Silakan Rakyat Menilai, Saya Tidak Makan Uang Negara, Patrialis Akbar Meradang Divonis 8 Tahun
Walau tidak ingin mengomentari putusan, Patrialis menilai vonis tersebut tidak sebanding dengan putusan perkara yang mencuri uang negara.
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Bekas hakim Konstitusi Patrialis Akbar meradang divonis delapan tahun penjara.
Walau tidak ingin mengomentari putusan, Patrialis menilai vonis tersebut tidak sebanding dengan putusan perkara yang mencuri uang negara.
"Saya ini tak makan uang negara, tidak makan uang fakir miskin, tidak makan uang bansos, dan tidak makan uang rakyat," kata Patrialis di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/9/2017).

Patrialis mengatakan, hukuman yang dia terima tidaklah lebih kecil dibandingkan perkara korupsi yang menilap uang rakyat. Padahal, dia mengaku sama sekali tidak mencuri uang rakyat.
"Anda bayangkan orang-oang yang makan uang negara. Yang mengembalikan uang negara puluhan miliar berapa hukumannya? Coba Anda komparasi sendiri dengan akal sehat, dengan saya yang tak makan uang negara, dan itu pun dalam perbedaan pandangan antara saya dan hakim," beber Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di era Presiden SBY itu.
Terkait kasus yang membelitnya itu, Patrialis menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai.
"Saya sekali lagi tak ingin menilai putusan hakim. Saya hanya serahkan ke masyarakat apa yang sebenarnya terjadi dalam diri saya," ujarnya.
Sebelumnya, Patrialis Akbar divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengatakan Patrialis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi.
Patrialis Akbar juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 10 ribu dolar AS dan Rp 4.043.000.
Uang pengganti tersebut merupakan total uang suap yang dia terima dari terdakwa Direktur CV Sumber Laut Perkasa Basuki Hariman.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai perbuatan Patrialis tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.
Hal lain yang memberatkan Patrialis Akbar adalah menciderai lembaga Mahkamah Konstitusi.
Patrialis bersama terdakwa Kamaluuddin terbukti menerima suap dari Basuki Hariman dan stafnya, Ng Fenny, sebesar USD 50 ribu dan Rp 4.043.000.
Kamaluddin adalah perantara Patrialis dan Basuki.