Komari, Warga Samarinda yang Menolak Eksistensi Tambang Batu Bara Sampai Ajal Menjemput
Tidak sedikit masyarakat Kota Samarinda menolak eksistensi tambang di dalam kota. Sebut saja Komari ini. Pria yang sudah menetap di Makromam
Penulis: Jino Prayudi Kartono | Editor: Mathias Masan Ola

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Tidak sedikit masyarakat Kota Samarinda menolak eksistensi tambang di dalam kota. Contohnya saja Komari ini. Pria yang sudah menetap di Makroman Kota Samarinda sejak 30 tahun silam ini harus merasakan debu dan bau menyengat yang dihasilkan penambangan batubara.
Bahkan dari tulisan orbituari karya Siti Maimunah, penulis dari Sajogyo Institute Komari telah membela tempat tinggalnya agar tidak dijadikan lahan tambang batubara. Bahkan selama masa hidupnya Komari bersama 12 orang warga sekitarnya mengajukan gugatan Citizen Law Suit ke Pengadilan Negeri Samarinda pada tahun 2012.
Ia bersama warga lainnya memperkarakan pemerintah lokal dan nasional yang ternyata diduga menomersatukan pengusaha batubara. Selain itu pengusaha batubara seolah mengabaikan keselamatan keluarganya dan seluruh warga kota.
"Warga menang gugatan, pun banding di Pengadilan Negeri Samarinda. Sayangnya gugatan digagalkan Mahkamah Agung dengan alasan sistem peradilan Indonesia tidak mengenal skema Citizen Law Suit. Keputusan yang merugikan warga Samarinda," kata Siti Maimunah dalam tulisannya yang didapat Tribunkaltim.co, Minggu (28/6/2020).
Baca juga; NEWS VIDEO Cristiano Ronaldo Kini Lebih Tajam Bersama Juventus di Musim Ini
Baca juga; Tracking Massal Covid-19 Pada Lansia, Jubir Gugus Tarakan Beberkan Objek yang Jadi Prioritas
Sejak gugatannya digagalkan di Mahkamah Agung, Komari pun tidak diam serta merta. Dia pun terus memperjuangkan hak warga Makroman yang menjadi korban tambang.
Hingga pada tahun 2018 silam Komari jatuh sakit. Komari mulai sakit-sakitan, kandung kemihnya sakit, tekanan darahnya tinggi, sering pusing dan sesak nafas menyakitkan. Hal itu dikarenakan umurnya yang menua. Bahkan Siti Maimunah menduga hal tersebut dikarenakan rumahnya di kepung lubang tambang batubara.
"Biar sampai saya mati, saya ndak akan pernah kasih tanah saya ke tambang", ujar Komari. Bahkan Komari harus menyerah kepada takdir. Dirinya harus kembali menghadap yang maha kuasa pada tanggal 23 Juni kemarin.
Komari merupakan warga transmigran asal jawa. Ia pindah dari Jawa ke Samarinda pada tahun 80an. Di sana dia bertemu Nurbaeti, gadis asal Magelang yang baru 2 tahun tinggal di Samarinda mengikuti kakaknya.
Nurbaeti yang waktu itu berusia 17 tahun merupakan pedagang sayur di pasar Segiri, Komari penarik becak, duda beranak satu, umur keduanya terpaut 11 tahun. Mereka memutuskan menikah.
Mereka bersama anak-anaknya tidakq punya rumah dan tanah. Mereka memutuskan menerima tawaran temannya merawat lahan berawa-rawa seluas 3 hektar dengan imbalan 0,6 hektar.
Baca juga; Tak Tahu Urutan Pakai Sendok, Nia Ramadhani Tahan Malu Ditertawakan Keluarga Ardi Bakrie
Baca juga; BREAKING NEWS Kasus Corona di Bulungan Bertambah, Diduga Terpapar dari Transmisi Lokal
Pada 1985 mereka pindah ke Makroman dan tingal di sebuah gubuk di tengah hutan. Belakangan mereka berhasil membeli 0,5 hektar sawah dan 1 hektar kebun untuk menghidupi 10 orang anaknya.