Berita KaltimTerkini

Putusan MK Terbaru Diapresiasi, Pusdiksi Fakultas Hukum Unmul Minta Pemerintah–DPR Tak ‘Bersiasat’

Putusan MK terbaru diapresiasi, Pusdiksi Fakultas Hukum Unmul minta pemerintah–DPR tak ‘bersiasat’.

Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Diah Anggraeni
KOMPAS.COM/Sandro Gatra
Ilustrasi Kantor Mahkamah Konstitusi. Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman merespons dua putusan MK terkait pilkada. 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Pusat Studi Konstitusi (Pusdiksi) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) memberikan tanggapannya soal dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sikap akademik itu soal putusan MK terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang dituangkan dalam pernyataan resmi.

Direktur Pusdiksi FH Unmul, Harry Setya Nugraha mengungkapkan, anomali perpolitikan Indonesia hari ini telah merusak iklim demokrasi.

Tatanan yang telah dibangun sekian lamanya pelan-pelan tergerus oleh ombak kekuasaan.

Baca juga: Tanggapan Anggota CALS dan Pakar Hukum Unmul jika Pemerintah dan DPR Abaikan Putusan MK Terbaru

Normalisasi pembajakan hak demokrasi warga negara melalui “kotak kosong” dan/atau “calon boneka” dalam kontestasi pilkada adalah bentuk nyata politik kotor yang tengah dimainkan oleh penguasa. 

Ambang batas (threshold) sebagai pagar para parpol dalam mengusung calon kepala daerah menyebabkan beberapa partai tidak dapat mengusung kandidatnya.

Melalui dua (dua) putusan MK terbaru yang diketok palu pada Selasa (20/8/2024) kemarin, tentunya patut diapresiasi dan membawa angin segar demokrasi.

Diketahui, putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 kemudian memutarbalikkan konstelasi perpolitikan di Indonesia, dalam hal ini Pilkada.

Pasalnya dalam putusan a quo, MK kemudian menghapus pembatasan threshold (aturan yang banyak menyandera Parpol dalam melakukan pencalonan).

“Fenomena ini tentu memberikan angin segar bagi Parpol yang memenuhi syarat sebagaimana putusan a quo, dengan kata lain keran demokrasi kembali dibuka, menutup potensi calon tunggal, memungkinkan lahirnya beberapa calon Pilkada, dan masyarakat dapat menentukan pilihannya dengan bijak tanpa dihadapkan dengan fenomena “kotak kosong” lagi,” jelasnya, Rabu (21/8/2024) malam.

Tidak hanya itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 juga pada akhirnya mengembalikan tafsir syarat usia pencalonan kepala daerah pada tafsir yang sebenarnya setelah sebelumnya ditafsirkan berbeda oleh Mahkamah Agung. 

“Dua putusan tersebut setidaknya menunjukkan bahwa pada titik ini Mahkamah Konstitusi mencoba untuk turut menjunjung tinggi supremasi konstitusi dan menjaga demokrasi,” tegasnya.

“Namun, belum cukup 24 jam putusan a quo bergulir, besar indikasi kerakusan penguasa ingin menganulir putusan a quo dengan jalan merevisi UU Pilkada,” sambung Harry.

Baca juga: Tanggapan Pengamat Sosial Politik Unmul Saipul Bahtiar Terkait Pembangunan IKN setelah HUT RI ke-79

Pusdiksi Fakultas Hukum (FH) Unmul menyikapi fenomena ini.

Terhadap putusan a quo dan fenomena yang dimaksud, pihaknya patut menyampaikan sikap akademik.

Lima poin disampaikan dalam keterangan resminya.

Pemerintah dan DPR diminta tidak ‘bersiasat’ merevisi UU Pilkada 2016 usai terbitnya 2 (dua) putusan MK yang melonggarkan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah. 

Pertama, mendukung Mahkamah Konstitusi agar terus konsisten melakukan kerja-kerja penegakan supremasi konstitusi dan menjaga demokrasi;

Kedua, mengecam segala bentuk tindakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang baru saja diputuskan;

Ketiga, menuntut DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) agar kembali menjadi lembaga perwakilan rakyat yang “seutuhnya” dan “sesungguhnya”, serta tidak menjelma menjadi lembaga yang justru merusak sendi-sendi konstitusi, dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak demokratis;

Keempat, menuntut Presiden untuk tidak melakukan gerakan tambahan/akrobat politik yang justru melemahkan konstitusi dan demokrasi; 

Dan terakhir, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melakukan pengawalan dan pengawasan terhadap iklim demokrasi yang bersih dan sehat.

“Demikian sikap ini dibuat sebagai bentuk tanggung jawab Pusdiksi Fakultas Hukum (FH) Unmul untuk turut serta menegakkan supremasi konstitusi,” tegas Harry. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved