Hasil Riset Anak kedua Susah Diatur? Pola Asuh Jadi Sorotan, Begini Faktanya
Ada sebuah riset menunjukkan perbedaan sifat anak kedua yang perlu Ibu ketahui. Anak kedua digambarkan jadi sosok yang lebih susah diatur
TRIBUNKALTIM.CO - Punya dua anak atau lebih memang susah susah gampang.
Selain repot mengurus si kakak ataupun si adik, karakteristik kakak dan adik yang berbeda juga membuat Ibu jadi bingung.
Ternyata, ada sebuah riset menunjukkan perbedaan sifat anak kedua yang perlu Ibu ketahui.
Menurut riset ini, anak kedua digambarkan jadi sosok yang lebih susah diatur. Apakah hal ini benar terjadi?
Sebuah laporan yang dibuat oleh Joseph Doyle, seorang ekonom MIT menunjukkan anak kedua terutama anak laki-laki cenderung lebih sering memberontak dibanding sang kakak.
Hasil riset ini dikumpulkan dari ribuan pasang saudara di Amerika dan Eropa.
Menurut riset ini, salah satu alasan mengapa kondisi ini bisa terjadi adalah pola asuh.
Menurut Joseph Doyle, pola asuh pada anak pertama yang lebih diperhatikan misalnya membuat sang adik harus memperebutkan perhatian.
Percaya tidak percaya, urutan lahir seseorang ternyata berpengaruh terhadap kepribadiannya.
Alfred Adler, seorang psikoterapis sekaligus pendiri The School of Individual Psychology telah mengungkapkan teori kepribadian anak berdasarkan urutan lahir sejak tahun 1920-an.
Menurut Adler, anak kedua memang biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi karena ingin mengungguli si sulung yang cenderung dianggap sebagai contoh oleh orangtuanya. Ambisius menjadi sikap yang dimiliki si bungsu.
• Gading Marten Menangis Saat Bawakan Lagu Pergilah Kasih, Begini Sikap Sang Ayah Roy Marten
• Hasil Kualifikasi Piala Eropa 2020 Montenegro vs Inggris Skor Akhir 1-5, Ross Barkley Gemilang
Sebuah studi yang dilakukan di Stanford University menunjukkan bahwa anak kedua paling sering iri.
Namun, ia dianggap sosok yang berani dan paling banyak bicara di antara saudaranya.
Mereka lebih gigih dalam mencapai cita-cita karena membuktikan dirinya bisa menjadi anak yang sukses di kemudian hari.
Jika tidak dihadapi dengan baik, bukan tidak mungkin sikap gigih dan ambisius anak kedua malah mengubahnya jadi anak yang tak bisa diatur.
Tapi tak selamanya anak kedua atau si bungsu tidak bisa diatur.
Semua itu tergantung bagaimana pola asuh yang Ibu terapkan kepada anak.
Ibu perlu paham apa yang menjadi kebutuhan si kecil.
Kepribadian anak yang berbeda-beda juga membuat Ibu perlu mencari akal dalam melakukan pendekatan.
Misalnya pada anak yang terlalu sensitif, ada baiknya Ibu tak terlalu memberinya tekanan agar si kecil tidak merasa stres dan malah berujung pada pemberontakan.
Main Games
Psikolog Anak dan Keluarga, Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, memberikan saran bagi orangtua yang memiliki anak penggemar games Player Unknown's Battlegrounds (PUBG).
Perempuan yang biasa disapa Nina ini mengatakan, orangtua perlu meningkatkan hubungan emosional dengan anak.
"Tingkatkan kualitas hubungan orangtua dan anak, usahakan lebih banyak mengobrol bersama dan tertawa bersama," ujar Nina saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (25/3/2019).
Nina menilai orangtua harus bisa memberikan alternatif kegiatan lain dan memastikan lingkungan pertemanan anak seperti apa.
"Berikan alternatif-alternatif kegiatan buat anak dan remaja agar tak hanya bermain game online saja. Pastikan anak memiliki teman-teman yang saling memberikan pengaruh positif," ucapnya.
• Link Pendaftaran UTBK Tahap II Sudah Dibuka, Cek di Sini Persyaratan dan Tahapannya
• Siapa yang Ingin Makan Siang dengan Valentino Rossi? The Doctor Buka Kesempatan Ini untuk Penggemar
Jika memang anak bermain, Nina mengatakan, ada baiknya orangtua mengawasi, memberikan batasan durasi permainan.
"Batasi durasi bermain, saat ini banyak orangtua tak berdaya kalau anaknya terus-terusan memegang handphone di depan laptop game," kata Nina.
"Pembatasan bermain boleh aja dilakukan. Tapi perlu disadari bahwa kalau hanya dibatasi namun tidak ada alternatif lain, maka anak atau remaja hanya akan berpindah ke masalah lain," sambung dia.
Games PUBG menjadi perbincangan hangat dimasyarakat usai kejadian penembakan brutal di dua masjid di Selandia Baru beberapa waktu lalu.
PUBG bahkan dinilai oleh MUI dikhawatirkan berdampak pada perilaku kekerasan dan teroris.
Untuk itu, MUI akan melalukan kajian mendalam dan menyeluruh sebelum mengeluarkan fatwa tertentu terkait permainan tembak menembak itu.
Anak Cerdas
PT Melintas Cakrawala Indonesia memperkenalkan inovasi terbaru AJT CogTest, yaitu tes kognitif yang sudah dinormakan untuk anak Indonesia atau terstandardisasi sesuai dengan karakteristik bahasa serta budaya Indonesia.
Hasil AJT CogTest membantu orangtua dan guru lebih memahami kemampuan berpikir anak dalam pembelajaran di sekolah.
AJT CogTest merupakan tes kognitif pertama yang dikembangkan berdasarkan norma Indonesia dengan proses pengembangan yang sistematis melibatkan lebih dari 250 psikolog Indonesia dan hampir 5.000 anak Indonesia sehingga menghasilkan produk tes yang berkelas dunia.
Landasan teori psikologi yang dipakai merupakan teori paling mutakhir dan komprehensif di dunia saat ini.
AJT CogTest mengukur delapan bidang kemampuan kognitif anak usia 5 sampai dengan 18 tahun sehingga kekuatan serta kelemahan kemampuan berpikir anak dalam belajar dapat teridentifikasi secara lengkap dan jelas.
Sering kita dengar orang tua dan guru bercerita tentang anak-anak dengan hasil belajarnya tidak seperti yang diharapkan.
• Nama Persib Bandung Disebut oleh Pemain Timnas Australia, Sinyal Bakal Bergabung?
• Beredar Kabar Bendera HTI Berkibar di Kampanye Prabowo Subianto, Berikut Bantahan BPN
Beberapa mengeluh mengapa anaknya tidak bisa sepintar anak-anak lain yang mendapat prestasi cemerlang di sekolah.
Satu pemahaman yang perlu dimiliki oleh para orang tua dan guru adalah bahwa setiap anak terlahir dengan profil kognitif dan potensi yang unik.
Peranan orang tua dan guru sangat penting dalam mengidentifikasi atau mengenali juga mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak, agar mereka dapat tumbuh menjadi orang yang percaya diri, optimis, berhasil, serta bermanfaat untuk diri sendiri dan lingkungan.
“Kami memiliki keyakinan bahwa setiap anak Indonesia itu cerdas, kewajiban kitalah untuk mengenali kecerdasan mereka. MCI memberikan solusi tes kognitif anak yang paling sesuai untuk anak Indonesia," kata Ari Kunwidodo, Chief Executive Officer PT MCI di Jakarta, Jumat (22/3/2019) lalu.
Dikatakannya, AJT CogTest menawarkan pengukuran kekuatan dan kelemahan kognitif yang akurat, andal, tervalidasi, dan komprehensif.
"Memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana anak memperoleh pengetahuan lalu memproses pengetahuan yang dimiliki,” katanya.
Sebagian anak ada yang mengalami kesulitan belajar, susah untuk menerima materi pelajaran di sekolah.
Sebagai orang tua dan guru perlu menghindari langsung mengambil kesimpulan anak itu malas, atau lebih buruk lagi menyebut bodoh.
Anak yang mengalami kesulitan belajar, bukan berarti tidak cerdas dan tidak memiliki kemampuan untuk menerima pelajaran yang diberikan.
Kesulitan belajar yang dialami anak kemungkinan karena dipengaruhi oleh kemampuan kognitif atau otak.
Di dalam proses belajar terdapat kemampuan kognitif yang bertugas menerima, mengolah, menganalisis, atau menyimpan informasi, jika kemampuan kognitiftersebut diukur sehingga dapat teridentifikasi kemampuan kognitif mana yang memperlambat anak dalam proses belajarnya.
Diana Lie, M. Psi., Psikolog di MCI mengatakan, sebagai orangtua dan guru, sudah menjadi tugas kita mengetahui profil kognitif anak agar dapat membantu dan memahami bagaimana anak dapat belajar sebaik mungkin, dan bisa mengarahkan potensi-potensi yang dimiliki menjadi lebih maksimal seiring perkembangan serta pertumbuhan anak.
Kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional atau akal, yang terdiri dari beberapa tahapan yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi.
Hasil laporan AJT CogTest memungkinkan orang tua dan guru untuk mengarahkan anak dengan informasi lebih lengkap, serta membantu memahami pembelajaran anak mereka.
Selain itu dapat juga membantu dalam melakukan penyesuaian yang tepat terhadap pendekatan pengajaran mereka baik di sekolah maupun di rumah. (tribunnews/nakita.id/Gisela Niken)
Artikel ini sudah tayang di nakita.id dengan judul Anak Kedua Lebih Susah Diatur Dibanding Anak Pertama, Benarkah?.