HUT Samarinda 2025

Gratis! Link Download Logo HUT Samarinda 2025 Lengkap Tema yang Diusung Tahun Ini

Berikut link download logo HUT Samarinda 2025 lengkap tema yang diusung tahun ini.

Penulis: Tribun Kaltim | Editor: Nisa Zakiyah
diskominfo.kaltimprov.go.id
Logo HUT Samarinda 2025 - Berikut link download logo HUT Samarinda 2025 lengkap tema yang diusung tahun ini. 

TRIBUNKALTIM.CO - Berikut link download logo HUT Samarinda 2025 lengkap tema yang diusung tahun ini.

Sebagai informasi, HUT Samarinda 2025 yang ke-357 tahun dan HUT ke-65 Pemkot Samarinda jatuh pada 21 Januari 2025.

Dalam rangka HUT Samarinda 2025, Pemerintah Kota  Samarinda telah merilis logo resmi untuk memperingatinya.

Baca juga: 15 Link Twibbon HUT Samarinda 2025 Lengkap Arti, Logo hingga Tema yang Diusung Tahun Ini

Logo tersebut tak hanya mencerminkan keindahan visual, namun juga memiliki makna mendalam yang tercermin dalam tujuh pilihan warna utama.

Hal ini dikatakan Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Kota Samarinda, Dinvi Kurniadi.

Setiap warna yang digunakan pada logo ini melambangkan nilai dan filosofi yang ingin ditanamkan kepada masyarakat Samarinda.

Warna yang terdapat dalam logo tersebut ialah didominasi oleh biru dan oranye, namun dipadukan dengan merah, dan biru tosca.

lihat fotoLogo HUT Samarinda 2025
Logo HUT Samarinda 2025 ke-357 dan HUT ke-65 Pemkot Samarinda.

Menurut penjelasannya, warna biru sering dikaitkan dengan kualitas yang lebih introspektif dan stabil.

Biru memberikan rasa ketenangan, kedamaian, dan kesejukan serta mencerminkan kedalaman emosi dan pemikiran.

Sementara biru melambangkan ketenangan dan refleksi, oranye adalah warna yang penuh dengan energi, kreatifitas, dan optimisme.

Oranye menggugah semangat dan menghadirkan rasa antusiasme yang tinggi.

Biru dan oranye masing-masing mewakili dua sisi penting dalam kehidupan manusia.

Kedamaian, kebijaksanaan, dan stabilitas (biru) serta energi kreatifitas dan semangat (oranye).

Selain makna warna, logo ini secara keseluruhan menunjukkan simbolisasi Kota Samarinda sebagai pusat budaya dan keberagaman di Kalimantan.

Di samping itu, Dinvi juga mengimbau seluruh pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat, untuk memasang umbul-umbul dan turut memeriahkan perayaan ini. 

Untuk lebih lengkapnya, akses logo HUT Samarinda 2025 ke-357 tahun KLIK DI SINI

Adapun tema HUT Samarinda 2025 yaitu "Harmoni dalam Perubahan, Maju Bersama Budaya," Pemkot Samarinda berharap perayaan ini dapat menjadi momen kebersamaan bagi seluruh masyarakat.

Cara Unduh Logo HUT Samarinda 2025 

Berikut cara untuk menggunakan logo HUT Samarinda 2025:

1. Klik pada salah satu link logo yang akan digunakan

2. Klik kanan pada mouse

3. Pilih 'save image as...'

4. Gambar akan tersimpan di folder Downloads pada PC, baik Mac maupun Windows.

Sejarah Kota Samarinda

Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Kota Samarinda berkembang dari tiga kampung pemukiman suku Kutai Puak Melanti yaitu Kampung Mangkupalas, Karang Mumus dan Karang Asam.

Ketiga kampung ini bergabung dengan Kelurahan Ulu Dusun di Kutai Lama di bawah pimpinan Ngabehi Ulu.

Dikutip dari situs kebudayaan.kemdikbud.go.id, sejak abad 14 ketiga kampung tersebut mendapat pengaruh sangat kuat dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, akan tetapi sejak kekalahan Kerajaan Gowa tahun 1667 atau setelah Perjanjian Bongaya (1662) pengaruh Kerajaan Gowa berangsur-angsur berkurang di Kalimantan Timur.

Diketahui pada tahun 1668 Suku Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan mulai bermukim di wilayah Kerajaan Kutai yang di pimpinan oleh La Mohang Daeng Mangkona.

La Mohang Daeng Mangkona juga diketahui merupakan pengikut La Maddukelleng Putra Arung Paneki dari Kerajaan Wajo.

La Maddukelleng diketahui membentuk armada laut yang oleh Lontara Suku’na Wajo disebut gora atau pencuri yang oleh Asisten van Boen L.A. Emmanuel dinyatakan sebagai “seorang bajak laut” yang amat ditakuti.

Pada tahun 1736, setelah 10 tahun lamanya La Maddukelleng memerintah di Kerajaan Pasir, datanglah utusan Arung Matowa Wajo yaitu La Salewangeng To Tenrirua, bernama La Delle menghadap Sultan Paserdan menyerahkan surat.

Dalam suratnya Arung Matowa Wajo meminta La Maddukelleng kembali ke Wajo, guna memerdekakan Wajo dari dominasi Bone dan VOC” (Tasa, 2004:13).

Disisi lain, La Mohang Daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Lama yang bernama Ali Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martapura (Marhum Pamarangan 1730 -1732) untuk mohon izin agar mereka diperbolehkan berdiam diwilayah Kerajaan Kutai.

Raja memberi izin mereka berdiam di wilayah Kerajaan Kutai dan memilih daerah dataran rendah dekat dengan Sungai Mahakam.

Suku Bugis Wajo akhirnya menamakan daerah tersebut “Samarendah” yang terdiri dari dua kata, “sama” dan “rendah” yang artinya tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain. Penyebutan kata Samarendah saat ini menjadi Samarinda.

Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870.

Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Kota Samarinda sekarang.

Tahun 1888 sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang.

Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil.

Perampokan, pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku kurang baik yang marak terjadi (Nur, 1986:7).

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda.

Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ± 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam.

Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda (Nur, 1986:7).

Pada zaman Netherland Indies Civil Administration NICA (1946-1949) Samarinda merangkap menjadi tiga ibukota pemerintahan yaitu pemerintahan keresidenan, pemerintahan Federasi Kalimantan Timur dan pemerintahan kawedanan.

Sebelas tahun sesudah proklamsi kemerdekaan, yaitu Januari 1957, Kalimantan Timur memperoleh status provinsi dan Samarinda terpilih menjadi ibukota.

Pada tahun 1960 Samarinda menjadi kotapraja dan tahun 1969 dijadikan kotamadya.

Beberapa faktor yang menyebabkan Kota Samarinda berkembang dengan pesat antara lain ialah letaknya yang strategis, kekayaan sumber alamnya baik di daerah pendalaman maupun di sekitar sungai terutama di sektor perkayuan, minyak dan gas bumi, sehingga Samarinda menjadi kota penghasil devisa terbesar kedua sesudah Medan, Sumatra Utara.

Samarinda yang menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Timur didiami bermacam suku bangsa. Mereka melakukan kegiatan pada berbagai aspek kehidupan (Sjahbandi, 1996:21).

Pada zaman VOC orang Belanda telah mencoba melakukan hubungan dengan Kerajaan Kutai dan Kerajaan Pasir.

Kontak pertama antara Kutai dan Paserdengan VOC terjadi pada tahun 1634.

Selain urusan perdagangan, Kompeni juga mengajak Kutai dan Pasermengadakan monopoli perdagangan dan mengusir pedagang-pedagang dari Pulau Sulawesi Selatan dan Jawa dari kedua kerajaan tersebut.

Usaha Kompeni mengajak Kutai dan Paser untuk mengadakan monopoli perdagangan ternyata tidak membawa hasil karena Kerajaan Gowa sudah sejak tahun 1620 mempunyai hubungan baik dengn raja-raja Kutai.

Pada tahun 1635 di bawah pimpinan Gerrit Thomassen untuk kedua kalinya Belanda mengirim missi perdagangannya ke Kutai, Gerrit Thomassen bertemu dengan Sultan Sinom Panji Mendapa Ing Martapura mereka membicarakan monopoli dagang mengingat kewajiban Sultan Kutai harus membayar upeti kepada Raja Banjarmasin.

Misi Pergadangan VOC oleh G. Thomassen Pool yang sengaja membuat Kerajaan Kutai dan Paserbermusuhan dengan cara mengadu domba raja-raja di Kalimantan Timur dan Banjarmasin namun gagal.

Sementara itu, Belanda belum mampu menyaingi pengaruh Kerajaan Gowa dan Kerajaan Mataram di Selat Makassar, namun upaya untuk “menjinakkan” raja Kutai dan Paserkembali mereka susun (Nur, 1986:7). (*)

Ikuti berita populer lainnya di Google NewsChannel WA, dan Telegram

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved