Pilkada 2024

Istana dan KPU Ikut Putusan MK Terbaru soal UU Pilkada, Pakar Beber Dampak Buruk Bila UU DPR Diikuti

Pemerintah dan KPU akhirnya menegaskan akan mengikuti Putusan MK terbaru soal syarat pencalonan kepala daerah di pilkada 2024

Editor: Doan Pardede
KOMPAS.com / VITORIO MANTALEA
PUTUSAN MK TERBARU - Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menegaskan, tidak ada perubahan sikap KPU dibandingkan yang disampaikan pada Selasa (20/8/2024) setelah putusan MK terkait UU Pilkada terbit. 

TRIBUNKALTIM.CO - Pemerintah dan komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menegaskan akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi atau Putusan MK terbaru soal syarat pencalonan kepala daerah di pilkada. 

Diberitakan sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR RI pada Rabu sore menyatakan menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal syarat usia minimum calon kepala daerah.

Dalam putusannya pada Selasa (20/8/2024), MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Namun, Baleg DPR pilih mengikuti putusan kontroversial Mahkamah Agung (MA) yang menyebutkan bahwa titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan.

Baca juga: Mahasiswa Kaltim Unjuk Rasa Tolak Revisi RUU Pilkada, Kawal Putusan MK dan 6 Isu Tuntutan Lainnya

Situasi ini menjadi angin segar untuk putra bungsu Presiden Joko Widodo Kaesang Pangarep yang mulai digadang-gadang maju Pilkada 2024.

Seandainya menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.

Sementara itu, dengan putusan MA, Kaesang bisa saja maju karena pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 hampir pasti dilakukan pada 2025, setelah ia berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024 kelak.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi mengatakan, pemerintah akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pencalonan kepala daerah di pilkada.

Hal itu disampaikannya saat ditanya sikap terkini pemerintah menyikapi polemik aturan pencalonan kepala daerah yang telah diputuskan oleh MK tetapi dibatalkan oleh DPR RI.

"Aturan yang berlaku terakhir MK kan? Iya, aturan yang berlaku itu (putusan MK). Posisinya kita sama soalnya," ujar Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/8/2024) seperti dilansir Kompas.com.

Hasan menjelaskan, pada Kamis pagi DPR telah menyatakan menunda paripurna pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada.

20240822_Putusan MK 2024 terbaru
PUTUSAN MK TERBARU - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

DPR juga menegaskan bahwa jika sampai 27 Agustus 2024 tidak ada pengesahan aturan tersebut maka akan tetap mengikuti aturan terakhir.

"Jika sampai tanggal 27 Agustus ini tidak ada pengesahan Undang-Undang Pilkada Artinya DPR Akan mengikuti aturan yang terakhir. Begitu pernyataan dari DPR tadi. Wakil Ketua DPR tadi menyatakan itu, akan mengikuti aturan terakhir yaitu putusan MK," ungkapnya.

"Nah, pemerintah juga berada pada posisi yang sama seperti sebelumnya, yaitu mengikuti aturan yang berlaku. Jadi selama tidak ada aturan yang baru maka pemerintah akan ikut menjalankan aturan-aturan yang saat ini masih berlaku. Jadi begitu posisi pemerintah," tambah Hasan.

Sebelumya, Hasan Nasbi mengatakan, pemerintah akan menjalankan undang-undang dari pembuat undang-undang soal syarat batas usia calon kepala daerah di pilkada.

Pembuat undang-undang yang dimaksud yakni DPR RI.

"Pemerintah kan tugasnya menjalankan undang-undang," ujar Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

"Pembuat undang-undang kan cuma satu (DPR)," tegasnya.

Jawaban tersebut disampaikan Hasan Nasbi saat ditanya perihal apakah pemerintah akan mengikuti aturan yang dibuat DPR atau Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat batas usia calon kepala daerah di pilkada.

Hasan menjelaskan, inisiatif pembentukan undang-undang berasal dari DPR dan pemerintah.

Hanya saja, jika undang-undang sudah keluar nantinya pemerintah bertugas menjalankannya.

"Tapi terkait pemilu, lebih banyak nanti yang menjalankannya KPU kan, tidak secara langsung pemerintah," katanya.

Baca juga: BREAKING NEWS: Demo di Samarinda Hari Ini terkait RUU Pilkada, Kawal Putusan MK

KPU Tegaskan Ikut Putusan MK Terbaru soal UU Pilkada 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan ikut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan perubahan norma dalam UU Pilkada, meskipun DPR melakukan akrobat politik dengan menempuh revisi kilat dalam 7 jam melalui Badan Legislasi (Baleg) kemarin.

Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menegaskan, tidak ada perubahan sikap KPU dibandingkan yang disampaikan pada Selasa (20/8/2024) setelah putusan MK terkait UU Pilkada terbit.

"Kami sampaikan, kami ulangi lagi, sebagaimana berita beredar, KPU dalam hal ini sudah menempuh langkah untuk menindaklanjuti putusan MK," kata pria yang akrab disapa Afif dalam jumpa pers, Kamis (22/8/2024) seperti dilansir Kompas.com.

"Jadi kalau pertanyaannya apakah KPU menindaklanjuti putusan MK, kami tegaskan KPU menindaklanjuti putusan MK," tegasnya.

Afif juga menyatakan kembali, dalam rangka menindaklanjuti putusan MK ke dalam peraturan KPU (PKPU), KPU perlu menempuh konsultasi terlebih dengan pembentuk undang-undang.

Namun, ia menegaskan, konsultasi itu sekadar bentuk "tertib prosedur".

Pasalnya, berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016, KPU wajib menempuh konsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum menerbitkan PKPU.

Pada putusan lain MK tahun 2017, Mahkamah memutus hasil rapat konsultasi tersebut tidak mengikat bagi KPU.

"Kenapa ini (konsultasi) kami lakukan, kami punya pengalaman dulu ada putusan MK dalam proses pilpres, putusan 90 yang saat itu dalam perjalanannya kemudian kami tindak lanjut tetapi konsultasi tidak sempat dilakukan karena satu dan lain hal, selanjutnya dalam aduan dan putusan DKPP kami dinyatakan salah dan diberi peringatan keras dan keras terakhir," jelas Afif.

"Saya kira ini sudah klir untuk menjadi informasi yang disampaikan teman-teman ke khalayak, masyarakat pemilih, dan seterusnya. Tentu jalur-jalur konsultasi ini semata-mata tertib prosedur sebagimana pengalaman yang kita alami," imbuhnya.

Adapun permintaan konsultasi berkaitan tindak lanjut putusan MK soal UU Pilkada ini sudah dilayangkan KPU sejak Rabu (21/8/2024).

Sementara itu, pendaftaran calon kepala daerah akan dibuka pada 27-29 Agustus 2024 nanti.

 Baca juga: Calon Bupati Terkuat Hasil Survei Pilkada Tangerang 2024, Simulasi Head to Head Maesyal vs H Ombi

Putusan MK Dinilai Akan Ubah Peta Kekuatan Politik pada Pilkada 2024

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti berpandangan bahwa peta kekuatan politik bakal berubah dengan adanya dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut pemilihan kepala daerah (pilkada).

Diketahui, melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengubah besaran ambang batas pencalonan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol.

Bahkan, menyatakan inkonstitusional pasal yang mensyaratkan kepemilikan kursi DPRD dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.

Kemudian, lewat putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK mengatur persyaratan usia minimum harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon.

“Dengan adanya putusan MK ini, kita berharap gairah pilkada sebagai pesta kedaulatan rakyat kembali. Parpol-parpol dapat menyusun ulang strategi. Peta kekuatan politik di pilkada akan berubah,” kata Ray dalam keterangan tertulis, Rabu (21/8/2024).

Oleh karenanya, dia mengatakan, dua putusan MK tersebut juga menghindarkan lahirnya kepala daerah giveaway akibat praktik borong parpol yang diperlihatkan dalam gelaran Pilkada 2024.

“Rakyat kembali menemukan haknya yang mulai lepas. Sebagai pemilik sah kedaulatan politik Indonesia,” ujar Ray.

Kemudian, Ray mendesak agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) tentang persyaratan pencalonan dalam pilkada dengan memasukan poin-poin putusan MK, khususnya yang terkait dengan sarat pencalonan paslon oleh parpol atau gabungan parpol dan penghitungan batas usia minimal paslon dalam pilkada.

“Lima Indonesia tidak menemukan alasan yang kuat untuk tidak segera memasukan poin putusan MK ini ke dalam PKPU,” katanya.

Menurut Ray, hal itu harus segera dilakukan karena pendaftaran calon kepala daerah sebentar lagi akan dibuka, yakni pada 27-29 Agustus 2024.

“Masih tersedia enam hari dalam hitungan kalender atau empat hari dalam hitungan hari kerja. Waktu ini, lebih dari cukup untuk memasukan poin putusan MK dimaksud,” ujarnya.

Selain itu, Ray mengkhawatirkan KPU bakal terkena pelanggaran etik jika tidak segera memasukkan norma dari putusan MK.

Sebab, bukan tidak mungkin ada elemen masyarakat yang melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

"KPU perlu mencegah agar tidak berulang keluar masuk sidang etik DKPP untuk perkara yang sebenarnya dapat dicegah. Sehingga wibawa dan kepercayaan publik terhadap KPU tetap terjaga paska tragedi demi tragedi yang menimpa KPU sebelumnya,” katanya, seperti dilansir Kompas.com

Sebagaimana diketahui, dengan adanya putusan MK nomor 60, Anies Baswedan masih memiliki peluang maju pada Pilkada Jakara 2024.

Baca juga: Demi Kepentingan Anak Jokowi, Putusan MK Untungkan Gibran Diikuti yang Rugikan Kaesang Dikangkangi

Sebab, Mahkamah mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol.

Beda dengan Anies, Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) sebagai partai pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 dipastikan bisa mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri karena adanya putusan MK tersebut.

Pasalnya, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD, sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada.

Pakar Sebut KPU Harus Ikuti Putusan MK, Bukan UU Pilkada Hasil "Revisi Ngebut" DPR 

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu harus mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024, alih-alih mengikuti hasil perubahan Undang-Undang Pilkada yang sedang dikebut DPR RI.

“Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU harusnya mengikuti apa yang diputus oleh MK, bukan undang-undang. Harusnya,” ujar Bivitri dalam obrolan Newsroom di YouTube Kompas.com, Rabu (21/8/2024).

Adapun putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas parlemen Pilkada disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sehingga partai politik manapun bisa mengajukan calon kepala daerah, meski tidak berkoalisi.

Namun, pasca putusan itu, DPR mengebut pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada dengan substansi yang mementahkan sebagian putusan MK.

Bivitri mengatakan, jika mengikuti koridor konstitusi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, ilmu tata negara, serta hukum serupa di negara lain, penyelenggara pemilu di manapun harus mengikuti apa yang diputuskan oleh MK.

“Yang namanya KPU-nya di mana pun harus mengikuti apa yang disebut dalam undang-undang yang sudah dinyatakan, ini yang konstitusional oleh MK,” ujar Bivitri.

Menurut Bivitri, jika sampai KPU mengikuti UU Pilkada hasil revisi DPR yang dibahas untuk menandingi putusan MK, maka Indonesia masuk dalam situasi krisis konstitusional.

Dengan demikian, tindakan KPU dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak juga inkonstitusional.

“Inkonstitusional, sama dengan DPR dan pemerintah ini lagi ngebut membalikkan situasi itu,” kata Bivitri, seperti dilansir Kompas.com

Sebelumnya, MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 disebutkan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Kehadiran putusan ini membuat PDI-P tetap bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak berkoalisi dengan partai lain.

Di sisi lain, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga memiliki peluang diusung PDI-P setelah ditinggalkan pendukungnya yang merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus pengusung Prabowo. 

Ikuti berita populer lainnya di Google News Tribun Kaltim

Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp Tribun Kaltim

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved