Kaltim Fair 2019

Keresahan Pengerajin Kampung Tenun Samarinda, Tak Ada Generasi Muda yang Mau Belajar Menenun

Penenun asal Kampung Tenun, Kota Samarinda menunjukkan cara menenun pada ajang Kaltim Fair 2019. Penenun resah, generasi muda tak berminat menenun

Penulis: Christoper Desmawangga | Editor: Rafan Arif Dwinanto
tribunkaltim.co/Nevrianto HP
MEMBUAT SARUNG TENUN-Pengrajun stan Dekranasda Kota Samarinda membuat sarung tenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin(ATBM) pada Kaltim Fair di Convention Hall Sempaja jalan Wahid Hasyim kota Samarinda Kalimantan Timur, Kamis( 25/4/2019) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Kain tenun saat ini sudah sangat lekat dengan Kota Samarinda.

Bahkan, di kawasan Samarinda Seberang, tepatnya di jalan P Bendahara, Gang Pertenunan dijadikan sebagai Kampung Tenun.

Sejumlah kain tenun pun turut dipamerkan pada Kaltim Fair 2019 di Convention Hall, Sempaja, salah satunya di stand Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Samarinda.

Sejumlah kain tenun dengan berbagai motif ditampilkan, bahkan alat membuat kain tenun juga diikutsertakan, termasuk pengerajinnya.

Tak jarang, pengerajin terlihat menenun dengan menggunakan alat tenun tradisional bernama gedokan.

Marhumi (58), salah satu pengrajin yang telah menenun sejak tahun 1979 itu tampak masih semangat menceritakan semua yang diketahuinya mengenai tenun.

Nenek yang memiliki 13 cucu itu mulai menceritakan tentang sejarah tenun masuk ke  Kota Samarinda.

Tenun masuk ke Samarinda berawal dari pendatang dari suku Bugis, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dipimpin oleh La Mohan Daeng Mangkona, sekitar tahun 1668.

MEMBUAT SARUNG TENUN-Pengrajun stan Dekranasda Kota Samarinda membuat sarung tenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin(ATBM) pada Kaltim Fair di Convention Hall Sempaja jalan Wahid Hasyim kota Samarinda Kalimantan Timur, Kamis( 25/4/2019)
MEMBUAT SARUNG TENUN-Pengrajun stan Dekranasda Kota Samarinda membuat sarung tenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin(ATBM) pada Kaltim Fair di Convention Hall Sempaja jalan Wahid Hasyim kota Samarinda Kalimantan Timur, Kamis( 25/4/2019) (tribunkaltim.co/Nevrianto HP)

Pendatang dari suku Bugis itu bermukim di kawasan Tanah Rendah yang sekarang bernama Samarinda Seberang.

"Awalnya memang dari Suku Bugis, saya sendiri berasal dari Sengkang (Sulsel)," ucapnya kepada Tribunkaltim.co, Minggu (28/4/2019).

Dalam membuat kain tenun, dirinya dan pengerajin lainnya menggunakan dua alat yakni gedokan dan alat tenun bukan mesin (ATBM).

Masing-masing alat memiliki tingkat kesulitan yang berbeda.

Membuat kain tenun dengan menggunakan gedokan dapat memakan waktu hingga 15 hari, sedangkan dengan ATBM dapat memakan waktu sekitar lima hari.

"Gedokan lebih rumit dan susah dibandingkan ATBM, makanya lebih lama juga menyelesaikam satu kain tenun dengan gedokan," ungkapnya.

Lama membuat kain tenun juga dipengaruhi oleh motif yang dibuat.

Kain tenun motif Sarung Samarinda sendiri terdapat sekitar 20 motif, belum ditambah dengan motif lainnya, seperti motif perpaduan motif dayak.

Sedangkan benang yang digunakan yakni benang sutra yang berasal dari China, dengan harga Rp 4,2 juta per 5 Kg, dan benang Nomor 2 asal Surabaya seharga Rp 1.250.000 per 5 Kg.

Sebelum mulai menenun, benang-benang tersebut terlebih dahulu diolah agat kuat.

Dikutip dari Majalah Syejati edisi khusus Dekranasda, benang terlebih dahulu direndam selama 3x24 jam di air.

Lalu benang dimasak di air mendidih yang sudah dicampur dengan pewarna selama 2 jam.

Setelah itu benang dicuci sampai bersih, lalu diberi kanji.

Setelah itu diperas, lalu dijemur sampai kering, dan benang siap dipintal menjadi benang tenun.

Benang yang telah dipintal, selanjutnya dilingkarkan dan dimasukan satu per satu ke alat yang bernama are dan sisir.

Pemasangan benang ini dapat memakan waktu sekitar 2 jam.

Setelah itu proses menenun dapat dilakukan.

Lanjut Marhumi menjelaskan, saat ini bisa dihitung dengan jari pengrajin yang dapat menenun dengan menggunakan gedokan dan ATBM.

Pasalnya tidak ada lagi generasi muda yang mau belajar menenun.

Bukan tanpa alasan generasi muda enggan untuk meneruskan maupun melestarikan tenun di Kota Tepian.

Selain susah membuat kain tenun, penjualan kain tenun juga tidak semudah dengan barang pada umumnya.

"Sekarang yang bisa pakai gedokan ini sekitar 5 orang saja, sudah tidak banyak, itu pun sudah tua-tua semua.

Anak-anak tidak mau belajar, karena memang susah penjualannya, tidak bisa ada setiap hari orang membeli," ucapnya.

"Kain tenun ini memang susah dibuat, lalu pemasarannya juga susah, kalau lancar saja mungkin mereka mau," sambungnya.

Namun, dirinya siap untuk mengajarkan generasi muda yang mau mempelajari penenunan.

Bahkan, warga binaan di Lapas Klas II A Sudirman merupakan anak didiknya dalam penenunan.

"Bisa datang ke rumah saya, silahkan saja jika ada yang mau belajar.

Di Lapas sekarang sudah ada yang pintar," ucap wanita yang memiliki 10 anak itu.

Harga kain tenun dengan panjang 4 meter dibanderol seharga Rp 750 ribu - Rp 800 ribu dengan menggunakan gedokan.

Sedangkan dengan menggunakan ATBM dibaderol seharga Rp 450 ribu - Rp 650 ribu.

Guna memasarkan dan mengenalkan kain tenun ke masyarakat luas, kain tenun juga dipasarkan ke hingga luar negeri, yakni ke Malaysia. (*)

Baca Juga : 

Serap Aspirasi, Zuhdi Yahya Kunjungi Industri Kampung Tenun hingga Komunitas Futsal di Samarinda

Pesona Kalimantan dalam Indonesia Fashion Week 2019, dari Sarung Samarinda hingga Kain Sasirangan

Isran Noor Kunjungi Kampung Tenun, Ini Pesen Penenun Tua jika Isran Jadi Gubernur

Ini yang Dilakukan Pemerintah agar Kampung Tenun jadi Objek Wisata

Perajin tak Punya Penerus, Kampung Tenun pun Mulai Kehilangan Pamor

Likes dan Follow Fanspage Facebook

Follow Twitter

Follow Instagram

Subscribe official YouTube Channel

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved