Kolom Rehat

Korrie Dalam Nada Minor

Korrie bercerita bahwa ia ingin mengangkat penulis-penulis sastra Kaltim ke permukaan dengan menyusun dan menerbitkkan buku-buku berisi karya mereka.

oleh: ARIF ER RACHMAN

DALAM ruang kuliah sastra, kurang lebih 24 tahun lalu, dosen saya menyebut nama Korrie Layun Rampan dalam nada minor.

"Salah satu penulis yang tulisannya tidak saya suka adalah Korrie Layun Rampan. Tulisannya terlalu menggurui. Dia itu sastrawan yang tulisannya sering dimuat di majalah sastra Horison," kata dosen lulusan University of Texas di Austin, AS, itu. Sejak itu saya mulai mencari tahu lebih banyak soal Korrie.

Sebelumnya, pada pertengahan 1980-an, saya sudah sering melihat nama Korrie Layun Rampan -- selain nama Arswendo Atmowiloto dan Putu Wijaya -- sebagai penulis cerpen di majalah-majalah terbitan Jakarta yang saya dapat dengan menukar beberapa botol kecap bekas kepada 'lelek-lelek' yang biasa memikul dua keranjang berisi barang-barang bekas dan bersedia membeli/menjual barang-barang bekas dari rumah ke rumah.

Didorong kalimat dosen saya itu, saya kemudian mencari-cari tulisan Korrie ke beberapa perpustakaan dan ke toko-toko buku bekas di Jalan Semarang, Surabaya.

Saya ingin tahu bagaimana sih tulisan yang menurut dosen saya itu "terlalu menggurui".

Dari hasil pencarian -- yang tidak semudah sekarang dengan internet dan gadget canggih -- saya mengetahui bahwa Korrie Layun Rampan ternyata bukan perempuan, dan yang lebih mengejutkan, dia adalah orang Dayak Kaltim kelahiran Samarinda. Ini membuat saya bangga meski 'nada minor' dosen saya itu terus menghantui.

Saat sudah mulai bekerja sebagai jurnalis, saya berlangganan majalah Horison dan sudah bisa rutin membeli buku yang bukan bekas, termasuk beberapa buku kumpulan tulisan sastrawan besar yang dieditori dan ditafsirkan oleh Korrie.

Saya sangat terbantu dalam mengenal sastrawan- sastrawan besar dan karya-karya mereka dengan buku-buku yang disusun Korrie dengan sangat lengkap dan sistematis.

Pada tahun 2003, setahun setelah saya kembali ke Balikpapan, saya kebetulan berkesempatan ikut rombongan Wakil Gubernur Kaltim (waktu itu) Yurnalis Ngayoh dalam kunjungan ke Kutai Barat yang juga kampung halaman sang wagub.

Saya pun berniat menemui Korrie yang saya dengar telah kembali ke Kubar setelah lama menetap di Jakarta. Tapi karena persoalan teknis dan waktu, saya tidak berhasil menemuinya.

Kurang lebih sepuluh tahun lalu, Zulhamdani AS, penyair dan dramawan senior Balikpapan, mengabarkan Korrie mengajak saya dan beberapa seniman lain bertemu untuk membicarakan perkembangan sastra di Kaltim, khususnya Balikpapan.

Dalam pertemuan santai di cafe di daerah ruko Bandar Klandasan itulah, saya berhadapan langsung dengan sosok yang dijuluki 'Presiden Sastrawan Mahakam' itu.

Ternyata orangnya sangat sederhana dan gaya bicaranya sangat halus. Penampilannya sangat biasa dengan topi untuk menutupi rambutnya yang mulai menipis.

Korrie bercerita bahwa ia ingin mengangkat penulis-penulis sastra Kaltim ke permukaan dengan menyusun dan menerbitkkan buku-buku berisi karya mereka.

Dan singkatnya, dengan keuletan dan ketekunannya yang tak tertandingi serta bantuan berbagai pihak, meluncurlah tak kurang dari 10 buku antologi karya penulis-penulis Kaltim. Dalam kata pengantar buku Balikpapan Dalam Sastra Indonesia, Korrie menceritakan kembali soal pertemuan dengan "sastrawan-sastrawan Kaltim" di cafe ruko Bandar itu dan menyebut-nyebut nama saya, yang tentu saja membuat saya besar kepala.

Cerpen dan puisi-puisi saya hanya termuat dalam 3 buku, itu pun karya-karya yang sama. Bang Zul -- begitu sapan saya pada Zulhamdani AS -- beberapa kali mengirim SMS agar saya menyertakan karya-karya dalam buku-buku Korrie berikutnya, tapi tidak saya lakukan.

Saya agak kecewa karena merasa buku-buku yang terbit sebelumnya tidak melalui seleksi ketat kualitas karya, tapi sekadar memuat karya-karya.

Karya sastrawan senior yang kualitasnya telah diakui disandingkan dengan karya anak kemarin sore yang masih SMA dan baru belajar menulis.

Rupanya saya mungkin masih terpengaruh pada 'nada minor' dari dosen saya puluhan tahun silam itu. Maafkan saya, Pak Korrie. Dan ternyata saya memang keliru dan tidak bisa melihat niat utama Korrie yang ingin mengangkat penulis-penulis Kaltim ke permukaan. Soal kualitas akan berkembang seiring waktu.

Dengan karyanya diterbitkan, seorang penulis pemula akan terpacu untuk terus berkarya. Saya tahu buku-buku tersebut kini sudah tersebar ke seluruh Indonesia, termasuk ke perpustakaan daerah Kabupaten Gunung Kidul, DIY.

Saya juga kemudian mengetahui bahwa Korrie sebenarnya telah menyusun buku kumpulan karya khusus "sastrawan-sastrawan utama Kaltim" yang sedianya diluncurkan bulan depan jika saja penerbit dan percetakan tidak melarikan dana yang telah disetor Korrie.

Untuk itu, Korrie telah mengusulkan agar para penulis bersedia patungan untuk membiayai ongkos cetak agar buku tersebut benar-benar bisa diluncurkan Desember nanti.

Tapi rupanya Tuhan punya rencana lain. Korrie menghembuskan nafas terakhir pada Kamis (19/11) lalu di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 62 tahun. Selamat jalan, Pak Korrie. Maafkan saya soal 'nada minor' tersebut. Semoga 350 lebih buku yang kau tulis bisa menjadi kendaraanmu menuju Perpustakaan Agung di surga. (*)

***

  Follow  @tribunkaltim Tonton Video Youtube TribunKaltim

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Maraknya Fenomena Sound Horeg

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved