Waspadai, RKUHP, Ini Tiga Ancaman Versi ICW
Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mewaspadai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) malah akan berdampak melemahkan upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter, menyebut memasukkan tindak pidana korupsi dalam RKUHP justru merupakan langkah mundur dan ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi.
"Dalam hal pemberantasan korupsi, masuknya delik korupsi dalam RKUHP akan menimbulkan permasalahan serius," ujar Lalola Easter, di Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Permasalahan tersebut berangkat dari dimasukkannya delik-delik korupsi yang bersumber dari Undang-udang Tindak Pidana Korupsi, namun ada perubahan sanksi pidana yang signifikan.
"ICW mencatat setidaknya tiga ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi jika mencermati ketentuan delik korupsi yang diatur dalam RKUHP berdasarkan versi 2 Februari 2018," ujar Lalola Easter.
Pertama, sebut Lalola Easter, memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski pemerintah dan DPR kerap berdalih RKUHP tidak akan mengganggu kerja KPK, kenyataannya justru dapat sebaliknya.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan. Artinya KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP.
"Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan," jelasnya.
Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada kejaksaan dan kepolisian. Selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RKUHP.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
"Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di peradilan umum. Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, pengadilan umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor," paparnya.
Terakhir, katanya, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam RKUHP justru menguntungkan koruptor. Kondisi ini berbeda dengan UU Tipikor yang selama ini dinilai efektif menjerakan korupsi.
Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor.
Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada karena RKUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti.
"DPR dan pemerintah sebaiknya mengakomodir usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas kedalam RKUHP," pesannya. (tribunnetwork/fel)