kota terbesar: Istanbul, Ankara, dan Izmir.

Kekalahan wali kota Istanbul kepada Ekrem Imamoglu yang merupakan oposisi utama dari Partai Rakyat Republik (CHP) merupakan pukulan telak bagi Erdogan, yang pernah menjadi wali kota Istanbul pada 1990-an.

Saat ini, Imamoglu berupaya memperluas kesuksesannya pada level nasional.

Dia berkampanye bersama calon presiden dari kubu oposisi yang bersatu melawan Erdogan, Kemal Kilicdaroglu.

Kritik atas kurangnya kesiapsiagaan pemerintah dan lambatnya respons terhadap gempa dahsyat yang menewaskan lebih dari 50.000 orang dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal adalah satu dari banyak tantangan yang dihadapi kubu Erdogan.

Tantangan lainnya adalah kondisi ekonomi yang memburuk di mana jutaan orang menderita akibat krisis biaya hidup.

Pada 14 Mei, Erdogan mempertaruhkan warisannya selama dua dekade dalam pemungutan suara melawan aliansi oposisi yang kuat.

Kini Erdogan memenangkan Pemilu dan kembali terpilih menjadi Presiden Turkiye. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan Kompas.com 

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved