Berupaya Lolos dari Jeratan Hukum KPK, Novanto Kerahkan 9 Saksi Meringankan, Ini Identitas Mereka
KPK akhirnya membeberkan 9 saksi dan lima ahli yang meringankan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membeberkan 9 saksi dan lima ahli yang meringankan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan sembilan saksi yang diajukan yakni Rudi Alfonso, Melky Lena, Anwar Puegeno, Idrus Marham, Agun Gunanjar, Robert Kardinal, Aziz Syamsuddin, Maman Permana, dan Erwin Siregar.
Sementara lima ahli yang diajukan ialah Mudzakir, Romly Atmasasmita, Samsul Bakri, Supandji, Margarito Kamis.
Dua dari lima ahli tersebut, lanjut Febri pernah diperiksa KPK dalam kasus e-KTP.
"Hari ini, Senin (27/11/2017) saksi yang hadir adalah Maman Permana, Wakil Sekjen Partai Golkar, Aziz Syamsudin, anggota DPR RI dan ahli Margarito Kamis, Dosen," ujarnya di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (27/11/2017).

Untuk saksi lainnya yakni Idrus Marham, stafnya datang KPK mengantar surat, tidak bisa datang dan minta penjadwalan ulang.
"Saksi Melky Lena juga mengirimkan surat ke KPK tidak bisa datang karena ada tugas partai di luar kota," singkat Febri.
Yakin Lolos
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis selesai diperiksa penyidik KPK pada Senin (27/11/2017) siang.
Dia diperiksa sebagai ahli meringankan yang diajukan Ketua DPR, Setya Novanto, tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Usai diperiksa, pada awak media, Margarito mengaku tim penyidik hanya mengajukan sekitar dua atau tiga pertanyaan.
Dalam pemeriksaannya tadi, Margarito menjelaskan seputar prosedur pemeriksaan terhadap anggota DPR.
"Tadi hanya seputar prosedur pemeriksaan anggota DPR," kata Margarito di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Margarito menjelaskan, KPK dan lembaga penegak hukum lain seharusnya meminta izin pada Presiden Joko Widodo jika ingin memeriksa anggota DPR, termasuk Setya Novanto.
Meskipun dalam Pasal 245 ayat (3) UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 menyebut ketentuan sebagaimana pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.