Sindrom Patah Hati Itu Ada dan Nyata, Risikonya Dapat Memperpendek Usia Lho. . .

"Sindrom patah hati itu ada dan nyata," ujar asisten kepala psikiatri di Zucker Hillside Hospital New Hyde Park, New York, Dr Scott Krakower.

Editor: Amalia Husnul A
Ilustrasi 

TRIBUNKALTIM.CO - Kematian aktris Debbie Reynolds cukup mengejutkan banyak pihak.

Kepergiannya hanya berselang satu hari dengan kematian putrinya, aktris Carrie Fisher. Ia diduga karena sindrom patah hati setelah ditinggal putrinya.

Fisher, pemeran Princess Leia dalam film Star Wars itu meninggal pada 27 Desember setelah terkena serangan jantung. Sedangkan Reynolds dinyatakan meninggal karena stroke keesokan harinya, 28 Desember 2016.

Kematian seseorang yang sangat disayangi pasti menyisakan duka mendalam. Sebelum terserang stroke, Reynolds sempat mengungkapkan rasa rindunya kepada putrinya yang telah tiada.

"Aku sangat merindukannya. Aku ingin bersama Carrie," ucap Reynolds seperti dikutip dari TMZ.

Baca: Pemeran Princess Leia di Film Star Wars Meninggal Dunia, Pengguna Twitter Berduka

Lantas, apakah patah hati atau rasa sedih yang mendalam bisa berujung pada kematian?

Dalam sebuah studi tahun 2014 yang dipublikasikan di jurnal JAMA Internal Medicine menunjukkan, kematian pasangan yang disayangi memang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena serangan jantung atau stroke pada bulan berikutnya.

Para peneliti menemukan, seseorang yang lebih tua akan dua kali lebih mungkin terkena serangan jantung atau stroke dalam kurun waktu 30 hari setelah kematian pasangannya.

"Sindrom patah hati itu ada dan nyata," ujar asisten kepala psikiatri di Zucker Hillside Hospital New Hyde Park, New York, Dr Scott Krakower.

Sindrom patah hati dikenal juga dengan istilah stress-induced cardiomyopathy dan takotsubo cardiomyopathy.

Baca: Netizen Patah Hati, Jaksa Ganteng yang Bikin Gagal Fokus saat Sidang Jessica Ternyata Pengantin Baru

Menurut American Heart Association (AHA), sindrom patah hati bahkan bisa saja terjadi pada seseorang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya.

AHA memaparkan, sindrom patah hati terjadi ketika sebagian otot jantung membesar dan tidak dapat memompa darah dengan baik.

Akan tetapi, sebagian kondisi jantung lainnya masih bisa berfungsi normal atau bekerja lebih keras.

Kondisi tersebut bisa membuat detak jantung tidak teratur atau malah menjadi terlalu lemah untuk bisa memompa darah ke seluruh tubuh.

Akibatnya, darah tidak bisa mengalir ke seluruh tubuh dan memicu kematian.

Baca: Jangan Belanja Saat Patah Hati

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved