BPJS
Kisah Pilu Nurhayati dan Kartu BPJS
Nurhayati pun berkata bahwa dirinya tidak menyesali takdir, dia hanya kecewa dengan lambannya pihak rumah sakit yang tidak menyegerakan pasien BPJS.

Catatan Kaki Jodhi Yudono/KOMPAS.COM
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Nurhayati (31) warga Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, tercenung pada Jumat pagi kemarin. Tepat pukul 06.45, putera kedua hasil perikahanya degan Mohammad Eddy Karno (29), meinggal dunia di RS Tarakan, Jakarta Pusat.
Nurhayati tidak menyesali takdir yang menimpa anaknya. Ibu dua anak itu hanya kecewa, mengapakah anaknya yag bernama Abiyasa Rizal Ahnaf yang baru berusia dua tahun itu meninggal justru di tengah masifnya upaya pemeritah untuk memerhatikan kesehatan masyarakat melalui program Badan Peyeleggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Nurhayati pun lalu menuturkan, pada Senin 18 November lalu, dia membawa Abiyasa ke RS Pasar Rebo, Jaktim, karena diare yang diderita puteraya itu tak kunjug reda. Abi memuntahkan semua yang dia makan dan minum. "Wajahya pucat dan matanya kosog," tutur Nurhhayati.
Sesampainya di RS Pasar Rebo, pihak RS lagsung memeriksa darah Abi. Ternayata lekositnya tinggi, sehigga Abi harus dirawat inap. Namun ternyata tidak ada kamar kelas tiga. Pihak RS memberi alternatif, pasien masuk kamar kelas dua dengan deposit uang sebesar RP2,6 juta, atau RS Pasar Rebo mencari RS rujukan.
Akhirnya diputuskan megambil kelas dua, dan beroleh keriganan membayar 800 ribu. Untuglah, pada malam hari ada ruang kls tiga yang kosong, maka Abi pun dipindah ke sana dengan fasilitas kartu BPJS Kesehatan.
Melalui telepon, Nurhayati bercerita, pada Selasa dini hari itu kondisi Abi belum membaik, perutnya kian kembung sehingga dokter meminta Abi berpuasa untuk waktu yang belum ditentukan. Abi kemudian dirontgen dan diketahui bahwa Abi menderita Ilius obstruksi, ilius paralitik atau penyumbatan pencernaan.
Penanganan selajutnya oleh dokter Urologi utuk megetahui pasien terkena ginjal atau tidak dengan memasang selang untuk saluran kencing. Ternayata gijalnya bagus, dan dugaan selajutnya adalah adanya sumbatan di usus.
"Anak ibu ada penyubatan di usus, harus dirujuk ke RS yang ada dokter bedah anak dan ruangan Picu," kata Nur menirukan dokter jaga yang juga meyarankan agar Abi dibawa ke RS Haji Pondok Gede.
Tapi sayang, di RS Haji tak ada kamar kelas tiga yang kosong. Sebetulnya ada kamar kelas dua yang kosong, namun RS itu tidak memiliki peralatan ventilator yang sangat diperlukan pasca operasi.
Begitulah, Nurhayati dan suaminya berlomba dengan waktu mencari rumah sakit utuk merawat putera mereka. Sang suami keliling Jakarta, sementara Nur melacak RS yang mau menerima anaknya melalui call center di RS Pasar Rebo. Namun rupanya nasib baik belum berpihak kepada mereka. Berikut adalah RS yang dihubungi oleh Nurhayati dan suaminya.
1. RSCM mendahulukan pasien sendiri dibanding pasien rujukan.
2. RSPAD - Tidak punya Ruang Picu, tapi Dokter ada. Dr Catur namanya.
3. RS Haji - Ruang dan dokter ada tapi ventilator untuk pasca operasi ngnak ada. Jadi dokter tak berani bedah.
4. RS polri - penuh
5. RS Harapan Bunda - hanya terima pasien BPJS Palasenia dan TBC
6. RSIA Harapan Kita - penuh
7. RS Fatmawati - penuh
8. RS Persahabatan - penuh.
9. RS Bunda Aliya - tak punya dokter spesialis.
10. RS UKI. - Nggak punya fasilitas PICU.
11. RS. Cikini - Penuh
12. Carolus - penuh
13. Rs Pelni. - penuh
14. Rs Islam Jakarta - penuh
15. RSPP - tak terima BPJS
16. RS Bunda Margonda - tak terima BPJS.
17. Rs permata - tak ada fasilitas dan dokter
18. Rs Mitra - tak ada fasilitas dan dokter
19. RS Premier Jatinegara -tak terima BPJS
20. RS BUNDA menteng - penuh.
21. RS Thamrin terpampang "Menerima pasien BPJS", namun petugas RS bertanya, memakai BPJS apa? Saat dijawab pakai BPJS KJS, teryata dijawab "ruagan peuh".
Saat mencari ruang kosog di berbagai rumah sakit itulah, Nurhayati dan suaminya juga sempat mengirim sms ke Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Guberur mejawab, agar suami urhayati menghubungi anak buahnya. Hingga akhirnya sampai ke Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Kepala Dinas pun mengupayakan rujukan ke RS Tarakan, Cideng, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, atas budi baik seorang donatur, Nurhayati sudah sempat memberikan uang muka ke RS Thamrin sebesar Rp20 juta.
Senin malam, 24 Oktober, setelah membatalkan perawatan di RS Thamrin, Nur dan suaminya pun membawa ABi ke RS Tarakan. Waktu sudah menunjuk angka 00.00 ketika mereka tiba di RS Tarakan dan langsung masuk ke ruang IGD. Dua jam kemudian, pasien dipindahkan ke ruang Picu. Keesokan harinya kedua orang tua Abi itu dipanggil oleh dokter untuk dimintai persetujuannya karena pasien harus dioperasi.