Pemiu 2019
Mencuat Wacana Pilpres Ulang, Begini Kata 3 Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD: Terserah Asal
wacana Pilpres ulang muncul terkait adanya penafsiran terhadap Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurut Mahfud MD, silakan saja orang berlomentar terkait Pilpres ulang.
Tetapi, kata Mahfud MD, semuanya harus tetap mengacu pada mekanisme yang sudah diatur dalam konstitusi negara.

Simak komentar lengkap Mahfud MD berikut ini.
@mohmahfudmd Retweeted arif firmansyah: Terserah saja ada pendapat begitu. Namanya juga pendapat. Yang penting hrs melalui mekanisme konstitusional.
Sehari sebelumnya, Mahfud MD juga telah menulis cuitan di akun twitternya.
Menurut Mahfud, pemenang Pilpres adalah mereka yang mendapatkan suara 50 persen plus satu dan minimal 20 persen di lebih dari setengah jumlah provinsi.
"Artinya mendapat suara mininal 20% di 18 provinsi. Kalau kurang dari itu, barulah pemilu diulang," ujar Mahfud MD.
Mahfud MD @mohmahfudmd 21h: Bunyi UUD dan UU yg sekarang sama: Pemenang Pilpres adl yg mendapat suara 50% + 1 dan minimal 20% di lebih dari separo jumlah provinsi (artinya: mendapat suara mininal 20% di 18 provinsi). Kalau kurang dari itu, barulah pemilu diulang.
Mahfud MD adalah pakar hukum tata negara dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013.
Sementara itu, pakar hukum tata negara lainnya, Refly Harun, melalui akun twitternya pun menyoroti soal cara menentukan pemenang Pilpres 2019.
Menurut Refly Harun, jika jumlah peserta Pilpres hanya dua pasang, maka tidak dibutuhkan lagi syarat persentase dan persebaran suara.

"Siapa yang mendapatkan suara yang terbanyak, dia yang menjadi calon terpilih. Putusan MK 3 Juli 2014," ujar Refly Harun.
Simak status lengkap Refly Harun berikut ini.
Refly Harun @ReflyHZ Apr 20: Kalau jumlah pasangannya cuma dua, tidak dibutuhkan syarat persentase dan persebaran suara. Siapa yang mendapatkan suara yang terbanyak, dia yang menjadi calon terpilih. Putusan MK 3 Juli 2014.
Dasar Hukum Pilpres Langsung
Dasar Hukum Pilpres Langsung diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen ketiga, terutama Pasal 6A.