Berita Kukar Terkini

Olah Limbah Kapal Jadi Cuan, Sahabuddin Sukses Berdayakan Kaum Rentan di Pesisir Kutai Kartanegara

Satu dekade, Sahabuddin kerja serabutan sambil berpikir mau usaha apa. Sampai muncul ide di benaknya pada 2019 saat melihat limbah tali tambang.

TRIBUNKALTIM.CO/MIFTAH AULIA ANGGRAINI
DAUR ULANG - Sahabuddin menunjukkan gulungan tali hasil daur ulang yang dikumpulkan di Jalan Petrolog, RT 28, Desa Gas Alam, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. 

TRIBUNKALTIM.CO, TENGGARONG - Di bawah sengatan matahari, Sahabuddin (54 tahun) sibuk mengurusi tumpukan tali tambang bekas yang menggunung di tanah lapang. 

Sahabuddin mengamati dengan cermat setiap gulungan tali yang baru saja diturunkan dari bak pikap. Sesekali, ia membetulkan posisi peci bugis di kepalanya. 

Matanya menyipit, membedakan antara serat tali yang sudah lusuh dan mana yang masih kokoh. Sahabuddin pun bergegas menyortir tali-tali itu dengan cekatan. 

"Limbah tali ini berasal dari tali yang dibuang kapal-kapal besar. Kita harus memastikan limbah tali kapal ini tidak dibuang ke laut dan menjadi limbah," tutur Sahabuddin, pemilik usaha daur ulang limbah tali di Muara Badak, kepada TribunKaltim.co, Senin (28/10/2024). 

Usaha daur ulang limbah tali milik Sahabuddin terletak di Jalan Petrolog, RT 28, Desa Gas Alam, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur.

Tempat pengumpulan limbah tali itu luasnya 150 meter persegi. Sebuah bangunan kayu kecil berdiri di pojok. Sisanya adalah lapangan terbuka yang dikelilingi pagar seng yang mulai digerayangi karat. 

Tali-tali bekas itu sebelumnya dikumpulkan para nelayan di Muara Badak. Para nelayan membawa tali bekas itu ke Kampung Nelayan, dekat Toko Lima di pusat kecamatan. 

Ketika tali-tali bekas itu sudah banyak yang terkumpul, Sahabuddin datang untuk membelinya. Harganya Rp8.000 per kilogram. 

Sahabuddin biasanya membeli antara 500 kilogram hingga 2 ton limbah tali. Kadang-kadang, ia juga memperoleh limbah tali dari para nelayan Muara Berau hingga Sangatta di Kutai Timur.

Aneka tali bekas yang Sahabuddin kumpulkan itu adalah bahan baku usahanya. Tali-tali bekas ini kebanyakan berdiameter 50 milimeter. 

Di tempat penumpukan, tali-tali tersebut diurai hingga bagian terkecil. Simpul dan pintalan tali dibuka sehingga diperoleh tali-tali tipis seperti benang. Tali yang sudah diurai itu kemudian dibawa ke bengkel daur ulang

Pabrik daur ulang itu sangat sederhana sehingga lebih cocok disebut bengkel. Lokasinya sekitar 2 kilometer dari tempat pengumpulan tali. Bengkel ini beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin, RT 11, Desa Badak Baru, Muara Badak, Kukar. 

Sebuah bangunan semi-permanen yang memanjang berdiri di situ. Selebihnya hanya tanah terbuka yang tak berdinding. Sahabuddin menyewa lahan 500 meter persegi itu dari seorang kerabatnya. 

Kumpulan benang dari tali bekas yang telah diurai tadi segera dipisahkan. Di bawah instruksi Sahabuddin, dua pekerja memilah tali-tali tipis tersebut berdasarkan jenisnya. Mereka mengelompokkan benang-benang itu menjadi tiga. Ada yang terbuat dari nilon, dari sutra, dan dari bahan campuran nilon-sutra. 

"Inilah tahap awal daur ulang tali. Kami akan membuat tali yang baru dari limbah tali tersebut," jelasnya. 

Sahabuddin menghidupkan kamera telepon pintarnya. Ia memulai siaran langsung di akun Facebook bernama Sahabuddin Udin. Sebagian besar pemirsanya adalah pelanggan yang pernah membeli tali dari bengkel tersebut.  

Kameranya menyorot ke arah tiga pekerja. Mereka mengambil tali yang sudah ditata sesuai jenisnya tadi. Ketiga pekerja itu membawa benang-benang ke tempat pemintalan.

Lokasi pemintalan adalah sebuah 'gazebo' yang panjangnya lebih dari 100 meter. Di bawah atap itu, sudah tersedia mesin pemintal. 

Ketiga pekerja memegang sebuah alat seperti bor listrik. Mereka memintal benang-benang tadi sampai menjadi seutas tali sepanjang 80 meter. Diameter tali disesuaikan dengan pesanan. Ada yang berdiameter 16 mm, 19 mm, 20 mm, dan 25 mm.

"Setelah dipintal, tali hasil daur ulang ini digulung dengan rapi. Segulung tali kami jual Rp280 ribu," jelas Sahabuddin yang telah menyelesaikan siaran langsung di media sosialnya. 

Bengkel daur ulang ini amat produktif. Pemintalan segulung tali sampai siap jual hanya perlu 10 sampai 20 menit. Produksi daur ulang tali pun mencapai 25 gulung setiap hari. 

Menurut Sahabuddin, ia bisa memproduksi 750 gulung tali sebulan. Apabila harga jualnya Rp 280 ribu per gulung, omzet usaha ini mencapai Rp210 juta sebulan. "Penghasilan kotor itu untuk membiayai gaji karyawan, membeli bahan baku, dan sebagainya," tutur Sahabuddin.

Usaha yang digeluti sejak 2019 itu sudah punya banyak pembeli. Sebagian besar pelanggannya adalah nelayan. 

Para pembeli berasal dari Muara Badak, Kuala Samboja, hingga Bontang, kadang-kadang dari Donggala, Sulawesi Tengah. Tali daur ulang ini cocok untuk membuat rumpon, karang buatan yang mengundang ikan untuk berkumpul sehingga mudah ditangkap. 

Peluang Cuan

Sahabuddin lahir di Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar), 12 Desember 1971. Usianya hampir 30 tahun ketika merantau ke Muara Badak pada tahun 2000. 

Ia bekerja untuk Vico Indonesia, perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mengebor minyak dan gas bumi di Muara Badak. Posisi Sahabuddin adalah mitra penyalur tenaga kerja. 

Setelah 10 tahun Sahabuddin bekerja, perusahaan mengambil kebijakan pengurangan tenaga kerja. Sahabuddin kehilangan pekerjaan. Ia sempat berniat berdagang tetapi tidak punya cukup modal. 

Selama satu dekade, ia bekerja serabutan sambil memikirkan usaha yang cocok. Sampai sebuah ide muncul di benaknya pada 2019. 

Ia melihat banyak limbah tali tambang yang dibuang kapal-kapal besar. Limbah itu semestinya bisa jadi uang apabila didaur ulang. 

SORTIR TALI - Anggota KUBE Balanipa tengah menyortir limbah tali di tempat penumpukan di Jalan Petrolog, RT 28, Desa Gas Alam, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara.
SORTIR TALI - Anggota KUBE Balanipa tengah menyortir limbah tali di tempat penumpukan di Jalan Petrolog, RT 28, Desa Gas Alam, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara. (DOK PHSS)

Sahabuddin mengenal usaha daur ulang limbah tali dari kampung halamannya. Di tanah kelahirannya di Kecamatan Balanipa, Polewali Mandar, Sulbar, akrab ditemui usaha seperti itu. Sahabuddin segera pulang kampung untuk mempelajari dasar-dasarnya. 

Ia lalu bergegas kembali ke Muara Badak dengan membawa seorang ahli tali-temali. "Saya memanggilnya guru. Selama sepuluh hari, kami diajari mengolah limbah tali," kenangnya. 

Sahabuddin menggunakan pesangon yang ia terima sebagai modal usaha. Sisanya, ditutupi pinjaman dari bank. Karyawannya mula-mula enam orang. 

Mereka bekerja manual sehingga kurang produktif. Pemintalan segulung tali memerlukan waktu satu jam. Produksi sehari hanya bisa 6 gulung. Yang bikin Sahabuddin tambah pening, belum ada yang mau membeli tali-tali itu. 

"Sampai 500 gulung kami produksi, belum ada pembeli. Saya hampir putus asa. Akhirnya, saya menawarkan lewat Facebook. Tiap hari saya tawarkan," tuturnya. 

Hari demi hari Sahabuddin lewati untuk melepaskan simpul-simpul kendala yang telah membelenggu usahanya sehingga sukar berkembang. Perlahan tapi pasti, simpul-simpul itu terurai. 

Perusahaan migas yang beroperasi di Muara Badak datang kepadanya. Di bawah pendampingan perusahaan serta kerja keras Sahabuddin, pembeli mulai berdatangan. Satu per satu pesanan ia terima. 

Dua tahun kemudian, usaha Sahabuddin berkembang pesat.  Sahabuddin menamai usaha daur ulang limbah tali ini Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Balanipa. 

'Bala' artinya rumah, sedangkan 'Nipah' berarti pohon nipah. Tentu bukan sembarang nama, Balanipa memiliki filosofi 'bak pondok nipah yang menciptakan suasana semringah dan bersemangat'.

Balanipa telah mengantongi izin usaha mikro kecil atau IUMK yang diterbitkan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 5 Februari 2020. Klasifikasi usahanya adalah daur ulang barang bukan logam.

"Kami bahkan sudah berhasil mereplikasi program ini hingga ke Sulawesi Barat," terangnya.

Kehadiran usaha Balanipa telah membawa perubahan besar yang sebelumnya hanya bisa menjadi angan-angan bagi warga setempat. Kelompok usaha ini kini mempekerjakan 16 karyawan, semua dari warga lokal yang dulunya berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kata Sahabuddin, Balanipa bukan sekadar usaha biasa. Ia menceritakan dengan bangga bagaimana dampak usahanya telah mengubah kehidupan para karyawan, bahkan hingga menembus batas-batas impian mereka. 

Salah satu kisah paling menyentuh datang dari seorang karyawan yang dulu nyaris putus asa memikirkan masa depan pendidikan anaknya. Setelah bekerja di Balanipa, penghasilannya kini cukup untuk menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

"Ya, ekonomi di sini benar-benar hidup dengan adanya Balanipa dan dukungan dari PHSS, terutama bagi perempuan kepala keluarga alias janda," ujar Sahabudin haru. 

"Bahkan, ada satu karyawan kami yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga wisuda. Itu adalah kebanggaan bagi kami semua, sebuah pencapaian yang dulu mungkin sulit dibayangkan," sambungnya.

Peran PHSS

Peran industri minyak dan gas bumi di Muara Badak dalam pencapaian Kelompok Usaha Balanipa sangat besar. Muara Badak merupakan kecamatan penghasil migas di pesisir Kukar yang dikenal dengan nama Blok Sangasanga. 

Vico Indonesia menjadi operator blok tersebut sejak 1968 hingga 2018. Setelah kontrak kerja Vico Indonesia tidak diperpanjang, operator Blok Sangasanga kini diambil alih Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS). 

PHSS merupakan anak perusahaan PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) yang menjalankan pengelolaan operasi dan bisnis hulu migas sesuai prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) di Wilayah Kerja Sangasanga di Kalimantan Timur. 

PHSS perusahaan yang mulai bekerja pada 2018 pun segera memetakan kesulitan masyarakat di daerah penghasil migas tersebut. 

Terungkap bahwa Desa Badak Baru, Kecamatan Muara Badak, memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, dengan 53 perempuan di desa tersebut tidak memiliki pekerjaan.

BERI PENDAMPINGAN - Pendampingan Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) berupa penyusunan program usaha daur ulang limbah tali. Bantuan modal juga diberikan dari program pengembangan masyarakat PHSS melalui corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.
BERI PENDAMPINGAN - Pendampingan Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) berupa penyusunan program usaha daur ulang limbah tali. Bantuan modal juga diberikan dari program pengembangan masyarakat PHSS melalui corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan. (DOK PHSS)

Kesulitan para perempuan serta yang Sahabuddin hadapi adalah satu di antara yang mereka temui. Menanggapi hal ini, pada tahun 2020, PHSS bersama SKK Migas meluncurkan inisiatif program pemberdayaan masyarakat, melalui program KUBE Balanipa yang memanfaatkan tali bekas kapal. 

Program ini bertujuan untuk menciptakan pemberdayaan masyarakat yang inklusif, melibatkan kelompok lansia, kelompok disabilitas, dan mendukung kesetaraan gender yang melibatkan banyak wanita di wilayah operasinya secara kolaboratif, inovatif, dan berkelanjutan. 

Head Communication Relation and Community Involvement & Development Pertamina, Regional 3 Kalimantan, Zona 9, Elis Fauziyah, menjelaskan bentuk program tersebut. 

Program ini bermula dari inovasi yang dikembangkan Kelompok Usaha Daur Ulang Tali Balanipa dengan inovasi berupa pengolahan sampah tali bekas kapal menjadi tali berkualitas untuk rumpon.

"Kita melihat potensi lokal yang bisa berkembang, berdaya, dan berkelanjutan. Ini kan circular, dari sampah didaur lagi, dan memberikan potensi ekonomi. Selain itu, usaha ini juga melibatkan warga sekitar dan memberdayakan kaum perempuan dan lansia di dalamnya" ungkap Elis.

Latar belakang inovasi ini muncul dari kondisi di perairan Muara Badak yang berbatasan langsung dengan selat Makassar, lokasi yang strategis bagi lalu lintas kapal dan menjadi sumber daya perikanan yang penting. 

Namun, lalu lintas kapal besar membawa dampak negatif berupa sampah laut, salah satunya adalah limbah tali bekas kapal hingga 180 ton per tahun. 

Perusahaan melihat kondisi ini sebagai tantangan dan menyadari bahwa tali tersebut dapat diolah kembali menjadi tali rumpon, yang biasa digunakan oleh nelayan. 

Dengan kombinasi bahan baku seperti nylon, sutera, dan semi-sutera, tali rumpon yang dihasilkan lebih kuat  serta lebih murah dibandingkan produk serupa di pasaran. Selain itu, tali ini juga dapat diolah menjadi produk turunan lainnya, seperti tempat sampah, aksesoris, wall mirror, dan stools ecobrick, yang memiliki nilai tambah dan mendukung upaya pengurangan limbah.

Pertama-tama, pendampingan PHSS terhadap perjalanan Program Balanipa berupa penyusunan program usaha daur ulang limbah tali. Bantuan modal juga diberikan dari program pengembangan masyarakat PHSS melalui corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP). 

Pada tahun pertama, pendampingan perusahaan lebih kepada penyediaan alat-alat produksi. Sementara pada tahun kedua, pendampingan berfokus pada kreativitas usaha.

PEMINTALAN - Tali-tali bekas yang sudah diuraikan dan dipisahkan menurut jenisnya. Siap untuk dipintal. Pemintalan tali menggunakan mesin dan bor listrik.
PEMINTALAN - Tali-tali bekas yang sudah diuraikan dan dipisahkan menurut jenisnya. Siap untuk dipintal. Pemintalan tali menggunakan mesin dan bor listrik. (DOK PHSS)

Contoh inovasi pada pendampingan tahun kedua adalah mesin pemintal tali. Mesin ini dibangun dari ide warga Muara Badak yang bergelut di usaha daur ulang limbah tali. 

Perusahaan membantu warga supaya memegang hak paten dari teknologi yang disebut teknologi Balanipa Rope Technology (Barotech).

Barotech merupakan alat pemintal tali bekas kapal yang berhasil meningkatkan efisiensi dan produktivitas kelompok tersebut. Alat ini mampu menghemat waktu produksi, dari sebelumnya 30 menit per roll tali menjadi hanya 10 menit. 

Dengan demikian, kelompok dapat memproduksi hingga 25-30 rol tali per hari, meningkat dari sebelumnya hanya 6 rol tali. 

Kualitas tali yang dihasilkan juga lebih baik, karena hasil pintalan lebih erat dan kuat dibandingkan dengan metode manual. Alat ini juga telah mendapatkan paten sederhana dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan nomor IDS000006015. Program ini terbukti memberikan dampak signifikan pada ekonomi masyarakat. 

"Teman-teman di kelompok ini punya semangat mengembangkan potensi di daerah. Alhamdulillah, bapak-bapak dan ibu-ibu di sini mengembangkannya dengan baik. Bahkan, usaha ini telah memiliki pasar yang permanen," terang Elis.

Ia menjelaskan, bahwa program ini memberikan manfaat besar bagi usaha kecil dan menengah (UMKM) yang mempraktikkan ekonomi sirkular. Dari segi ekonomi, Elis menambahkan, kelompok ini mampu meraih omzet hingga Rp217.500.000 per bulan. 

Penjualan tali rumpon sangat diminati, sehingga kelompok ini berhasil menjual 750 roll tali dengan harga Rp290.000 per roll. 

Dampaknya, pendapatan anggota kelompok bisa mencapai Rp3.000.000 per bulan. Selain itu, nelayan yang menggunakan tali tersebut juga mendapat manfaat, dengan penghematan hingga Rp1.000.000 per roll tali dibandingkan harus membeli tali baru.

Elis menerangkan, bahwa Program Balanipa sejauh ini telah mengolah 126 ton limbah tali bekas kapal dan memberikan kontribusi penurunan emisi sebesar 652,68 ton CO2 eq per tahun. Tak kalah penting, 1 hektare lahan di kawasan pesisir juga dikonservasi menggunakan tali balanipa.

Berkat upaya yang konsisten dan manfaat yang dihasilkan, Program Balanipa ini telah berhasil menyabet sejumlah penghargaan di tingkat regional dan nasional.

Di antaranya penghargaan Indonesia Sustainable Development Goals Award (ISDA) 2021 dengan capaian SDGs 12.5; penghargaan Gold Kukar CSR Award 2023 untuk subkategori Biosphere; serta penghargaan Gold ISRA Awards 2024 untuk kategori Economic Empowerment.

Manager PHSS Field Widhiarto Imam Subarkah menambahkan, bahwa perusahaan sangat memperhatikan aspek kualitas dan keamanan produk. Pengembangan Program Balanipa juga memiliki unsur transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dari para pekerja migas di Zona 9 Subholding Upstream Pertamina kepada anggota mitra binaan. 

Hal tersebut mencakup perancangan mesin pemintal, perakitan mesin pemintal tali, pendaftaran hak paten, pelatihan pencatatan keuangan digital, pelatihan kesiagaan bencana, pendampingan pembuatan SOP hingga pelatihan branding dan pemasaran.

Program ini, menurut Imam, sejalan dengan upaya dan kebijakan Pertamina dalam pengurangan emisi dan pengelolaan perubahan iklim dalam mendukung keberlanjutan (sustainability) bisnis, sosial dan lingkungan. 

Demi menjaga keandalan teknologi, kelompok usaha Balanipa juga memasang panel surya untuk mencukupi kebutuhan listrik mereka sendiri. Dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi, mereka tak hanya mendaur ulang limbah tali, tetapi juga menunjukkan komitmen kuat untuk menjaga lingkungan dengan energi bersih.

"Awalnya program ini dimulai dari kelompok kecil, tetapi masalah keamanan dan kualitas produk menjadi tantangan yang perlu dikelola dengan baik. Disitulah, PHSS terlibat langsung untuk membantu mengatasinya," jelas Imam.

Sementara itu dari aspek kesejahteraan, 14 anggota kelompok usaha besama Balanipa juga telah memperoleh peningkatan kemampuan dalam pencegahan kebakaran. Selain itu, pelatihan pemanfaatan tali bekas untuk dijadikan kerajinan telah diberikan kepada 18 penerima manfaat, sementara 20 anggota kelompok lainnya telah mendapat pelatihan dalam penggunaan teknologi Barotech.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kukar, Arianto, mendukung penuh program ini. 

"Program Balanipa adalah langkah pionir dan satu-satunya di Kukar, bahkan di Kalimantan, yang memanfaatkan tali bekas kapal untuk menciptakan rumpon," katanya bangga.

Ia menekankan, program ini tidak hanya menjadi solusi lingkungan tetapi juga senjata melawan kemiskinan, berdampak langsung pada kehidupan anggota kelompok. 

"Terima kasih kepada PHSS atas bimbingannya. Semoga manfaatnya terus berlanjut dan semakin meluas," ucap Arianto penuh harap.

Melalui kolaborasi antara masyarakat, UMKM, PHSS, dan pemerintah, Program Balanipa diharapkan tumbuh pesat, menjadi katalis perubahan yang membawa manfaat bagi lingkungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Usaha daur ulang limbah tali di Muara Badak ini adalah contoh keberhasilan dari sebuah kerja keras. Dari menguraikan simpul-simpul tali bekas, Sahabuddin bersama masyarakat setempat sukses menjual ribuan gulung tali. 

Dari melepaskan simpul-simpul kesulitan yang membelenggu kreativitas warga Muara Badak, PHSS berhasil memberi bekal yang tak ternilai kepada masyarakat. Bekal itu bernama kemandirian ekonomi warga di lingkar kerja perusahaan. (*)

 

 

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved