Kesehatan Seks
Bagaimana Seharusnya Orangtua Merespon Cerita Anak yang Alami Kekerasan Seksual?
Separuh dari anak-anak tersebut merasa takut atau malu oleh respons orangtua dalam menanggapi cerita mereka.
Yang pertama berusia 9-10 tahun, mengalami kekerasan seksual dari kenalan ayahnya.
Sang ayah yang mendengar ceritanya langsung marah dan memukulinya, lalu menarik anak ini ke rumah pelaku, dan memukuli pelaku di depan anak.
Situasi makin runyam karena pelaku tidak terima dengan perlakuan ayahnya, lalu mengajak teman-temannya menyerang perumahan tempat keluarga korban tinggal.
Kasus kedua menyangkut anak yang jauh lebih kecil, yang ibunya marah-marah di depan anak, menyebut sang anak bandel tidak bisa diatur, ”salah sendiri sudah dibilang jangan main jauh-jauh masih saja tidak nurut. Saya tidak mau lagi ngurus, lebih baik mengurus adiknya yang ’belum rusak’!”
Kasus ketiga menyangkut anak perempuan yang mengalami pelecehan seksual dari pemuda yang kos di rumahnya.
Sang ayah terlihat sangat terpukul, sedih, banyak menangis saat konseling, mengatakan, ”Lebih baik kaki atau tangan saya dipotong saja daripada melihat anak saya seperti ini. Anak saya sudah dirusak, tidak punya masa depan lagi.”
Kasus keempat berbeda lagi. Orangtua yang merasa syok jadi demikian melindungi dan memanjakan anak.
Anak selalu dituruti permintaannya, diistimewakan dibandingkan dengan saudara- saudara kandungnya, sehingga menjadi sangat sulit diatur.
Bahkan, anak meminta orangtua membayarnya apabila pada malam hari ia masih ingin bermain, sementara orangtuanya menyuruh ia tidur. Dan orangtua memberikan yang diminta anak!
Pendampingan kepada orangtua
Bayangkan apa yang dipikirkan anak—dalam berbagai keterbatasan kemampuan berpikir mereka, dalam mencerna berbagai hal yang terjadi setelah kejadian dan setelah mengungkapkan apa yang dialami.
Mereka terkejut karena ingin dimengerti, tetapi ceritanya justru membuat marah.
Kepercayaan kepada orang dewasa dan orang lain rusak karena orang dewasa (pelaku) memperlakukannya secara buruk dan orangtua tidak dapat diharapkan memberikan perlindungan.
Mungkin anak merasa diri buruk dan ”rusak” (seperti orangtua dan masyarakat melihat mereka), tidak lagi punya masa depan, membuat malu dan menambah persoalan dalam keluarga.
Anak merasa bingung dan menjadi sulit menerima diri sendiri. Atau sebaliknya, kebingungannya membuatnya sulit mengelola emosi, jadi penuntut, dan memupuk kebiasaan bersikap manipulatif dalam hubungan dengan orang lain.
Ketidakmampuan orangtua memberikan penguatan kepada anak sering merefleksikan kondisi dan persoalan mereka sendiri.