Kolom Rehat
Sometimes in April
Sekitar satu juta warga etnis Tutsi diperkirakan tewas dalam peristiwa paling berdarah selama 3 bulan itu.
oleh: ARIF ER RACHMAN
PADA 6 April, 23 tahun lalu, sebuah pesawat yang membawa Presiden Rwanda, Juvénal Habyarimana, dan Presiden Burundi dari etnis Hutu, Cyprien Ntaryamira, ditembak jatuh dengan rudal saat sedang bersiap mendarat di Kigali, ibukota Rwanda.
Kedua presiden dan semua penumpang lain tewas.
Tertuduh utama pelaku adalah Front Patriotik Rwanda (RPF), milisi bersenjata yang didukung etnis Tutsi pimpinan Paul Kagame.
Sehari setelah pembunuhan Presiden Habyarimana itu, tepatnya 7 April 1994 hingga 15 Juli 1994, pembantaian masal terhadap etnis Tutsi oleh pemerintah Rwanda dan warga bertenis Hutu terjadi.
Tragedi kemanusiaan itu kemudian kita kenal sebagai Rwandan Genocide atau pemusnahan etnis di Rwanda.

Sekitar satu juta warga etnis Tutsi diperkirakan tewas dalam peristiwa paling berdarah selama 3 bulan itu.
Saya mengikuti berita mengerikan dari Afrika itu hari per hari karena saat itu adalah saat awal- awal saya bekerja di media.
Tugas saya adalah menerjemahkan berita-berita tersebut dari kantor berita Reuters (Inggris) dan AFP (Prancis) yang kami langgani lewat teleks.
Untunglah saat itu saya hanya menerjemahkan lembaran-lembaran teleks yang sudah disiapkan oleh Redaktur Internasional, jadi saya tidak memilah dan memilih tumpukan kertas yang terus menebal karena tiap menit mengalir dari printer.
Beberapa tahun kemudian, saya yang memilah dan memilih sejumlah berita dunia dari tumpukan kertas itu untuk diterjemahkan oleh reporter desk Internasional.
Saat itu belum ada internet dan bahkan layar monitor komputer pun belum berwarna.

Kembali pada peristiwa April 1994 itu, Pemerintah Rwanda (Hutu) bersama dua milisi Hutu, Interahamwe dan Impuzamugambi, bukan hanya membantai para politisi dari etnis Tutsi di Ibukota Kigali, tapi juga memerintahkan secara terbuka lewat radio-radio kepada seluruh warga etnis Hutu untuk membantai semua tetangga mereka yang beretnis Tutsi.
Warga Hutu dipersenjatai dengan berbagai senjata tajam, termasuk alat-alat pertanian seperti cangkul dan sekop.
Pada bulan-bulan pembantaian itu, impor machete (senjata tradisional parang atau golok) ke Rwanda meningkat tajam.