Berita Nasional Terkini
Alasan Mahkamah Konstitusi Hapus Pasal yang Melarang Dinasti Politik, Bermula dari Gugatan di 2015
Dalam beberapa tahun terakhir, dinasti politik menjadi salah satu isu yang tak pernah berhenti menjadi perbincangan.
TRIBUNKALTIM.CO - Dalam beberapa tahun terakhir, dinasti politik menjadi salah satu isu yang tak pernah berhenti menjadi perbincangan.
Dinasti politik memang cukup kental di Indonesia.
Tapi, tahukah kaliah? dulunya Indonesia sempat melarang adanya praktik dinasti politik.
Pasal yang mengatur terkait larangan praktik dinasti politik akhirnya dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Bukan Gerindra, Ternyata PDIP dan Nasdem Paling Banyak Calegnya Terindikasi Dinasti Politik
Baca juga: Ade Armando Minta Maaf soal Dinasti Politik di DIY Setelah Kaesang Marah dan Kantor PSI Didemo Massa
Yap, Indonesia sempat melarang dinasti politik lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.
Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Penjelasan di balik pasal tersebut adalah calon kepala daerah tidak boleh mempunyai konflik kepentingan dengan petahana, baik secara hubungan darah, ikatan perkawinan, atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, bawah, maupun samping dengan petahana.
Ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu petahana baru dapat mencalonkan diri jika melewati satu kali masa jabatan, namun larangan ini dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015.
Baca juga: 5 Hasil Survei Capres 2024 Terbaru: Dinasti Politik Menggerus Elektabilitas Prabowo-Gibran?
Lantas, apa alasan MK menghapus pasal yang melarang dinasti politik?
MK menghapus pasal yang melarang dinasti politik ketika menerima gugatan Adnan Purichta Ichsan pada 2015.
Pasal larangan dinasti politik yang dihapus MK berkaitan dengan majunya keluarga petahana dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Baca juga: Ditanya Soal Gibran Jadi Cawapres Prabowo hingga Tudingan Dinasti Politik, Ini Jawaban Kaesang
Tak hanya itu, Arief juga menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
“Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan,” ujarnya dikutip dari laman resmi MK.
Patrialis Akbar yang pada saat itu masih menjabat sebagai Hakim MK mengatakan, adanya pembatasan terhadap anggota keluarga untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk dipilih atau mencalonkan diri merupakan bentuk nyata dalam kasus status quo saat perbedaan dibuat semata-mata untuk membatasi kelompok orang tertentu.
MK menyebutkan bahwa dilegalkannya calon kepala daerah maju dalam Pilkada tanpa adanya larangan memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, berpotensi melahirkan dinasti politik.
Baca juga: Kaesang Tertarik Terjun ke Politik, Rocky Gerung Sebut Lengkap Sudah Dinasti Politik Jokowi
Tetapi, hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan karena UUD mengatur agar tidak terjadi diskriminasi daan menjadi inkonstitusional bila dipaksakan.
Irwan Hamid yang pada saat itu menjadi kuasa hukum ipar petahana Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, Irman Putrasiddin, menyampaikan bahwa larangan dinasti politik dalam Pilkada termasuk inkonstitusional.
Ia juga menilai larangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
“Putusan ini juga sudah otomatis menjadi koreksi konstitusional terhadap UU Pilkada tersebut yang berlaku serta merta,” imbuh Irwan dikutip dari laman MK.
Baca juga: Nurul Arifin Tidak Alergi dengan Dinasti Politik, Sah-sah Saja Konsepnya Tidak Haram
Dilansir dari Kompas.id, Selasa (21/11/2023), praktik dinasti politik lumrah terjadi di Indonesia karena dilakukan beberapa mantan presiden, termasuk kepala pemerintahan yang saat ini sedang berkuasa, Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi yang saat ini menjabat sebagai RI-1 memiliki putra sulung bernama Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Wali Kota Solo dan akan dilantik menjadi wakil presiden.
Jokowi juga mempunyai menantu bernama Bobby Nasution yang menikahi anak keduanya, Kahiyang Ayu, yang kini menjabat sebagai Wali Kota Medan dan digadang-gadang maju Pilkada Sumatera Utara.
Tak berhenti sampai di situ, dinasti politik Jokowi terjadi di luar keluarga intinya ketika sang adik, Idayati, menikahi Anwar Usman pada 2022 yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua MK.
Baca juga: Jokowi Diserang dan Dibela Kader PDIP Soal Dinasti Politik, Respon Gibran dan Bobby tak Terduga
Selain Jokowi, keterkaitan politik antarfamili juga terjadi di keluarga Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Ia memiliki anak bernama Agus Harimurti Yudhoyono yang kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kemudian, SBY juga memiliki anak bernama Edhie Baskoro Yudhoyono yang saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2019-2024.
Praktik dinasti politik memang sudah tidak dilarang, namun hal ini memicu terjadinya korupsi, seperti dinasti politik Banten, Sumatera Selatan, Klaten, dan Sukoharjo.
Itulah alasan MK menghapus pasal yang melarang dinasti politik beserta contoh keluarga yang melanggengkan kekuasaan di wilayah atau pemerintahan. (*)
Ikuti berita populer lainnya di Google News Tribun Kaltim
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp Tribun Kaltim
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dulu Dilarang, Kenapa MK Hapus Pasal yang Melarang Dinasti Politik?"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.