Dugaan Penodaan Agama
Divonis Lebih Lama dari Ahok, Begini Reaksi Dokter yang Menjadi Terdakwa Kasus Penodaan Agama
Otto pun meminta kepada media untuk meluruskan persepsi bahwa dirinya bukanlah seorang penoda agama.
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani |
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Otto Rajasa (41) terdakwa kasus dugaan penodaan agama dan ujaran kebencian menegaskan tak melakukan upaya banding.
Otto divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan dengan kurungan penjara 2 tahun subsider 1 bulan, Rabu (26/7/2017) lalu.
Kendati masih beranggapan hukuman yang diterimanya terlalu berat, namun Otto mengklain dapat menerima dengan lapang.
"Sudah kita terima saja. Kalau melihat situasi sekarang, upaya banding belum tentu tambah baik. Bisa jadi tetap atau tambah buruk," ujarnya saat ditemui di Rutan Balikpapan, Rabu (2/8/2017).
Keputusan tersebut murni lahir dari dirinya.
Memang kuasa hukum sebelumnya menyarankan melakukan upaya banding karena peluang menang masih terbuka. Sementara saat ia menanyakan ke istri, Aliyah mengembalikan keputusan kepada Otto.
Baca: Istri Terdakwa Kasus Penodaan Agama di Balikpapan Sebut Nama Ahok
"Nah, kalau saya gak usah (banding). Saya dengan istri setuju tak usah banding. Membuang tenaga dan energi lebih baik fokus di sini, 2 tahun Insya Allah tak terlalu lama," ungkapnya. "Masih muda saya keluar dari sini," sambungnya.
Otto pun meminta kepada media untuk meluruskan persepsi bahwa dirinya bukanlah seorang penoda agama.
Sangkaan beserta dakwaan penodaan agama nyatanya tak bisa dibuktikan dalam persidangan. Sehingga menurutnya Hakim sedikit memaksakan vonis bersalah dengan menggunakan pasal 28 UUD ITE (2) tentang Ujaran Kebencian.
"Saya tak terbuki menodai agama Islam. Kemarin tak bisa dibuktikan," katanya.
Menurutnya, hingga saat ini pun ia masih belum menemukan ujaran kebencian yang dimaksud hakim dalam landasan ketetapan yang dibuat.
Menurutnya sesyai dengan International Covenanr on Civil Political Right, yang masuk dalam ujaran kebencian tersebut bila ada pernyataan yang mengajak melakukan kekerasan terhadap suku, ras, atau agama tertentu.
"Ayo bunuh suku A, karena mereka bau badannya," ujarnya mencontohkan.
Baca: Divonis 2 Tahun Penjara karena Penodaan Agama, Dokter Ini Minta Masyarakat Jangan Berpikir Kritis
Kemudian ujaran yang mengarah kepada diskriminasi serta intoleransi. Ia masih berkeyakinan bahwa pernyataan yang ia posting November 2016 lalu bukan termasuk hate speech, sesuai dengan ICCPR yang telah diratifikasi lewat UU 12 Tahun 2005 lalu telah diaksesi sejak 2006 silam.
"Kalau menurut saya nggak masuk. Postingan saya nggak ngajak itu. Keluarga besar saya Islam. Masa saya nyuruh melakukan kekerasan terhadap agama Islam. Makanya ada sedikit pemaksaan," serunya
Otto pun mengamini pandangan sebagian orang yang menganggap pasal 28 UUD ITE termasuk pasal karet. Pasal tersebut masih memberikan ruang lebar terhadap persepsi hakim dalam memutus suatu perkara.
Menurutnya, belum adanya batasan tertulis dalam pasal tersebut yang menjadi ukuran penilaian seseorang berujar kebencian. Dimana persepsi hakim, di sanalah letak kebenarannya.
"Hakim persepsinya seperti apa, itulah kebenaran dalam sidang. Kata-kata mana sih yang membuktikan hate speech ada? Saya tidak percaya Tuhan, haji di Jakarta atau puasa anak kecil dipaksakan Anda niru siapa, yang termasuk hate speech yang mana? Masih belum jelas," bebernya.
Kendati demikian, meskipun secara nalar masih berpeluang untuk mengajukan banding untuk memperjuangkan kebenaran, namun Otto terkadung pasrah, apalagi mengingat pemahaman masyarakat Indonesia yang relatif sejajar saat ini.
Ia seperti ingin menyampaikan selogis apapun pemikiran seseorang, akan runtuh seketika jika beradu dengan pemahaman mayoritas.
Baca: Larang Buku soal Islam Toleran Beredar, Pemerintah Malaysia Dikecam Aktivis dan Penulis
"Hakim di sini (Balikpapan), Samarinda sampai Jakarta kemungkinan mirip-mirip saja," katanya. "Banding sia-sia. Kemungkinan sia-sia besar, berhasil kecil," lanjutnya.
Pada akhirnya ia memilih untuk menikmati apa yang ia terima sebagai jalan hidup yang mesti dijalani.
Namun ia sempat tak habis pikir bahwa putusan yang ia terima sebulan lebih lama dari Ahok.
Padahal kasus mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menimbulkan reaksi besar dari hampir sebagian warga Indonesia. Sementara, kasus yang menimpanya tak berdampak apa-apa.
"Mungkin hakim menganggap kasus saya direaksi seluruh dunia, jadi ditambahi 1 bulan. Saya jadi Ahok tambah 1 bulan. Wah ini internasional levelnya," ujarnya sambil tertawa mengenakan baju biru muda khas warga binaan Rutan.
"Ya gak apa, anggapan hakim seperti itu. Berdasarkan pengalaman beliau yang sudah 25 tahun menjadi hakim kita hargai. Kita terima ikhlas," katanya.
Pemberitaan sebelumnya pada Rabu (26/7/2017) lalu, terdakwa kasus dugaan penodaan agama dan UU ITE di Balikpapan, dr Otto Rajasa akhirnya divonis 2 tahun penjara denda 50 juta subsider 1 bulan penjara.
Seusai pembacaan vonis yang dipimpin oleh Ketua Majelis Persidangan Aminuddin SH, MH sekita pukul 11.40 Wita di Pengadilan Negeri Kelas 1A Balikpapan. Otto langsung digiring petugas ke mobil kejaksaan menuju kediaman barunya di rutan kelas 2B Balikpapan.
Ada banyak hal yang menurut Otto menjadi pertimbangan kasusnya sulit di vonis bebas seperti persoalan yurisprudensi dan bagaimana cara masyarakat Indonesia bersikap hal-hal seperti ini. "Pesan saya, jangan berpikir kritis, kita harus ngikutin masyarakat. Kalau di Indonesia berpikir kritis akan dihukum," kata Otto saat ditanya soal pesannya pada masyarakat Indonesia usia divonis bersalah melanggar pasal 28 (2) Jo pasal 45 (2) UU ITE No 11 tahun 2008. (*)