Berita Balikpapan Terkini

Akademisi Balikpapan Ungkap Rangkaian Peristiwa yang Picu Kritik ke Jokowi

Sejumlah guru besar dari berbagai kampus telah menandatangani petisi menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi demokrasi menjelang Pemilihan Umum

TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH
KRITIK - Seorang akademisi di Balikpapan, Mangara Maitlando Gulto (tengah). Ia menilai, kritik terhadap Presiden Joko Widodo dari kalangan akademisi, termasuk gelombang protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dan kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi, menekankan bahwa presiden disoroti karena dianggap menyimpang dari nilai-nilai demokrasi dan tata hukum.TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Kritik terhadap Presiden Joko Widodo muncul dari beberapa daerah dan disuarakan sejumlah akademisi.

Sejumlah guru besar dari berbagai kampus telah menandatangani petisi menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi demokrasi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Seorang akademisi dari Balikpapan, Mangara Maitlando Gultom, turut mengkritik Presiden Joko Widodo.

Ia menyatakan bahwa kritik tersebut bukanlah hal baru dan sudah berlangsung sejak tahun 2019.

Menurutnya, rezim atau pemerintahan telah merusak tatanan demokrasi di Indonesia, dimulai dari pengesahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja.

Baca juga: Giliran Eks Pimpinan KPK Ingatkan Jokowi Usai Akademisi, Minta Pegang Teguh Standar Moral dan Etika

Baca juga: Jokowi Dikritik Akademisi UGM hingga UI, Ini Sikap Anies, Muhaimin, Ganjar, dan Mahfud MD

"Meskipun pada saat itu Mahkamah Konstitusi menyatakan ketidakberlakuan secara formal," ucapnya, Kamis (8/2/2024).

Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang secara substansial serupa dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.

Mangara menyoroti "pengkhianatan" eksekutif dengan menerbitkan Perpu yang mengesampingkan tiga unsur kegentingan yang sebelumnya diakui.

Kritik terhadap Presiden semakin memuncak setelah Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden secara inkonstitusional bersyarat, termasuk batasan umur 40 tahun.

Mangara menunjukkan bahwa putusan ini memungkinkan anak Presiden, Gibran, yang belum mencapai usia 40 tahun, mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden.

Baca juga: Akui Ada Perubahan Banjir Samarinda, Akademisi: Belum Seperti Ekspektasi, Walikota Tetap Evaluasi

"Saya ingin menegaskan bahwa saya tidak peduli siapapun yang sedang berkontestasi dalam Pilpres namun saya menghormati kontestan, ini hanya tentang tata hukum atau cara kita bernegara,” tegas Mangara.

Kecurigaan terhadap skandal semakin bertambah setelah empat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyebutkan bahwa sembilan hakim konstitusi melanggar etika, dengan sanksi berupa teguran lisan dan pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Debat terkait putusan MKMK semakin memanas dengan DKPP menyatakan Ketua KPU melanggar kode etik penyelenggara pemilu.

“Belum lagi gerakan-gerakan tambahan Presiden seperti turun langsung bagi-bagi sembako sementara ada Menteri sebagai pembantunya, kemudian mengomentari teknis debat Capres padahal Presiden bukan kontestan,” ucap Mangara.

Presiden, menurut Mangara, perlu berhenti menggunakan kekuasaannya dengan cara yang menyimpang dari semangat proklamasi kemerdekaan, Pancasila, reformasi, dan prinsip-prinsip demokrasi.

Ia mengingatkan untuk merenung kembali tentang sumpah jabatan Presiden yang diucapkan di hadapan rakyat dan Tuhan. (*)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved