Tahun Baru Islam

Mengenal Bubur Suro, Hidangan Khas Tahun Baru Islam yang Tiap Lauknya Bermakna, Cek Sejarahnya

Mengenal bubur suro, hidangan khas tahun baru Islam yang tiap lauknya mengandung makna, cek sejarahnya.

|
Editor: Diah Anggraeni
TribunTravel.com/sholawatnariyah.com
Mengenal bubur suro, hidangan khas tahun baru Islam yang tiap lauknya mengandung makna, cek sejarahnya. 

TRIBUNKALTIM.CO - Mengenal bubur suro, hidangan khas tahun baru Islam yang tiap lauknya mengandung makna, cek sejarahnya.

Masyarakat Jawa tentu sudah tidak asing dengan bubur suro.

Bubur suro adalah hidangan yang sangat identik dengan Tahun Baru Islam.

Bubur suran atau bubur suro dihadirkan masyarakat Jawa pada malam menjelang datangnya 1 Suro.

Dalam konsep Jawa, hari esok dianggap datang setelah lewat pukul empat petang.

Sebagai informasi, 1 suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa.

1 Suro bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

Pada tahun 2023 ini, Tahun Baru Islam jatuh pada 19 Juli mendatang.

Baca juga: Hidangan Khas saat Perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram, Kapan Bubur Suro Disajikan?

Bubur Suro sebagai Uba Rampe bagi Masyarakat Jawa

Tanggal 1 Suro diperingati masyarakat Jawa dengan cara yang khas.

Peringatan 1 Suro ini telah dilaksanakan secara turun temurun, bahkan selama berabad-abad.

Salah satunya lewat elemen kuliner yang khas sebagai lambang perayaan tersebut, yakni bubur suro.

Ya, bubur suro menjadi lambang untuk perayaan Tahun Baru Islam.

Oleh karenanya bubur suro ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro.

Bubur beras dan kelengkapannya bubur suro punya rasa gurih dengan nuansa pedas yang tipis.

Biasanya dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh.

Selain itu, bubur suro juga biasa disajikan dengan lauk berupa opor ayam dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas.

Bubur suro ditafsirkan sebagai alat atau uba rampe dalam bahasa Jawauntuk memaknai 1 Suro.
Bubur suro ditafsirkan sebagai alat atau uba rampe dalam bahasa Jawauntuk memaknai 1 Suro. (disbudpar.cirebonkota.go.id)

Di atas bubur ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima.

Ada pula tujuh jenis kacang yakni: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor.

Sebagian kacang ada yang digoreng, dan ada yang direbus.

Tak itu saja, ada pula tambahan berupa irisan timun dan beberapa lembar daun kemangi.

Sebagai uba rampe, bubur suro juga disajikan dengan uba rampe lainnya berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan.

Kehadiran sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur, khususnya yang telah mendahului kita.

Sirih lengkap akan diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga yang selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual perlintasan Jawa dengan makna yang sama.

Sementara untuk kembar mayang, merupakan dua vas bunga yang masing-masing berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.

Baca juga: Apa Itu Bubur Suro? Hidangan Khas saat Tahun Baru Islam 1 Muharram, Begini Asal Muasalnya

Lambang Angka Tujuh pada Bubur Suro

Angka tujuh yang ada pada bunga dan kacang-kacangan juga punya arti sendiri.

Tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu.

Maknanya, dalam hidup setiap hari, kita harus selalu punya tekad dan keberanian untuk bertindak yang dilambangkan dengan mawar merah.

Namun, semua tindakan tersebut haris dilandasi dengan niat yang bersih dan benar, yang dilambangkan oleh mawar putih.

Pada akhirnya, diharapkan semua tindakan tersebut akan bisa mengharumkan dunia umat manusia.

Hal tersebut dilambangkan oleh rangkaian bunga melati dan daun pandan yang terkenal punya aroma harum yang menyengat.

Tak hanya kacang-kacangan dan bunga saja, ada pula pelengkap lain berupa sekeranjang buah-buahan yang diisi dengan tujuh jenis buah dan masing-masing terdiri atas tujuh butir.

Misalnya, tujuh jeruk, tujuh salak, tujuh rambutan, dan lain-lain. Maknanya adalah agar semua pekerjaan dan tindakan menghasilkan buah yang manis dan bermanfaat bagi sesama.

Makna uba rampe Jika ditelaah lebih jauh, memberi makna pada lambang-lambang yang dihadirkan oleh bubur suro dan uba rampe tersebut, bisa dibilang cukup mirip dengan tradisi modern menyambut tahun baru.

Biasanya jika akan menyambut tahun baru kamu akan melakukan refleksi diri, hal apa saja yang kamu lakukan pada tahun lalu. Kamu akan meninjau kembali kinerja di tahun sebelumnya.

Setelah itu kamu akan membuat resolusi untuk memperbaiki tata hidup dan pencapaian di tahun berikutnya.

Bubur suro dan uba rame tersebut hadir sebagai alat bantu untuk memudahkan proses refleksi dan resolusi yang kamu lakukan.

Baca juga: Makna Bubur Suro, Menu Khas Peringati Tahun Baru Islam 1 Muharram

Sejarah Bubur Suro

Bubur Suro diambil dari kata asyuro, yaitu bubur yang komposisinya dari berbagai macam biji-bijian.

Biji-bijian mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan beberapa lagi jenis biji-bijian kemudian dimasak menjadi bubur.

Setelah masak, kemudian dimakan bersama keluarga dan dibagikan kepada anak-anak yatim, orang tak mampu, mereka yang sedang tidak melaksanakan puasa, atau dimakan saat berbuka puasa.

Mengutip dari jatim.nu.or.id, tradisi membuat bubur suro bila ditelusuri dalam sejumlah kitab klasik memiliki kemiripan dengan yang pernah dilakukan Nabi Nuh dan kaumnya.

Keterangan ini bisa dilihat dalam kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267 disebutkan:

قَوْلُهُ: وَأَخْرَجَ نُوْحًا مِنَ السَّفِيْنَةِ وَذَلِكَ أَنَّ نُوْحًا - عَلَيْهِ السَّلَامُ - لَمَّا نَزَلَ مِنَ السَّفِيْنَةِ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ: شَكَوْا اَلْجُوْعَ، وَقَدْ فَرَغَتْ أَزْوَادُهُمْ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَأْتُوْا بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ، فَجَاءَ هَذَا بِكَفِّ حِنْطَةٍ، وَهَذَا بِكَفِّ عَدَسٍ، وَهَذَا بِكَفِّ فُوْلٍ، وَهَذَا بِكَفِّ حِمَّصٍ إِلَى أَنْ بَلَغَتْ سَبْعَ حُبُوْبٍ - وَكَانَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ - فَسَمَّى نُوْحٌ عَلَيْهَا وَطَبَخَهَا لَهُمْ، فَأَكَلُوْا جَمِيْعًا وَشَبِعُوْا، بِبَرَكَاتِ نُوْحٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Artinya: Allah mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu. Kisahnya sebagai berikut: sesungguhnya Nabi Nuh ketika berlabuh dan turun dari kapal, beliau bersama orang-orang yang menyertainya, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah habis. Lalu Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful,ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh.

Ya, bubur asyura sudah ada sejak masa Nabi Nuh kala bersama kaumnya yang beriman selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu.

Mengutip BangkaPos.com dari laman PISS-KTB, dihikayatkan bahwa tatkala perahu Nabi Nuh as sudah berlabuh (siap digunakan) pada hari ‘asyuro, beliau berkata kepada kaumnya 'kumpulkanlah semua perbekalan yang ada pada diri kalian'.

Lalu beliau menghampiri (mereka) dan berkata '(ambillah) kacang fuul (semacam kedelai) ini sekepal, dan ‘adas (biji-bijian) ini sekepal, dan ini dengan beras, dan ini dengan gandum, dan ini dengan jelai (sejenis tumbuhan yang bijinya/buahnya keras dibuat tasbih)'.

Kemudian Nabi Nuh berkata 'pasaklah semua itu oleh kalian!, niscaya kalian akan senang dalam keadaan selamat'.

Dari peristiwa ini, kaum muslimin (terbiasa) memasak biji-bijian.

Kejadian di atas juga merupakan bentuk praktik memasak yang pertama kali terjadi di atas muka bumi setelah kejadian topan.

Peristiwa ini kemudian dijadikan (inspirasi) sebagai kebiasan setiap hari ‘asyuro.

Sementara itu, mengutip dari Kompas.com, konon katanya tradisi bubur suro berkaitan dengan kisah ketika Nabi Muhammad masih hidup.

Saat itu Perang Badar sedang berlangsung.

Usai perang, jumlah prajurit Islam menjadi lebih banyak.

Saat itu seorang sahabat Nabi Muhammad saw memasak bubur.

Namun jumlah bubur yang ia buat tidak mencukupi karena jumlah prajurit yang begitu banyak.

Akhirnya Nabi Muhammad memerintahkan para sahabatnya mengumpulkan bahan apa saja yang tersedia untuk kemudian dicampurkan ke bubur tersebut.

Tujuannya agar bubur yang dibuat menjadi lebih banyak dan bisa didistribusikan kepada semua prajurit.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Filosofi Bubur Suro Khas Tahun Baru Islam, Tiap Lauknya Pun Bermakna".

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved