Kisah Inspiratif
Tempuh 11 Km, Pasutri Lansia Bersepeda Ontel Antar Anaknya yang Down Syndrom Pergi Sekolah
Pada sebuah jalan menurun dengan aspal mulus yang membelah bukit, melintas cepat seorang pria setengah baya mengemudi sepeda ontel.
“Kayu untilan (ikat) ditumpuk di depan. Belum tentu terjual sesasi (tiap bulan). Tambahan dari jual daun pisang dan daun pepaya, sesasi gangsal welas ewu (sebulan Rp 15.000), dikasih ke Desa Gunung Pentul,” kata Kamilah.
Mereka mengakui tidak bekerja lebih baik dari pada hari ini.
Keduanya hanya mengenyam pendidikan sampai SD, tanpa keterampilan memadai.
Kamilah pernah jadi kuli batu, Hernowo pernah jadi tukang cuci piring di warung makan. Setelah memiliki anak, Hernowo masih sulit mendapatkan pekerjaan yang cukup layak lantaran fungsi pendengarannya kurang baik. Orang harus bersuara sangat nyaring bila ingin komunikasi dengannya.
“Sebelum Wahyu sekolah, bapak kerja di warung asah-asah (mencuci piring). Upah Rp 20.000 sehari,” kata Kamilah.

Mereka tetap mensyukuri kehidupan ini. Soal makan, semua sudah disediakan alam.
Sayur dan buah, kelapa tua untuk santan, dan beberapa rempah tersedia di halaman rumah.
Pepaya, pohon pisang, dan singkong bisa jadi selingan.
Setidaknya mereka jadi bisa beli beras, telur, mi instan.
“Wahyu suka sekali endog (telur). Kami bisa ambil jantung pisang untuk bikin jangan (sayur),” katanya.
Semua dijalani di sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan kayu.
Baca: Jalan Cendana Samarinda Kembali Membara, Korban Sebut Api Membesar dari Pohon
Lantainya masih tanah, dan kayu penyangga rumah masih baru.
Tidak ada sofa empuk, tidak ada kipas angin dan televisi. Hanya ada penerangan, itupun minim.
Semua barang di dalam rumah merupakan harta turunan dari kakek buyut Hernowo.