Berita Nasional Terkini
Keinginan Johanis Tanak Hapuskan OTT KPK Disambut Riuh Tepuk Tangan Anggota DPR RI
Proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diwarnai dengan wacana penghapusan Operasi Tangkap Tangan (OTT)
TRIBUNKALTIM.CO - Proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diwarnai dengan wacana penghapusan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Hal itu diungkapkan calon pimpinan KPK, Johanis Tanak.
Ia mengaku ingin meniadakan OTT seandainya terpilih sebagai ketua KPK di masa depan.
Hal itu ia sampaikan dalam sesi tanya jawab pada uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Selasa (19/11/2024).
Baca juga: Nasib Pekerja Teras Samarinda Masih Menggantung, Kuasa Hukum akan Bawa ke KPK
Baca juga: Daftar Link Pengumuman SKD CPNS 2024 untuk 21 Instansi, dari Kemenhan, KPK, hingga PPN/Bappenas
"Seandainya saya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close, karena itu (OTT) tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata dia di hadapan anggota Dewan.
Pernyataan itu langsung disambut dengan riuh tepuk tangan para anggota Komisi III seisi ruangan.
Ia mengungkapkan, dari segi pengertian, "operasi" dalam kamus bahasa Indonesia diibaratkan seperti operasi bedah di mana para dokter dan tenaga kesehatan harus sudah siap dan mempunyai perencanaan matang sebelum melakukan tindakan.
"Sementara pengertian 'tertangkap tangan' menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang terjadinya seketika itu juga pelakunya ditangkap dan menjadi tersangka," ujar Tanak.
"Kalau pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentu tidak ada perencanaan. Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu seketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat," ucap Wakil Ketua KPK ini.
Ia mengaku, sejak awal menganggap OTT merupakan tindakan yang tidak tepat berdasarkan argumentasi tersebut.
Namun, ia kalah suara dengan mayoritas pimpinan KPK lain yang setuju OTT sebagai langkah pemberantasan korupsi yang perlu dilakukan.
"Mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi, apakah tradisi itu bisa diterapkan, tidak bisa juga saya menantang," ujar dia.
Baca juga: KPK Tidak Larang Raffi Ahmad Terima Endorsement Meski Jadi Pejabat Negara, Ini Alasannya
Sebelumnya, Tanak ditanya Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al Habsyi mengenai isu penindakan korupsi via OTT versus pencegahan.
Aboe mempersoalkan makalah Tanak yang dianggap lebih menitikberatkan pada penindakan sebagai langkah pemberantasan korupsi.
"Apakah berarti Saudara cukup apatis dengan pola pencegahan yang selama ini dilakukan KPK? Saya terus terang aja pencegahan dan penindakan lebih suka pencegahan dulu, Pak," kata Aboe.
"Jadi (dalam pencegahan), orang kalau sudah mau korupsi, eh, eh, eh, Abdullah hati-hati, ini sudah dekat, lho, Anda akan kena kalau kayak begini. Kalau ini (penindakan) enggak, Pak, dicari, dipancing-pancing, diarahkan, dibekuk aparat. Nah, kena, loe, OTT jadinya," ungkapnya.
Aboe menganggap, pencegahan akan lebih efektif untuk memberantas korupsi.
Menurut dia, orang yang hendak melakukan korupsi akan takut terlebih dulu ketika diperingatkan bahwa tindakannya dapat dijerat KPK.
Ia kemudian memperbandingkan beberapa negara lain yang berbeda pendekatan dalam hal memberantas korupsi.
Ada negara-negara yang lebih menitikberatkan pada penindakan, seperti Hong Kong atau Korea Utara, tetapi ada pula negara-negara yang lebih mengutamakan upaya pencegahan korupsi.
Baca juga: Paman Birin Mundur sebagai Gubernur Kalsel Usai Menang Praperadilan Lawan KPK, Profil Sahbirin Noor
Ia menyinggung negara-negara Skandinavia yang dianggapnya memilih pendekatan berbeda dengan Indonesia.
"Memang lebih gila kalau kaya Hongkong atau Korea Utara atau beberapa negara lain. Tapi ada lagi kayak Norwegia, Swedia, Denmark itu enggak ada tuh begitu-begitu kejadiannya. Di kita agak berat," ujar dia.
Sementara itu, calon pimpinan KPK lainnya, Agus Djoko Pramono memberikan klarifikasi terkait dua kasus yang disebutkan menyeret namanya.
Dua kasus tersebut adalah dugaan transaksi janggal senilai Rp 115 miliar pada 2013, serta tindak pidana korupsi suap proyek Sistem Penyedia Air Minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2020.
Agus mengungkapkan kekecewaannya terhadap KPK, karena merasa pemanggilannya pada 2020 tidak berkaitan dengan fakta kasus, melainkan berkaitan dengan statusnya sebagai saksi a de charge untuk mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil.
Agus menjabat sebagai Wakil Ketua BPK pada periode 2019-2023.
“Jadi saya cukup kecewa dengan sikap KPK pada saat itu karena saya diberitahu bahwa saya akan jadi saksi a de charge, padahal saya adalah Wakil Ketua BPK saat itu,” ujar Agus dalam fit and proper test menjawab pertanyaan Nasir Djamil dan Rudianto Lallo, di Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Ia menegaskan bahwa sebagai pimpinan lembaga negara, KPK seharusnya menjelaskan lebih dulu duduk perkara terkait pemanggilannya.
Baca juga: Paman Birin Menghilang Lagi Usai Menang Sidang Praperadilan, Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Sah
“Saya selaku pimpinan lembaga negara harusnya antar sesama lembaga negara menyampaikan pada kami duduk perkara permasalahannya itu apa, bukan sebagai personnya tapi sebagai jabatannya,” papar Agus.
Agus juga menyatakan bahwa seharusnya KPK menanyakan terlebih dahulu apakah ia bersedia menjadi saksi a de charge, bukan tiba-tiba memanggilnya yang dapat memunculkan pertanyaan mengenai keterlibatannya dalam kasus korupsi SPAM di Kementerian PUPR.
“Karena pemanggilan itu akan mempengaruhi credibility, karena begitu nama kita muncul di running text, orang kampung sudah tanya itu, kenapa dipanggil. Padahal itu saksi a de charge,” ucap dia.
Ia menceritakan bahwa ia sempat menolak pemanggilan KPK, karena pada saat itu ia sedang menjadi pembicara mengenai pemberantasan korupsi bersama salah satu wakil ketua KPK.
“Jadi saya langsung tanyakan kepada wakil ketua KPK itu, mengapa saya kok dipanggil dan saya kok tidak dibahas dulu dalam konteks saksi a de charge? Apakah saya mau atau tidak. Karena ini saksi a de charge, bukan saksi fakta posisinya,” tuturnya.
Agus menambahkan, jawaban yang diterimanya dari KPK bersifat normatif dan tidak memuaskan.
“Ternyata jawabannya normatif, tidak tahu, tidak paham dan sebagainya dan menurut saya sih selaku pimpinan seharusnya tidak seperti itu,” sambungnya.
Terkait dengan dugaan transaksi janggal Rp 115 miliar, Agus merasa bahwa perkara tersebut direkayasa oleh pihak tertentu.
Baca juga: Sahbirin Noor Dicari KPK hingga Disebut Kabur, Paman Birin Pimpin Apel di Kantor Gubernur Kalsel
Ia meluruskan pernyataan anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil yang menyatakan bahwa Agus sendiri yang menyanggah keterlibatannya menerima aliran uang tersebut.
Agus menjelaskan bahwa sanggahan mengenai transaksi Rp 115 miliar itu justru disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kepada seorang jurnalis.
“Nama wartawannya sampai sekarang saya masih ada, karena saya diberitahu Kepala PPATK saat itu, nomor teleponnya masih ada dan sebagainya dan ini berlanjut dengan pengiriman bunga dan sebagainya dan menurut saya itu adalah fabricated (dibuat),” paparnya.
Ia menegaskan bahwa penjelasan dari Ivan menunjukkan bahwa dirinya tidak pernah terlibat dalam transaksi mencurigakan Rp 115 miliar seperti yang dituduhkan.
“Saya berharap bahwa pengiriman bunga itu tidak mempengaruhi credibility saya secara pribadi dan sebagai Wakil Ketua BPK selama empat tahun,” imbuh Agus. (*)
Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Capim KPK Agus Djoko Klarifikasi 2 Kasus Korupsi ke Komisi III, Mengaku Kecewa dengan KPK"
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Johanis Tanak Ingin Tiadakan OTT KPK, Komisi III DPR Tepuk Tangan"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.