Berita Nasional Terkini
Survei KPK Ungkap Praktik Mencontek di Sekolah dan Kampus Tinggi hingga Guru-Dosen Tak Disiplin
Praktik mencontek yang selama ini dianggap sebagai pelanggaran ringan dalam dunia pendidikan ternyata masih menjadi fenomena serius.
TRIBUNKALTIM.CO - Praktik mencontek yang selama ini dianggap sebagai pelanggaran ringan dalam dunia pendidikan ternyata masih menjadi fenomena serius.
Ya, survei KPK ini dilakukan dengan menjangkau 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota dari 38 provinsi di Indonesia serta melibatkan 449.865 responden, yang terdiri atas siswa/mahasiswa, orangtua, tenaga pendidik, hingga kepala satuan pendidikan, survei ini menyasar tiga dimensi utama.
Dari dimensi karakter peserta didik, ekosistem pendidikan, dan tata kelola pendidikan, secara keseluruhan nilai Indeks Integritas Pendidikan tahun 2024 ada di angka 69.50, atau berada pada level “korektif”.
KPK melaksanakan survei pada 22 Agustus hingga 30 September 2024 melalui dua metode, yaitu metode daring dengan WhatsApp, email blast, dan Computer Assisted Web Interviewing (CAWI), serta metode hybrid menggunakan Computer-Assisted Personal Interviewing (CAPI).
Baca juga: Hasil Survei Litbang Kompas, UU TNI Bikin Responden Khawatir Tumpang Tindih Kewenangan Militer
Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa perilaku tidak jujur seperti menyontek masih marak terjadi, bahkan tidak hanya di tingkat sekolah dasar dan menengah, tetapi juga menjalar hingga ke perguruan tinggi.
Hal ini menjadi sorotan penting karena menyangkut masa depan generasi penerus bangsa dan integritas sistem pendidikan nasional.

Temuan KPK tidak hanya berhenti pada siswa dan mahasiswa. Survei tersebut juga mencatat adanya tingkat kedisiplinan yang rendah di kalangan tenaga pendidik, termasuk guru dan dosen.
Ketidakdisiplinan ini meliputi berbagai aspek seperti keterlambatan hadir, kurangnya komitmen dalam proses belajar mengajar, hingga minimnya tanggung jawab dalam pembentukan karakter peserta didik.
Kondisi ini memperparah ekosistem pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan etika.
Data yang dihasilkan KPK menjadi cermin bahwa pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan serius, bukan hanya dalam hal capaian akademik, tetapi juga dalam membentuk budaya integritas.
Jika praktik menyontek dan ketidakdisiplinan dibiarkan tanpa intervensi sistemik, maka akan sulit membangun lingkungan pendidikan yang bersih dan bermartabat.
Survei ini sekaligus menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan perbaikan menyeluruh, baik dari sisi kurikulum, pengawasan, maupun budaya belajar-mengajar.
Disiplin akademik lemah
Menurut Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, ketidakdisiplinan akademik masih menjadi masalah besar.
Survei KPK mengungkap sebanyak 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa mengaku pernah datang terlambat ke sekolah dan kampus.
Selain itu, 69 persen siswa menyatakan masih ada guru yang terlambat hadir. Lebih lanjut, menurut 96 persen mahasiswa masih ada dosen yang terlambat hadir.
KPK juga menemukan kasus ketidakhadiran dosen yang tidak mengajar tanpa alasan yang jelas. Persentase kasus seperti ini mencapai 96 persen di kampus, sementara di sekolah mencapai 64 persen.
“Bahkan, di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah responden, ditemukan masih ada dosen dan guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas,” jelas Wawan Wardiana dalam rilis resmi, Jumat (25/04/25).
Banyak praktik lain yang melukai integritas tubuh pendidikan
Namun, masalah ketidakhadiran dan keterlambatan bukan satu-satunya isu yang ditemukan dalam survei ini. Praktik gratifikasi dan konflik kepentingan juga masih menjadi bagian dari masalah besar di sektor pendidikan.
Temuan SPI 2024 menunjukkan bahwa 30 persen guru dan dosen, serta 18 persen pimpinan satuan pendidikan, menganggap gratifikasi dari siswa atau orang tua sebagai hal yang wajar.
“Ini berbahaya karena dapat menjadi celah bagi praktik korupsi kecil yang dinormalisasi dari generasi ke generasi,” ujar Wawan.
Survei ini juga mencatat bahwa 65 persen satuan pendidikan yang disurvei menyebut bahwa orang tua masih sering memberikan bingkisan atau hadiah kepada tenaga pengajar.
Terutama pada saat hari raya atau kenaikan kelas.
Bahkan, di 22 persen satuan pendidikan, praktik ini dilakukan dengan tujuan untuk menaikkan nilai siswa atau memastikan kelulusan mereka.
Masalah integritas akademik juga menjadi sorotan utama dalam survei ini. Kasus menyontek dan plagiarisme masih ditemukan pada 78 persen sekolah responden dan 98 persen kampus responden.
“Adapun berdasarkan survei yang dilakukan yang terkait kondisi integritas di Indonesia, pertama dalam kejujuran akademik, kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus.
Dengan kata lain menyontek masih terjadi pada mayoritas sekolah dan kampus,” ungkap Wawan.
Kampus dan sekolah jadi inkubator korupsi
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyoroti bahwa temuan KPK tersebut sudah seharusnya tidak dipandang sebagai statistik belaka, tetapi jadi cerminan sebuah sistem pendidikan yang bermasalah.
“Lebih menyedihkan lagi, temuan KPK ini menunjukkan, bahwa praktik koruptif sangat subur di sekolah dan kampus.
Jadi, salah satu penyakit akut yang menggerogoti kualitas pendidikan kita ternyata bersumber dari sekolah dan kampus.
Temuan ini memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan bisa saja menjadi inkubator korupsi di masa depan,” ujar Ubaid kepada Kompas.com, Jumat (25/04/25).
Melihat temuan ini, Ubaid menegaskan bahwa langkah konkret harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
“Langkah yang harus dilakukan ya presiden harus turun tangan. Jangan hanya soal MBG saja Presiden teriak lantang. Problem integritas ini sangat serius karena menyangkut Indonesia Emas 2045. Cita-cita itu pasti akan kandas, jika tidak didukung oleh SDM yang berintegritas,” jelas Ubaid.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, orangtua, masyarakat, dan media, dalam membangun ekosistem pendidikan yang berintegritas.
“Ini jarang dianggap penting, sehingga lembaga pendidikan kita kian jauh dari masyarakat, ia bak menara gading yang susah diakses dan tidak inklusif,” pungkas Ubaid.
Faktor Siswa Suka Mencontek
Menteri Pendidikan Dasar Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti menilai ada sejumlah faktor para siswa suka mencontek saat mengerjakan tugas maupun ujian.
Ada pengaruh dari sistem pembelajaran dan kepribadian siswa yang melatarbelakangi siswa memilih perilaku mencontek.
"Mengenai kecurangan itu kan faktornya ada banyak ya. Kalau kita lihat secara akademik, kecenderungan menyontek itu kan sesuatu yang pertama berkaitan mungkin bentuk atau model soal yang menekankan hafalan yang karena itu ya mereka menyontek supaya bisa menjawab," kata Mu'ti setelah acara Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar Menengah Tahun 2025 di Depok, Jawa Barat, Selasa (29/4/2025).
Mu'ti menyebutkan, ada juga faktor ketidakpercayaan diri dari siswa yang mendorong adanya perilaku mencontek. Siswa disebut tak percaya diri karena tak menguasai materi ujian.
"Kemudian yang ketiga juga ada hal yang berkaitan dengan hal orientasi pendidikan kita ini masih kuantitatif. Jadi keberhasilan itu diukur dari berapa nilainya, berapa rankingnya.
Yang kadang-kadang itu menjadi salah satu dari beberapa sebab kenapa menyontek itu masih cukup tinggi angkanya sesuai dengan survei yang dilakukan oleh KPK," tambah Mu'ti.
Mu'ti mengatakan, Kemdikdasmen akan menjadikan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi landasan untuk memperbaiki sistem pembelajaran di Indonesia ke depannya.
Ia sudah menyiapkan program Pembelajaran Mendalam atau Deep Learning sebagai solusi perbaikan sistem pembelajaran terkait perilaku siswa yang mencontek.
"Dalam pembelajaran mendalam nanti itu, soal-soal itu tak berupa pertanyaan-pertanyaan yang berupa kuantitatif yang mengandalkan rote learning atau pembelajaran yang mengandalkan hafalan tapi lebih kepada berpikir tingkat tinggi, analisis, yang itu semuanya tidak mungkin menyontek karena berasal dari pemikiran-pemikiran dan gagasan yang menjadi ukuran kemampuan mereka," tambah Mu'ti.
Kemendikdasmen, lanjut Mu'ti, juga berupaya memperbaiki pendekatan dalam pembelajaran yang lebih berorientasi kepada kualitatif. Ia mengatakan, perbaikan sistem pembelajaran akan dilakukan secara perlahan.
"Ini perlahan-perlahan kita perbaiki (sistem pembelajaran). Kita tak perlu saling menuding, saling menyalahkan. Ini (survei KPK) merupakan data yang penting untuk menjadi dasar mengambil kebijakan yang lebih baik ke depannya," kata Mu'ti.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Survei KPK: Banyak Guru-Dosen Indonesia yang Terlambat hingga Bolos"
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Siswa Suka Menyontek? Mendikdasmen Mu'ti Ungkap Penyebabnya"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.