Citizen Journalism
Fenomena Media Sosial dan Kekerasan Verbal
SAAT ini, tidak dapat dipungkuri bahwa media sosial sudah menjadi suatu "kebutuhan" bagi masyarakat kita.
Oleh: Annisa W. Arsyad, S.IP MM
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Mulawarman, Samarinda
SAAT ini, tidak dapat dipungkuri bahwa media sosial sudah menjadi suatu "kebutuhan" bagi masyarakat kita. Walaupun pengguna internet di Indonesia sendiri baru mencapai 72 juta pengguna, namun suara penggunanya dianggap "sangat berisik" dan menggema ke seluruh dunia jejaring media sosial.
Masyarakat Indonesia memang sangat aktif bermedia sosial. Sebanyak 93% pengguna internet di Indonesia secara aktif mengakses facebook. Bahkan, Jakarta tercatat sebagai pengguna Twetter terbanyak, hingga disebut sebagai ibukota media sosial berbasis teks 140 karakter tersebut. Fenomena sosial ini didukung oleh kultur masyarakan Indonesia yang suka berkumpul dan haus akan hal-hal baru.
Media sosial saat ini merupakan suatu keniscayaan sejarah yang telah membawa perubahan dalam proses komunikasi manusia. Dan ketika teknologi internet dan mobile phone makin maju maka media sosial pun ikut tumbuh dengan pesat. Kini untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah mobile phone. Akhirnya, Proses komunikasi yang selama ini dilakukan hanya melalui komunikasi tatap muka, komunikasi kelompok, komunikasi massa, berubah total dengan perkembangan teknologi komunikasi, khususnya internet tersebut. Perubahan tersebut secara otomatis membawa konsekuensi-konsekuensi pada proses komunikasi.
BACA JUGA: Dipukuli karena Status Facebook, dan Dibui 1 Malam, Andri Pulang ke Jakarta
Media sosial sebagai suatu media online, di mana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi yang meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum internet dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan masyarakat di seluruh dunia.
Media sosial mengalami perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2002 Friendster merajai sosial media karena hanya Friendster yang mendominasi sosial media di era tersebut, kini telah banyak bermunculan sosial media dengan keunikan dan karakteristik masing-masing, seperti LinkedIn, MySpace, Facebook, Twitter, Wiser, Google+ dan lain sebagainya. Facebook sendiri merupakan situs jejaring sosial yang sangat terkenal hingga saat ini, dan merupakan salah satu yang terbanyak anggotanya.
Perkembangan media sosial yang sedemikian pesatnya ini membuat seolah-olah semua orang bisa memiliki media sendiri. Karena untuk memiliki media konvensional seperti televisi, radio, atau koran akan membutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, serta perizinan yang rumit maka lain halnya dengan media sosial. Pengguna media sosial bisa dengan mudah dan cepat untuk mengakses media tersebut, tanpa biaya yang besar, tanpa alat yang mahal, dan tanpa karyawan.
BACA JUGA: Paket Ekonomi September 1 Jokowi Disusul 5 Kebijakan Bank Indonesia
Pengguna media sosial lah yang secara aktif menciptakan isi pesan informasi dan memodifikasi sesuai yang diinginkan masing-masing. Bisa dikatakan, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri kita sendiri. Dan inilah yang membuatnya menjadi sangat menarik. Melalui media ini manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhannya seperti kebutuhan kognitif, afektif, personal integratif, dan juga kebutuhan hiburan atau relaksasi. Dan karena kecepatannya jugalah media sosial mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita.
Di antara segudang daya tarik positif media sosial dan bagaimana hal ini menjadi fenomena di masyarakat, terdapat juga sejumlah hal-hal negatif yang menjadi bagian dari dampaknya. Ada satu fenomena unik yang bisa diamati di sini, yaitu kebebasan berbicara. Mereka yang di dunia nyata takut berpendapat seakan mendapat ruang untuk berekspresi lewat media sosial. Tapi di sisi lain, karena terlalu bebasnya berekspresi sampai-sampai orang lupa etika dalam menyampaikan pendapat. Kata-kata bullying tak jarang muncul menghiasi kolom komentar di sebuah forum online.
Tanpa basa-basi, pun tanpa memperhitungkan dampak negatif dari pendapat sarkastik tersebut. Bahkan, seringkali bulliying dilakukan terhadap orang yang tidak dikenal. Saat ini kekerasan verbal di media sosial atau cyber bullying sudah menjadi suatu yang bisa dianggap meresahkan. Bahkan terdapat beberapa kasus bunuh diri, orang hilang, pelecehan dan lain sebagainya yang disebabkan "penyiksaan" di media sosial.
BACA JUGA: Diklat Kesamaptaan, Pegawai Kemenkumham Dilarang Bawa Handphone 2 Minggu
Kekerasan verbal di media sosial lebih mudah dilakukan daripada kekerasan konvensional karena si pelaku tidak perlu berhadapan muka dengan orang lain yang menjadi targetnya. Mereka bisa mengatakan hal-hal yang buruk dan dengan mudah mengintimidasi korbannya karena mereka berada di belakang layar komputer atau menatap layar telelpon seluler tanpa harus melihat akibat yang ditimbulkan pada diri korban.