Derita Korban Penyanderaan, Setiap Hari Dengar Ledakan Bom

Setiap hari sampai tanggal 26 Desember (2017), kita tidak pernah tenang. Pesawat mem-bom, dan pertempuran hanya berjarak 1-2 kilometer

INTERNET
Ilustrasi 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA -Senyum dan wajah bahagia terpancar dari raut  wajah para korban dan pihak keluarga, Senin (2/4) kemarin. 

Menjadi hari yang berbahagia bagi enam orang yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK) Salvatur berbendera Malta ini akhirnya bisa mengirup udara bebas. Sejak 23 September tahun lalu, keenam laki-laki WNI ini menjadi korban penyanderaan kelompok bersenjata Benghazi, Libya, saat sedang mencari ikan.

Keenam yang dimaksud antara lain, Ronny William asal Tanjung Priok, Jakarta Utara, Joko Riadi asal Blitar, Jawa Timur  dan empat orang asal Tegal, Jawa Tengah. Masing-masing Haryanto, Saefuddin, Waskita Ibi Patria dan Muhammad Abudi.

Ronny, perwakilan korban sandera, menceritakan penyanderaan yang terjadi saat kapal tempat ia bekerja baru saja melaut untuk menangkap ikan. "Sekira 27 mil dari lepas pantai Benghazi, Libya, kami disandera semua," ujar Ronny saat ditemui di Kantin Diplomasi, Kemenlu, Jakarta Pusat.

Ia mengatakan semua barang yang ada di kapal yang dikapteni oleh pria Italia itu, dirampas oleh kelompok tersebut. Tak ada barang yang tersisa ataupun ditinggalkan oleh para milisi anti pemerintahan pusat Libya itu.

Alat navigasi kapal, hingga barang pribadi para ABK turut berpindah kepemilikan tangan. "Semua dirampas, dari alat navigasi, kemudian alat komunikasi kami, kulkas, freezer, hingga celana dalam. Celana dalam kami juga diambil,"cerita Ronny.

Ia mengatakan hal ini kemungkinan tak lepas dari kondisi Benghazi sebagai daerah konflik, dimana semua barang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Pria berusia 44 tahun itu juga mengungkap ketidaktenangan dirinya dan kawan-kawannya selama disandera. Tempat ia disandera, lanjutnya, tak jauh dari medan pertempuran yang sedang berlangsung di Benghazi.Ia mengatakan jarak tempat perang berkecamuk tak lebih dari 2 kilometer.

"Setiap hari sampai tanggal 26 Desember (2017), kita tidak pernah tenang. Pesawat mem-bom, dan pertempuran hanya berjarak 1-2 kilometer. Kadang ada peluru nyasar. Atau bom yang jatuh di laut, tak jauh dari kapal tempat kami disandera," terangnya sambil menerawang seolah mengingat kembali keadaan disana.

Suasana menjadi agak tenang, lanjut Ronny   ketika memasuki bulan Januari. Hal itu tak lepas karena kota yang menjadi medan pertempuran telah berhasil jatuh ke tangan milisi Benghazi. "Bulan Januari agak tenang karena kota sudah dikuasai milisi," ujarnya.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan kepulangan keenam WNI sejak disandera pada 23 September 2017 silam itu, tak lepas dari bantuan sejumlah pihak. Ia menyebut tim gabungan dari Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Negara (BIN) serta KBRI Tripoli dan Tunisia memiliki andil dalam pembebasan ini.

"Akhirnya 27 Maret 2018 sekitar pukul 12.30 waktu setempat, enam ABK kita bisa dibebaskan oleh kelompok bersenjata dengan kerja keras tim gabungan dari Kemlu, BIN dan KBRI Tripoli serta KBRI Tunisia," ujar Retno.

Retno mengatakan pembebasan ini tidaklah mudah, terutama karena daerah tersebut adalah daerah konflik yang berbahaya. Lima hari usai komunikasi terputus, kata Retno, ia menerima informasi adanya ABK yang disandera.

Pihaknya pun mengerahkan seluruh usahanya untuk memulai proses pembebasan. "Kita komunikasi dengan KBRI Tripoli dan KBRI Tunis.

Kita juga komunikasi dengan keluarga dan ABK untuk memastikan bahwa ABK kita baik-baik saja. Alhamdulillah dapat kita selamatkan kurang lebih enam, tujuh bulan. Ini pembebasan yang cukup sulit dan butuh perhitungan matang," imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya masih terus berupaya membantu agar hak-hak para korban dipenuhi usai dibebaskan. "Ini merupakan tugas yang kami upayakan dengan baik untuk melindungi WNI di luar negeri," pungkasnya.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved