Cerita Miris Buruh Tani dengan 2 Anak Cacat Tinggal di Kandang Kerbau di Tengah Hutan
Hal yang membuat warga sekitar prihatin, mereka tinggal bersama kerbau di tengah hutan.
"Dulu saya pernah sekolah tapi sampai kelas satu," katanya dengan suara lirih.
Sementara itu, Dasirin menerangkan, terpaksa mengajak anak dan istrinya tinggal jauh dari permukiman karena tak punya tempat tinggal.
"Mau bagaimana lagi kami tidak punya apa-apa, untuk menyambung hidup saja kami harus banting tulang naik turun bukit menjadi buruh tani, dan merawat ternak berupa kerbau milik orang," imbuhnya.
Dasirin sendiri sudah satu tahun tinggal di puncak Bukit Mengger, dan keluarganya ia ajak kurang lebih empat bulan lalu.
"Kedua anak saya tak pernah mengeluh, mereka tahu kondisi keluarga. Walaupun demikian kadang saya sangat sedih melihat kondisi kedua anak saya," tambahnya.
Mata lelaki paruh baya itu berkaca-kaca kala menceritakan kehidupan keluarganya yang tinggal menyendiri di atas bukit.
"Ketika malam dan istri saya sering menangis melihat kondisi anak-anak, karena kedua anak kami punya keterbatasan ditambah ekonomi kami seperti ini," katanya.
"Kadang Wiwit dan Vivi mengatakan kepada saya ingin jadi orang pintar dan ingin belajar terus menerus. Tapi apa daya kami keadaan ini memaksa kami hidup di kondisi seperti ini," sambung Dasirin.
Guna mencukupi kebutuhan sehari-hari, tak jarang Dasirin memanfaatkan buah-buahan dan umbi yang ada di sekitar hutan.
"Adanya umbi ya kami makan, beruntung kalau ada buah. Hanya itu yang bisa kami berikan ke anak-anak," jelas Dasirin.
"Beberapa waktu lalu saya juga salah memakan umbi hingga keracunan, kadang binatang hutan juga masuk ke gubuk kami saat anak-anak tinggal sendiri di gubuk. Kami tak bisa berharap apa-apa dan hanya bisa bertahan," timpalnya. (Tribun Jateng/Budi Susanto)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kisah Pilu Keluarga Miskin Tinggal di Kandang Kerbau di Hutan Pekalongan, Dua Anaknya Cacat