Tolak Baiat ISIS, Napi Terorisme di Nusakambangan Ketakutan,Sebut Dirinya Layak Dibunuh,Ini Kisahnya
Lapas Batu berkategori merah atau radikal cukup mencekam. Lapas itu dihuni para terpidana kasus radikalisme yang terlibat pengeboman di beberapa tempa
TRIBUNKALTIM.CO - Lapas Batu berkategori merah atau radikal cukup mencekam. Lapas itu dihuni para terpidana kasus radikalisme yang terlibat dalam pengeboman di beberapa tempat di Indonesia.
Ternyata para penjahat itu juga mengalami ketakutan luar biasa dalam penjara yang dihuni para teroris itu. Mereka dipaksa baiat anggota ISIS. Jika menolak maka dianggap murtad dan darahnya halal dan berhak untuk dibunuh oleh mereka.
Seorang terpidana mati kasus pengeboman Kedutaan Besar Australia, Ahmad Hassan, bercerita tentang ketakutannya saat menghindar dari baiat kelompok yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS di penjara Nusakambangan.
Dua terpidana mati kasus pengeboman Kedutaan Besar Australia pada September 2004, Iwan Darmawan Munto alias Rois dan Ahmad Hassan, saat ini mendekam di dua penjara yang berbeda di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah.
Rois ditahan di Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) Batu yang disebut Kepala Lapas Erwedi Supriyatno sebagai "yang masih merah" atau radikal.
Sementara Hassan ditahan di Lapas Permisan, yang dikategorikan penjara pengamanan menengah, penjara untuk narapidana terorisme yang "telah menandatangani kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Baca Juga;
Ramalan Zodiak Cinta Hari Ini Sabtu 22 Februari 2020, Cancer Kasar pada Pasangan, Pisces Beruntung
Sederhana dan Jauh dari Dugaan, Begini Penampakan Ruang Kendali Nuklir Sunda Empire yang Buat Heboh
Terungkap Persija Ternyata Dilarang Ikut Penyerahan Medali Usai Final Piala Gubernur Jatim 2020
Saat ini terdapat delapan lapas di Nusakambangan, dua di antaranya adalah penjara dengan pengamanan tingkat tinggi. Hassan sempat berada dalam satu sel bersama Rois pada 2014, saat apa yang ia sebut sebagai puncak-puncaknya baiat anggota untuk masuk Jamaah Ansharut Daulah ( JAD ), yang berafiliasi dengan ISIS.
Mereka yang menolak untuk bergabung dengan kelompok yang didirikan oleh Aman Abdurrahman saat berada di Nusakambangan itu, dianggap "murtad", "dikafirkan", dan darahnya "halal sehingga berhak dibunuh sama mereka," cerita Hassan.
BBC mendapatkan izin dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk menyaksikan pertemuan korban pengeboman dengan dua terpidana mati, Rois dan Hassan.
Dalam kesempatan inilah kami mendengar juga cerita Hassan tentang ketakutannya setelah menolak untuk dibaiat sebagai pengikut ISIS.
Pertemuan dengan Rois di Lapas Risiko Tinggi