Pilkada Kaltim 2024
Khawatir Kotak Kosong pada Pilkada 2024, PPAM-KT: Ada Gejala untuk Mematikan Demokrasi di Kaltim
Khawatir dengan Kotak Kosong pada Pilkada 2024, Perkumpulan Aspirasi Masyarakat Kaltim (PAM-KT) menyebut ada gejala untuk mematikan demokrasi.
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Diah Anggraeni
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Perkumpulan Aspirasi Masyarakat Kaltim (PAM-KT) terus mengamati dinamika politik yang berkembang di beberapa daerah di Kalimantan Timur (Kaltim).
PAMK pun turut bersuara soal embusan isu pasangan calon tunggal atau kolom kosong (kotak kosong) pada Pilkada 2024.
Dua hari ini terdapat fenomena segelintir masyarakat yang menolak adanya kotak kosong, terutama pada Kaltim Kaltim 2024 membuatnya khawatir.
“Saya khawatir kemarin ada unjuk rasa, hari ini ada deklarasi relawan kotak kosong, baliho dan spanduk di mana–mana. Kaltim yang heterogen harus kita jaga kondusivitasnya, jangan sampai terusik,” ungkap Ketua Umum PAM-KT, Erly Sopiansyah, Sabtu (3/8/2024).
Baca juga: Aksi Relawan Kotak Kosong, Desak Parpol Hadirkan Calon Kepala Daerah di Pilkada Kaltim 2024
Menurutnya, fenomena kotak kosong memang sah secara undang–undang.
Namun penggiringan ke salah satu elite politik yang berambisi untuk menjadi kepala daerah tentu tidak sehat secara demokrasi.
Ia berharap pelakasanaan Pilkada 2024 secara serentak baik provinsi maupun kabupaten/kota berjalan kompetitif.
“Harus mencerminkan pemimpin baik, mementingkan kepentingan masyarakat dan daerah. Saya memilih satu visi–misi saja? Kotak kosong apa?,” tukasnya.
“Pembelajaran ke masyarakat tentu harus baik, saya lihat ada gejala untuk mematikan demokrasi di Kaltim, harusnya tumbuh,” sambung Erly.
Baca juga: Kans Calon Tunggal di Pilkada Kaltim 2024, Akademisi sebut Satu Pasangan Lolos, Bukan harus Dipilih
Suguhan kotak kosong yang diikutinya di media massa atau obrolan di warung kopi harusnya bercermin pada pilkada sebelumnya.
Kehadiran 4 pasangan calon pada Pilgub Kaltim 2018 membuat masyarakat punya pilihan dan warnanya masing–masing dalam menentukan pilihan.
“Ya, minimal dua paslon, kalau saya ingin ada pilihan. Jadi mereka menjual gagasan, visi–misi, apa tujuan mereka maju di pilkada, sehingga saya dan masyarakat lainnya bebas memilih sesuai undang–undang juga,” tandas Erly. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.