Hunian Cuma-cuma untuk Kaum Papa; Dari Kutai Timur ke Kalimantan Timur
Dalam tataran teknis, Pemkab Kutim telah menentukan jumlah rumah yang harus dibangun masing-masing perusahaan
Mengapa memilih TNI sebagai mitra? “Mereka punya kemampuan, apalagi Zeni Tempur yang punya keahlian di bidang konstruksi. Memang kerja samanya bagus. Dengan kepolisian juga bagus. Ada penebangan kayu untuk kepentingan pembangunan tidak jadi masalah, selama tidak dibawa keluar dan diperjualbelikan. Tentara mitra yang bagus dalam membangun RLH,” ujar Isran Noor.
Lantas, mengapa dunia usaha menaati kebijakan tersebut? “Ini bukan soal izin. Kalau izin belum keluar, bisa saja mereka terpaksa. Justru izin sudah dikeluarkan, bahkan mereka sudah beroperasi. Kami tidak minta uangnya, hanya menentukan tipenya seperti ini, dan mereka bersedia. Perusahaan tidak pernah menolak. Ada juga yang tidak bersedia membangun sendiri, namun menyetorkan uang untuk dibangunkan oleh Pemkab dan TNI. Uangnya tidak mungkin disalahgunakan, karena program itu terukur,” ujar Isran.
Ia optimistis program PRLH akan mampu menekan angka kemiskinan di Kaltim. “Kalau rumahnya tidak bagus, bagaimana air dan listriknya nempel. Bagi saya, rumah dulu, itu yang paling penting. Komponen rumah mengurai kemiskinan mencapai 60% lebih. Barulah pendapatan, kesehatan, dan lainnya. Kalau punya rumah yang layak, 60% kemiskinannya sudah terpotong,” ujar Isran Noor.
Ia mengatakan akan melakukan pendalaman dan evaluasi terhadap kebijakan PRLH yang telah diberlakukan di Kutim, sebelum memberlakukannya pada skala yang lebih luas di Provinsi Kaltim. Terutama tentang pembedaan pembiayaan PRLH di daerah perkotaan dengan kawasan pedalaman. Juga pendataan calon penerima manfaat secara detail dan akurat. Yang jelas, kata Isran, berdasarkan analisis kebutuhan, program tersebut masih diperlukan guna mempercepat penanggulangan kemiskinan di Kaltim.
Perdebatan Status CSR Wajib atau Sukarela
Secara teoritik, perdebatan tentang status CSR sebagai kewajiban (mandatory) atau kesukarelaan (voluntary) bagi dunia usaha masih terus berlangsung hingga saat ini (Dahlsrud 2008; Waagstein 2011). Mayoritas kalangan tetap memandang CSR lebih sebagai business ethic, bukan sebagai business obligation. Sedangkan sebagian yang lain cenderung menekankan statusnya sebagai kewajiban korporasi. Perbedaan pandangan tentang status CSR ini berlanjut pada beragamnya pola dan prinsip penerapan CSR di berbagai negara.
Perdebatan juga terjadi apakah CSR harus diatur dalam regulasi formal. Ketika negara memutuskan pengaturan secara formal, juga kembali terbentuk dua poros, yaitu hard law dan soft law yang berujung beragamnya status hukum CSR, yakni lunak lunak, keras lunak, lunak keras, dan keras keras (Cominetti and Selle, 2016). Ada pula negara yang mengintegrasikan antara soft law dan hard law, hingga berujung kewajiban yang dimonitor ketat oleh pemerintah, yakni India yang merevisi Companies Act (CA) (Gatti, et al, 2018). Selain itu, dikemukakan pula konsep CSR yang berpola implisit dan eksplisit (Matten and Moon, 2008).
Perdebatan panjang tentang status mandatory dan voluntary juga ditengarai menjadi pangkal mandegnya pembahasan RUU CSR (Tanggung Jawab Sosial) yang merupakan inisiatif DPR RI, hingga berujung pencoretan dari Prolegnas 2017 dan revisi tajuk regulasi menjadi RUU Praktik Pekerjaan Sosial. Pada sisi lain, diketahui berbagai daerah telah menetapkan regulasi tentang CSR, baik berupa Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah.
Di level daerah, sebenarnya Pemkab Kutai Timur telah memiliki institusi yang menjadi percontohan regional dalam pengelolaan CSR, yakni Forum Multistakeholder CSR, yang beranggotakan lintas elemen (pemerintah, swasta, dan civil society). Forum yang dibetuk sejak tahun 2006 ini ini menjalankan fungsi sinkronisasi CSR agar tidak tumpang tindih, sekaligus mampu menambal kekurangan yang tak mampu dijangkau APBD. Namun pada tahun 2013, Isran secara khusus memberlakukan kebijakan penyeragaman CSR dalam bentuk PRLH bagi dunia usaha.
Observasi langsung penulis sekaligus dokumentasi pemberitaan, beberapa pejabat daerah kerap menyuarakan bilamana perusahaan tidak mengikuti kebijakan PRLH, perusahaan dianggap tidak kooperatif terhadap kebijakan Pemda, sehingga akan berdampak pada keberlangsungan usaha mereka. Dan bila kewajban membangun RLH tidak dilaksanakan di tahun berjalan, maka akan diakumulasikan di tahun selanjutnya. Namun belum ada sanksi formal yang diatur dalam regulasi.
Selain bersumber dari CSR, pendanaan program PRLH didanai APBD Kutai Timur melalui skema Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan dan dana zakat. Namun porsi terbesar adalah dari dana CSR. Peresmian RLH yang didanai APBD dilaksanakan di Kerayaan Bual-bual (Februari 2013) dan di Jalan APT Pranoto (oleh Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, Oktober 2013).
Informasi awal yang dihimpun penulis melalui studi pendahuluan, hingga bulan Mei 2015, telah terealisasi pembangunan RLH sebanyak 484 unit dengan total dana Rp 25,019 miliar. (Forum MSH CSR Kutim, 2016).
Gubernur Kaltim, Isran Noor, mengakui bahwa tidak ada ketentuan sanksi formal dalam Perbup Nomor 21 tahun 2013 yang menjadi payung hukum PRLH di Kutim. Namun ia mengapresiasi kontribusi dunia usaha guna berkolaborasi dalam percepatan penanggulangan kemiskinan di daerah.
“Mereka tidak keberatan. Setiap orang yang punya izin kebun 5.000 belum berproduksi, wajib 1 unit rumah per tahun. Kalau sudah berproduksi, 2 unit per tahun. Bagi kontraktor pemerintah, setiap nilai kontrak Rp 5 miliar harus membangun 1 unit. Kelipatan Rp 5 miliar, bangun 1 unit. Bagus programnya, jalan, tidak ada satupun yang protes,” ujarnya.
Advisor Forum MSH CSR, Arjohansyah, mengatakan program penyeragaman CSR melalui PRLH diputuskan oleh Isran Noor pada tahun 2013 setelah mendalami analisis kebutuhan riil masyarakat. Bahkan Isran langsung yang menentukan “jatah membangun” bagi setiap perusahaan, berdasarkan data awal yang dipersiapkan Tim Koordinasi Pelaksana PRLH dan SKPD teknis.