Ramadhan 2019

Malam Lailatul Qadar Jatuh Tanggal Berapa? Ini Jawaban Prof Quraish Shihab Melalui Tafsir Al Quran

Prof Dr M Quraish Shihab MA dalam bukunya WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan pajang lebar soal Lailatul Qadar.

Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Doan Pardede
Capture YoyuTube metrotvnews
FOTO M Quraish Shihab - Malam Lailatul Qadar Jatuh Tanggal Berapa? Ini Jawaban Prof Quraish Shihab Melalui Tafsir Al Quran. 

Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan.

Bahkan Rasululllah SAW menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.

Memang turunnya Al Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar atau Lailatul Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir.

Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailatul Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?

Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian.

Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak.

Di sisi lain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang
tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya.

Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu.

Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang
tertentu saja.

Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap orang di sana mendambakannya.

Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailatul Qadar.

Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama 20 hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat
kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul SAW menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang.

Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar
kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.

(Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi berikut:

Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk.

Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata
'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.

Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat.

Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa.

Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid.

Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan iman.

Itu sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.

Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara lain
adalah melakukan i'tikaf.

Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi SAW selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa.

Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:

Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami
dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).

Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha.

Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya.

Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar
hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi SAW.

Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut:

Tanda kehadiran Lailatul Qadar adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:

Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula
panas ...

Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan.

Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita. (*)

BACA JUGA:

Tito Karnavian, Luhut, Wiranto, hingga Adian Napitupulu jadi Target Ancaman Penculikan & Pembunuhan

SEJARAH HARI INI: 22 Tahun Lalu Ratusan Orang Meninggal akibat Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin

Di Balik Kerusuhan 22 Mei, Reporter Cindy Permadi Mendadak Viral di Sosial Media, Begini Faktanya

Jubir MK: Gugatan Sulit Diterima jika Tuduhan Kecurangan hanya Berupa Klaim tanpa Alat Bukti

Musibah Kebakaran Kembali Terjadi di Kota Samarinda, Tiga Relawan Tersengat Listrik

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved