Kesehatan

Jangan Salah Arti, Inilah Perbedaan Inner Child dengan Kidult

Jangan salah arti, inilah perbedaan inner child dengan kidult berdasarkan penjelasan dosen Program Studi Psikologi Universitas Mulawarman.

Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Diah Anggraeni
HO
Dosen Program Studi Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Ayunda Ramadhani, M.Psi menjelaskan soal perbedaan inner child dengan kidult agar masyarakat tidak salah arti. 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA – Fenomena inner child belakangan ini sering didengar.

Istilah ini merujuk pada bagian dalam diri seseorang yang menyimpan pengalaman, perasaan, dan kebutuhan masa kecil yang belum terpenuhi.

Dosen Program Studi Psikologi di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Ayunda Ramadhani, M.Psi. mengatakan, inner child terbentuk dari pengalaman emosional dan trauma masa kecil yang belum terproses dengan baik. 

"Karena pada waktu kecil, anak belum memiliki kemampuan untuk memahami dan memproses kejadian traumatis secara utuh. Akibatnya, pengalaman tersebut tersimpan dalam diri dan seringkali muncul kembali saat dewasa," jelasnya.

Salah satu ciri khas inner child adalah munculnya perasaan tidak utuh atau kurang bahagia saat melihat orang lain memiliki kehidupan yang dianggap lebih baik.

"Misalnya, ketika melihat keluarga yang harmonis, seseorang dengan inner child yang terluka mungkin akan merasa iri atau sedih karena merasa tidak pernah merasakan hal yang sama di masa kecilnya," tambah Ayunda.

Baca juga: Ogah Kena Mental, Pemain PSS Sleman Ikuti Kelas Psikologi Sebagai Modal Lawan Borneo FC

Bedakan Inner Child dengan Kidult

Selain inner child, Ayunda juga menjelaskan fenomena lain yang sering kali disalahartikan sebagai inner child, yaitu "kidult." 

Kidult adalah gabungan dari kata 'kid' (anak-anak) dan 'adult' (dewasa), yang merujuk pada orang dewasa yang menikmati aktivitas atau barang-barang yang umumnya dianggap untuk anak-anak, seperti membeli mainan.

Namun Ayunda menjelaskan bahwa tindakan membeli mainan di usia dewasa tidak selalu dikaitkan dengan inner child.

"Jika pada masa kecil seseorang dilarang membeli mainan oleh orang tuanya, maka ini bisa dikategorikan sebagai inner child. Namun, jika itu sekadar impulsif atau memang merupakan hobi mengumpulkan mainan, maka itu adalah fenomena kidult, dan tidak ada kaitannya dengan trauma masa kecil," jelas Ayunda.

Baca juga: Catat, 16 November Ada Temu Kangen Mahasiswa Psikologi Untag Surabaya Angkatan 1994 

Inner child yang tidak teratasi dapat berdampak signifikan pada kehidupan seseorang, termasuk hubungan interpersonal. Seseorang dengan inner child yang terluka mungkin akan sulit mempercayai orang lain atau memiliki masalah dalam menjalin hubungan yang sehat.

"Saat bertemu dengan orang ia bisa menjadi curiga atau trust issues. Ini juga berkaitan dengan trauma-trauma dalam pola pengasuhan sebelumnya," tutur Ayunda.

Ayunda menyarankan agar untuk mengidentifikasi masalah inner child ini secara tepat dan menghindari potensi penambahan luka emosional, diperlukan penanganan oleh tenaga profesional seperti psikolog. 

"Pemulihan harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat agar tidak menambah luka yang sudah ada," pungkasnya. (*)

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved