Edisi Cetak Tribun Kaltim

Masih Banyak Sekolah Rusak di Samarinda, Dana CSR Bisa buat Bangun

masih masihnya banyaknya bangunan sekolah di Kota Samarinda dalam kondisi rusak mendapat perhatian Dewan Pendidikan Kaltim.

Penulis: tribunkaltim | Editor: Januar Alamijaya
Tribun Kaltim

TRIBUNKALTIM.CO ‑ Persoalan masih masihnya banyaknya bangunan sekolah di Kota Samarinda dalam kondisi rusak mendapat perhatian Dewan Pendidikan Kaltim. Seperti diberitakan sebelumnya, sedikitnya 200 bangunan sekolah negeri, tingkat SD dan SMP di Samarinda rusak.

Ketua Dewan Pendidikan Kaltim Hj Encik Widyani kepada Tribun, Senin (16/7) mengungkapkan, bahwa APBD Kabupaten/Kota memang tak bisa diharapkan untuk memperbaiki sekolah‑sekolah rusak. Apalagi, saat ini, pemerintah daerah masih gencar melakukan efisiensi dengan memangkas sejumlah anggaran, termasuk untuk anggaran pendidikan.

"Situasi (keuangan) kita memang sekarang sangat sulit," ujar Encik yang pernah duduk di Komisi IV DPRD Provinsi Kaltim ini.
Menurut Encik, yang bisa dilakukan jika memang tetap berharap pada APBD adalah menentukan skala prioritas. Sekolah‑sekolah yang tingkat kerusakannya cukup parah dan sudah mengganggu proses belajar mengajar harus mendapatkan anggaran perbaikan.

Baca: Mahasiswa yang Jadi Polantas Gadungan di Jakarta Raup Ratusan Ribu dari Hasil Pungli

Di lain sisi, kata dia, walau yang bisa ditangani tidak bisa seluruhnya, setidaknya pemerintah hadir untuk mengurangi beban yang dirasakan warga, khususnya anak didik "Mana yang paling parahlah diutamakan," ujarnya.

Encik juga menilai bahwa kebijakan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD sebenarnya bukanlah jaminan masalah sekolah rusak bisa teratasi. Pasalnya, anggaran minimal 20 persen untuk pendidikan tersebut juga mengakomodir gaji, insentif, dan lainnya. Dan masalahnya, anggaran untuk gaji, insentif dan lainnya ini juga cukup besar.

"Kalau termasuk gaji, memang minimal 20 persen itu masih kurang. Kalau 26 persen juga bisa kurang," ujarnya.

Solusi yang paling mungkin saat ini adalah memaksimalkan bantuan program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan‑perusahaan yang beroperasi di sekitar sekolah.

Encik sendiri sangat menyayangkan pembatalan Perda Kaltim tentang CSR oleh Menteri Dalam Negeri beberapa waktu lalu. Padahal dalam perda tersebut mengatur pengumpulan dana CSR dari perusahaan hingga distribusinya sudah ditata dengan baik.
"Jadi CSR‑nya itu satu pintu. Jadi diberikan kepada pengelola dan pengelola akan mendistribusikan," ujarnya.

Baca: Dinar Candy Masuk Pencarian Top Google, Gara-gara Videonya Rayakan Kemenangan Perancis

Kondisi saat ini, kata Encik, CSR yang diberikan perusahaan menjadi tidak terarah. Tujuan utama CSR, membantu masyarakat menjadi tidak maksimal. Hal‑hal yang sebenarnya sangat ditunggu‑tunggu masyarakat, di antaranya perbaikan sekolah‑sekolah rusak menjadi tidak tersentuh. "Perusahaan itu jadi bergerak sendiri‑sendiri," ujarnya.

Dengan tidak adanya perda ini, pintu untuk meminta bantuan kepada perusahaan menurutnya belum sepenuhnya tertutup. Perusahaan yang telah memperoleh banyak keuntungan, tetap memiliki tanggung jawab memajukan wilayah kerjanya, khususnya dalam bidang pendidikan.

"Kan mereka juga dapat untung. Jadi sisihkan dari keuntungan itu untuk pembangunan di wilayah kerja mereka," ujarnya.

Tidak Maksimal

Hal senada disampaikan Datu Hairil Usman, anggota Komisi II DPRD Samarinda yang ikut menyoroti seputar tidak maksimalnya dana CSR yang ada di Kota Samarinda. Dia mencontohkan, bantuan lampu berbentuk menara di Taman Samarendah.

Menurut informasi yang diterima, anggaran CSR untuk pembangunan lampu mencapai lebih dari Rp 3 miliar. Alangkah baiknya, kata dia, anggaran sebesar itu dialokasikan untuk membantu pembangunan sekolah‑sekolah rusak yang ada di Samarinda.

Bantuan lampu ini menurutnya tidak salah. Hanya saja ke depannya, Pemkot Samarinda diharapkan bisa mengarahkan bantuan‑bantuan CSR kepada hal‑hal yang memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Baca: CPNS 2018 Segera Dibuka, Ini Lokasi Tes Peserta, Pastikan juga NIK Terdaftar di Disdukcapil

"Kalau CSR itu kan memang untuk membantu masyarakat. Misalnya itu lampu anggarannya Rp 3 miliar. Kalau untuk membantu sekolah, sudah bisa berapa sekolah dengan anggaran sebesar itu," ujar Datu Hairil Usman.

Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Perubahan RPJMD Kota Samarinda 2016‑2021 yang digelar di Aula Bank Kaltimtara belum lama ini, terungkap masih ada sekitar 200 sekolah negeri, tingkat SD dan SMP di Kota Samarinda dalam kondisi rusak. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Samarinda, ada 170 bangunan SD dan 45 SMP di Samarinda.

Kepala Seksi Sarana dan Prasarana SD Dinas Pendidikan Kota Samarinda, Dwi Purnomo kepada Tribun menyampaikan ada sekitar 20 persen sekolah (SD dan SMP) di Samarinda yang sudah memenuhi standar pelayanan minimal.

Sekolah dengan standar pelayanan minimal juumlah kelas sudah sesuai rombongan belajar (rombel), ada perpustakaan, kantin, sanitasi terjaga dengan baik, ada ruang guru, ruang UKS, dan fasilitas lainnya.

Selebihnya, atau sekitar 200 sekolah masih masuk kategori rusak. Namun, tidak semuanya rusak berat dan ada rumus baku yang digunakan untuk mengukur tingkat kerusakan sekolah. Kerusakan dibawah 35 persen tergolong rusak ringan, 35 persen ‑45 persen masuk rusak sedang, dan 45 persen ‑65 persen masuk kategori rusak berat, dan 65 persen ke atas harus direhab total.

Baca: 3 Kutukan Piala Dunia yang Belum Berakhir Sampai Sekarang, Spanyol dan Meksiko Paling Kena Dampaknya

"Kita analisa tingkat kerusakan. Itu ada form‑nya dari pondasi sampai rangka atap. Perhitungannya per kelas. Karena bantuannya per kelas," ujarnya.

Khusus untuk rusak ringan, perbaikannya bisa mengunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima sekolah dan dan tidak bisa ditangani Dinas Pendidikan.

"Makanya kalau ada rusak ringan nggak bisa kita kerjakan. Karena menyalahi aturan," ujarnya.

Menurut Dwi Purnomo perbaikan sekolah‑sekolah rusak di Samarinda tak bisa mengandalkan APBD Kota Samarinda. Disdik Kota Samarinda masih tetap mengandalkan bantuan dana alokasi khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. Sayangnya, permohonan DAK ini juga masih mengalami masalah.

Saat ini, pihak sekolah sering lebih fokus mengejar akreditasi ketimbang memerhatikan kebutuhan riil sekolah. Demi nilai akreditasi baik, sejumlah ruangan yang sebetulnya tidak memenuhi standar, diubah menjadi ruang UKS, ruang guru dan lainnya. (dep)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved