Amalan Khusus Nisfu Sya'ban Apakah Sesuai dengan Sunnah? Ini Sikap Para Ulama
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan keutamaan nisfu sya'ban. Ada yang shahih, ada yang dhaif, bahkan ada yang palsu.
ومن قال : إنها ليلة النصف من شعبان -كما روي عن عكرمة-فقد أبعد النَّجْعَة فإن نص القرآن أنها في رمضان
Karena itu, siapa yang mengatakan, yang dimaksud malam pada ayat di atas adalah malam nisfu sya'ban – sebagaimana riwayat dari Ikrimah – maka itu pendapat yang terlalu jauh, karena nash Al-Qur'an dengan tegas bahwa malam itu terjadi di bulan Ramadhan. (Tafsir Ibn Katsir, 7/246).
Dengan demikian, pendapat yang kuat tentang malam yang berkah, yang disebutkan pada surat Ad-Dukhan di atas adalah lailatul qadar di bulan Ramadhan dan bukan malam nisfu sya'ban.
Karena itu, ayat dalam surat Ad-Dukhan di atas, tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan keutamaan malam nisfu sya'ban.
Hadis seputar nisfu sya'ban
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan keutamaan nisfu sya'ban. Ada yang shahih, ada yang dhaif, bahkan ada yang palsu.
Berikut beberapa hadis tentang nisfu sya'ban yang tenar di masyarakat;
Pertama,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
"Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berfirman, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia, dst…?’ (Allah berfirman tentang hal ini) sampai terbit fajar." (HR. Ibnu Majah, 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman, 3/378)
Keterangan:
Hadits di atas diriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Hadits dengan redaksi di atas adalah hadits maudhu’ (palsu), karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah statusnya muttaham bil kadzib (tertuduh berdusta), sebagaimana keterangan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib.
Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentang Ibnu Abi Sabrah, "Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.” [Lihat Silsilah Dha’ifah, no. 2132]
Kedua,