Operasi Tangkap Tangan KPK

Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik

Patrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar.

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar ditahan usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017). KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan yakni hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, pengusaha swasta yang diduga penyuap Basuki Hariman, dan sekretarisnya NG Fenny serta Kamaludin sebagai perantara terkait dugaan suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 

Patrialis kembali melamar menjadi calon hakim MK ketika DPR membuka pendaftaran pada 2013 untuk menggantikan Mahfud. Namun, ia mengundurkan diri.

Baca: Begini Liku-liku Hidup Patrialis Akbar, Berasal dari Keluarga Berada, Namun Pernah jadi Sopir Angkot

Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar ditahan usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017). KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan yakni hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, pengusaha swasta yang diduga penyuap Basuki Hariman, dan sekretarisnya NG Fenny serta Kamaludin sebagai perantara terkait dugaan suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar ditahan usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017). KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan yakni hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, pengusaha swasta yang diduga penyuap Basuki Hariman, dan sekretarisnya NG Fenny serta Kamaludin sebagai perantara terkait dugaan suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Bermasalah

Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik. Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi. 

Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.

Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.

Penjelasan Pasal 19 mengatur, calon hakim konstitusi harus diumumkan melalui media cetak ataupun elektronik sehingga masyarakat dapat memberi masukan terhadap calon hakim konstitusi itu.

Proses seleksi dalam penunjukan Patrialis tidak seperti yang dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden pada 2008 yang menggunakan seleksi terbuka.

Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (ICW dan YLBHI) kemudian menggugat Kepres 87/P Tahun 2013 ke pengadilan tata usaha negara.

Sebaliknya, pemerintah ketika itu meyakini tidak ada aturan yang dilanggar. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih calon hakim konstitusi.

Proses seleksi oleh Wantimpres itu dianggap pemerintah bukanlah kebiasaan tata kenegaraan yang baku.

Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar ditahan usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017). KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan yakni hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, pengusaha swasta yang diduga penyuap Basuki Hariman, dan sekretarisnya NG Fenny serta Kamaludin sebagai perantara terkait dugaan suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar ditahan usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017). KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan yakni hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, pengusaha swasta yang diduga penyuap Basuki Hariman, dan sekretarisnya NG Fenny serta Kamaludin sebagai perantara terkait dugaan suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Di tengah kritik dan penolakan dari sejumlah kalangan, Patrialis Akbar tetap mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi untuk periode 2013-2018 di Istana Negara pada Selasa (13/8/2013). 

Seperti dikutip Kompas, Kamis (26/11/2013), PTUN Jakarta kemudian membatalkan keppres tersebut.

PTUN meminta pemerintah mencabut keppres tersebut dan menerbitkan keppres baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PTUN menilai pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.

Pemerintah kemudian banding. Dalam proses banding itu, Patrialis tetap menjadi hakim konstitusi.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta kemudian membatalkan keputusan PTUN Jakarta.

PTTUN mengakui legal standing penggugat (ICW dan YLBHI), tetapi kedua lembaga tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan pribadi atas pengangkatan dua hakim konstitusi tersebut.

Patrialis lalu tetap menjadi hakim konstitusi hingga akhirnya ditangkap KPK. (Sandro Gatra)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved