Kolom Rehat
Kembali untuk Cinta yang Tertinggal
Dasar memang orang kreatif, Fariz pun kemudian mendatangi setiap toko-toko musik sekadar untuk menyentuh-nyentuhkan jari pada tuts keyboards.
Oleh: ARIF ER RACHMAN
SAYA sangat mengidolakan Fariz Roestam Moenaf. Saya yakin ribuan atau mungkin jutaan orang lainnya, terutama yang usianya pertengahan 40 tahunan seperi saya, juga mengidolakan musisi multitalenta yang menguasai blantika musik Indonesia pada tahun 80-an hingga awal 90-an ini.
Waktu SMA, saya bahkan menuliskan nama menjadi 'Arif RM' dan ketika saya katakan itu kepada Fariz saat bertemu dengannya di Tunjungan Plaza Surabaya -- waktu tepatnya saya lupa tapi yang jelas menjelang Reformasi 1998 dan ketika itu Fariz sudah terlihat ceking dengan rambut yang tidak begitu gondrong -- dia hanya tertawa.
Saya yakin itu karena sudah ribuan orang yang mungkin melakukan hal yang sama sepeti saya: menceritakan tingkat kekaguman padanya.
Dalam sebuah kesempatan Fariz pernah bercerita bahwa lagu Sakura (1980) dan Barcelona (1989) -- dua lagu yang mengantarnya ke puncak-puncak prestasi -- selain yang paling membanggakan juga paling 'membosankan' baginya. Karena selama lebih dari 35 tahun berkarier di musik, sudah lebih dari 60 kali bongkar-pasang aransemen dilakukannya pada lagu itu untuk menghindari 'kejenuhan'.
Tapi, menurut saya, itu sebenarnya merupakan tanggungjawab moralnya sebagai musisi untuk selalu memberikan warna baru meski pada lagu lama.
Sakura ditulis Fariz berdasarkan skenario film Sakura Dalam Pelukan besutan Fritz G Schadt yang dibintangi Eva Arnaz dan Liem Swie King. Jadi ide awalnya bukan 'murni' dari Fariz meski di album itu ia bertindak sebagai pencipta penata lagu, pemain keyboard, gitar, dan drums. Karena itu Fariz lebih membanggakan Barcelona yang menurutnya banyak memiliki keunikan saat penciptaannya.
Saat diluncurkan pertama kali, Barcelona berada dalam album "Living in the Western World". Album ini istimewa karena semua materi lagu ditulis saat Fariz berada di Eropa, pusat kebudayaan barat. Uniknya, lagu Barcelona diciptakan Fariz dengan tanpa bantuan satu pun alat musik, hanya berbekal gagasan di kepala.
Saat di Eropa, Fariz berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, seperti Austria, Belanda, Prancis, Italia, dan akhirnya terdampar di Spanyol, tepatnya di jantung kota Barcelona, dalam rangka menambah referensi musiknya.
Karena termasuk turis backpacker, Fariz sama sekali tak membawa alat musik, sedangkan untuk membeli ia tidak punya dana. Tapi ide-ide musik yang menumpuk di kepalanya perlu penyaluran. Fariz perlu memainkan alat musik agar 'sakau'-nya terobati.
Dasar memang orang kreatif, Fariz pun kemudian mendatangi setiap toko-toko musik sekadar untuk menyentuh-nyentuhkan jari pada tuts keyboards. Itu sering dilakukan Fariz sampai akhirnya pemilik toko memintanya untuk jadi demonstrator gratisan untuk sekalian menghibur pengunjung.
Persoalan lain muncul: karena sudah cukup sering memainkan alat musik, Fariz merasa semua itu perlu diolah dan dikonsep menjadi lagu. Sedangkan untuk meminjam keyboards itu, Fariz merasa "malu dong!".
Ini menjadi tantangan bagi Fariz untuk menguji kemampuannya bermusik: membuat lagu tanpa alat musik. Jadilah kemudian Fariz hanya membeli pulpen dan buku bergaris-garis khusus untuk menulis partitur not balok.