Soal Blok Mahakam, Wow, Isran Noor Nekat akan Lakukan Langkah Berani Ini Jika Menjadi Gubernur
Isran mengaku dirinya sangat kecewa dengan sikap pemerintah yang tetap memberikan peluang kepada perusahaan raksasa asing
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Masalah pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak kedua oleh PT Total E&P Indonesie (Total) turut menjadi salah satu topik perhatian kandidat bakal calon Gubernur Kaltim 2018, Isran Noor.
Isran mengaku dirinya sangat kecewa dengan sikap pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ESDM) yang tetap memberikan peluang kepada perusahaan raksasa asing milik Total Perancis dan Inpex Jepang itu kembali mengelola Blok Mahakam.
"Sikap pemerintah itu mengecewakan. Seharusnya kan jangan lagi beri kesempatan kepada Total. Sudahlah, kita ambil saja semua 100 persen, agar manfaatnya benar-benar bisa dirasakan untuk rakyat Indonesia, terutama Kaltim," tegas Isran.
Ia menegaskan itu kepada TribunKaltim.co sesaat sebelum mengumumkan nama Hadi Mulyadi sebagai balon wakil gubernur Kaltim yang dipilih menjadi pendampingnya dalam Pemilihan Gubernur Kaltim (Pilgub) 2018 di rumahnya, Samarinda, Rabu (4/10/2017).
"Dan itu nanti yang akan saya lakukan kalau terpilih menjadi Gubernur Kaltim. Sebagai gubernur sudah tentu punya kewenangan untuk mendesak pusat, agar manfaatnya benar-benar bisa dirasakan rakyat Kaltim," tegasnya lagi.
Menurutnya, mengelola blok kaya migas yang sudah berjalan seperti Blok Mahakam bukanlah sesuatu yang sulit. Kalau persoalannya adalah dana, ia tahu banyak lembaga pembiayaan yang akan mampu dan berminat untuk mendanai.
"Apa dikira Total sendiri gak pakai dana perbankan? Itu hal yang tidak sulit," katanya.
Jika persoalannya jika terkait dengan skill sumberdaya manusia, tambah Isran, kita bisa rekrut para profesional untuk mengebor dan mengelolanya.
"Kalau perlu kita rekrut tenaga-tenaga profesional dari Perancis itu. Gak mau? Kita kasih gaji dan tunjangan yang lebih tinggi masak tidak mau," ucap mantan Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) itu.
Isran mengatakan masalah Blok Mahakam ini mestinya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membangun Kaltim dan Indonesia. Tetapi, karena pemimpin tidak memiliki nyali yang kuat, akhirnya blok yang sudah 50 tahun dikelola perusahaan asing ini pun kembali ditawarkan kepada asing.
"Pertamina mestinya kita dorong untuk percaya diri, kita kuatkan nyalinya bahwa kita bisa. Jadi tak usah kita tawarkan lagi kepada Total. Cukup sudah 50 tahun itu," tegas Isran.
Gas Terbesar di Indonesia
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar.

Cadangan yang tersisa saat ini disebut-sebut sekitar 12,5 tcf. Dengan harga gas yang terus naik, blok Mahakam berpotensi menghasilkan pendapatan kotor US$ 187 miliar (12,5 x 1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1700 triliun.
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) pada 31 Maret 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997.
Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017. Karena besarnya cadangan tersisa, pihak asing telah kembali mengajukan perpanjangan kontrak.
Disamping permintaan oleh manajemen Total, PM Prancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke Jakarta Juli 2011. Disamping itu Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012.
Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012
Total Berminat 39 Persen
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Agustus 2017 lalu akhirnya mengambil keputusan terkait tiga permintaan insentif di Blok Mahakam yang diajukan oleh Total E&P Indonesie. Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar bilang pemerintah menolak tiga permintaan insentif yang diajukan Total.
"Pemerintah menolak. Kami sudah sampaikan, mereka sudah terima," ungkap Arcandra, sebagaimana dilansir Kontan. Selasa (15/8/2017).

Tetapi, pihaknya masih membuka peluang bagi perusahaan raksasa yang sahamnya dimiliki Perancis dan Jepang itu untuk mendapatkan 39% Participating Interest (PI/hak kelola) di Blok Mahakam pasca 2017. Angka 39% itu merupakan permintaan Total yang disampaikan dalam surat sebelumnya, lebih tinggi dari yang ditawarkan oleh Pertamina, maksimal sebesar 30%.
Kontrak Total EP di Mahakam akan berakhir pada 31 Desember 2017. Pemerintah telah memutuskan memberikan hak kelola blok tersebut kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), dan hingga saat ini masih dalam masa transisi pengelolaan.
Pemerintah sengaja memberi kesempatan untuk ikut lagi mengoperasikan blok penghasil gas terbesar di Indonesia itu karena tak ingin produksi minyak dan gas di Blok Mahakam anjlok.
Diketahui pada Mei 2017 lalu, Total EP telah mengirim surat kepada Menteri ESDM. Perusahaan itu menyatakan minatnya membeli 39% saham di Blok Mahakam, namun meminta tiga syarat insentif. Alasannya, agar ivestasi yang akan dikeluarkan nanti bisa mencapai skala keekonomian.
Pertama, Total meminta investment credit sebesar 17%. Investment credit adalah tambahan pengembalian biaya modal yag dikeluarkan investor dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan produksi.
Dengan syarat ini berarti Total berharap investasi yang dikeluarkan nanti akan dikembalikan oleh negara melalui cost recovery dan ditambah 17%. Jika Total mengeluarkan US$ 100 juta misalnya, maka negara harus mengganti biaya melalui cost recovery US$ 100 juta ditambah US$ 17 juta.
Kedua, percepatan masa depresiasi dari lima tahun menjadi hanya 2 tahun. Normalnya, depresiasi berjangka waktu 5 tahun.
Ketiga, Total EP meminta harga alokasi migas untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) mengikuti harga pasar internasional dan tidak ada diskon. Selama ini harga DMO menggunakan harga khusus yang jauh di bawah harga pasar.
Di luar permintaan tiga insentif itu, Total EP juga menyatakan bersedia membayar bonus tandatangan sekitar US$ 13 juta dari jumlah US$ 41 juta dengan catatan bisa mendapatkan 39% saham di blok tersebut.
Arcandra menyebut alasan penolakan insentif yang diajukan Total murni karena aturan yang berlaku saat ini. Salah satunya soal insentif first tranche petroleum (FTP). "FTP itu harus," tegasnya.
Permintaan share down di Blok Mahakam sebesar 39% ini lebih tinggi dari keputusan pemerintah. Sebelumnya pemerintah hanya memperbolehkan PT Pertamina melakukan share down maksimal sebesar 30% di blok Mahakam.
Menurut Arcandra, pemerintah telah mengirim surat balasan ke Total yang isinya menolak semua permintaan tersebut. Pemerintah tak mau memberikan fasilitas-fasilitas itu karena memang tidak ada regulasinya.
Meski demikian, ia menyebut Total masih berminat untuk membeli sebagian hak kelola di Blok Mahakam. Total dipersilakan melakukan negosiasi langsung dengan Pertamina, dengan cara bisnis yang wajar (business to business/ B to B).(*)