Kolom Rehat
Bernard Shaw dan Komunisme
"Hanya orang bodoh yang tidah (berfaham) komunis saat berusia 20-an. Tapi lebih bodoh lagi orang masih komunis saat sudah berusia 30- 4an."
Oleh: ARIF ER RACHMAN
"Any man who is not a communist at the age of twenty is a fool. Any man who is still a communist at the age of thirty is an even bigger fool."
TOKOH sastra dunia yang paling saya sukai adalah George Bernard Shaw (26 Juli 1856-2 November 1950). Salah satu naskah drama (play) sastrawan Inggris kelahiran Irlandia itu bahkan saya jadikan subjek penelitian dalam skripsi S-1 saya dulu.
"Any man who is not a communist at the age of twenty is a fool. Any man who is still a communist at the age of thirty is an even bigger fool."
TOKOH sastra dunia yang paling saya sukai adalah George Bernard Shaw (26 Juli 1856-2 November 1950). Salah satu naskah drama (play) sastrawan Inggris kelahiran Irlandia itu bahkan saya jadikan subjek penelitian dalam skripsi S-1 saya dulu.
Saya meneliti dan mencoba mendedahkan dialog-dialog bermuatan satir atau lelucon sindiran dalam drama terkenalnya, Arms and the Man.
Shaw memang kocak tapi cerdas. Dramawan yang namarnya hanya setingkat berada di bawah Shakespeare itu juga dikenal sebagai aktivis politis (sosialis), esais, dan bahkan peraih Nobel untuk Sastra pada 1925 sekaligus peraih piala Oscar pada 1938 sebagai penulis skenario terbaik untuk film Pygmalion yang diadaptasi dari naskah dramanya sendiri dengan judul yang sama.
Sejauh ini hanya ada dua nama peraih Nobel yang juga peraih Oscar: Shaw dan Al Gore, mantan Wakil Presiden AS.

Kalimat-kalimat Shaw baik dari karya sastra maupun esai politiknya banyak dikutip hingga saat ini. Dan saya jadi teringat kembali kalimatnya yang saya kutip di awal tulisan ini karena dalam sepekan terakhir isu komunisme mulai merebak, diawali dengan diskusi korban 1965 dalam perfektif sejarah hingga penyitaan atribut dan beberapa buku terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
Arti kutipan Shaw di atas kurang lebih begini: "Hanya orang bodoh yang tidah (berfaham) komunis saat berusia 20-an. Tapi lebih bodoh lagi orang masih komunis saat sudah berusia 30- 4an."
Menurut saya, kutipan itu benar, sangat benar, seperti tidak ada lagi yang lebih benar. Setidaknya itu yang saya rasakan. Pada saat kuliah dulu, awal 1990-an, saya -- dan beberapa teman seangkatan lain -- merasa bahwa kiri itu seksi.
Saya pun banyak tertarik membaca buku-buku dengan pemikiran kiri, termasuk Das Kapital karya Bapak Komunisme, Karl Marx, yang dieditori Friedrich Engels.

Untuk lebih memahami isi 'mbahnya' buku komunis yang setebal bantal itu, saya pun membaca buku-buku lain yang menjelaskan tentang Das Kapital dengan bahasa yang gamblang dan lebih sederhana.
Saya juga sembunyi-sembunyi membaca buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang berisi tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer (sastrawan Lekra-nya PKI) saat ditahan di Pulau Buru.
Selain itu, saya juga senang memakai T-shirt bergambar Ernesto "Che" Guevara, pejuang revolusioner sosialis-komunis yang membantu Fidel Castro menumbangkan rezim Batista. Dulu, yang saya lakukan itu terasa keren sekali.
Oh ya, saat itu rambut saya gondrong sebahu dengan Guns 'n Roses atau Metallica yang selalu menempel di kuping.
Seiring waktu saya mulai kritis dengan aliran kiri saat mulai bekerja sebagai jurnalis pada akhir masa kuliah. Dan kemudian pada 1999 terbit buku karya Romo Magnis (Franz Magnis-Suseno) berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
Buku ini mendedahkan pemikiran Karl Marx secara komprehensif, objektif, sekaligus kritis. Beberapa premis Marx tentang pertentangan kelas maupun soal buruh bisa terpatahkan dalam buku ini.
Setelah membaca buku Romo Magnis itu dan seiring dengan kehidupan yang saya jalani, akhirnya saya -- saaat itu mulai mencapai usia 30 tahun -- mengambil kesimpulan bahwa pemerintahan dengan ide komunisme itu terlalu utopis dan karenanya sangatt sukar diwujudkan dengan baik.
Kita tahu pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an negara-negara komunis berguguran di Eropa. Hanya Rusia, Kuba, RRT, dan Korea Utara yang tetap memegang ideologi itu.

Komunisme tidak akan berhasil dan partai dengan ideologi itu pun masih terlarang di Indonesia. Dengan begitu, saya berharap aparat tidak terlalu represif, termasuk dalam melarang buku-buku berbau komunisme selama isiya tidak provokatif dan memilki unsur makar. Dalam perspektif sejarah dan ideologi, buku komunisme sebaiknya tidak perlu dilarang.
Saya sangat setuju dengan Romo Magnis yang mengatakaan: "Komunisme boleh saja dilawan (dan menurut saya harus dilawan). Caranya adalah dengan mengetahuinya.
Bagaimana kita dapat mengambil sikap terhadap salah satu gerakan politik paling berpengaruh di abad ke-20 apabila dasar-dasar politiknya tidak dapat kita kritik? Bagaimana kita dapat mengkritik apabila kita tidak mengerti apa yang mau kita kritik?"
Begitulah. Ternyata saya tidak bodoh pada usia 20-an dan syukurklah tidak menjadi leboh bodoh lagi saat ini. Selamat berakhir pekan. (*)
***