Mahalnya Mengatasi Banjir di Samarinda; Ini Besaran Anggaran yang Diperlukan

ari studi yang mereka lakukan sejak 2016, dibutuhkan Rp80 miliar untuk mengeruk seluruh sedimentasi agar fungsi bendungan kembali normal.

TRIBUN KALTIM / NALENDRO PRIAMBODO
Sedimentasi membentuk hamparan padang eceng gondok di Bendungan Benanga, Samarinda. Sedimentasi ini menyebabkan penurunan daya tampung air dari awalnya 1,4 juta liter kubik hanya tersisa 500 ribu liter kubik saja. Penurunan ini menyebabkan air tak mampu tertahan dan langsung keluar ke permukiman warga. Foto diambil Sabtu (8/6/2019). 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, selaku pengelola aset Bendungan Benanga, berencana mengeruk sedimentasi di dasar bendungan.

Sedimentasi itu, membuat kapasitas daya tampung bendungan menurun drastis dari 1,4 juta liter kubik menjadi hanya sekitar 500 ribu liter kubik.

Hal ini memicu air hujan tak bisa ditampung maksimal dan langsung meluncur ke permukiman.

Dari studi yang mereka lakukan sejak 2016, dibutuhkan Rp80 miliar untuk mengeruk seluruh sedimentasi agar fungsi bendungan kembali normal.

Dana itu, dijelaskan Kepala Seksi Operasional dan Pemeliharaan, Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, Arman Effendi, bisa bersumber dari APBN dan hibah.

"Tahun depan, infonya ada Rp25-26 miliar dari APBN dan hibah. Kita lihat, mana yang bergerak duluan," kata Arman, Sabtu (8/6/2019).

Dengan perkiraan dana segitu, setidaknya, bisa meningkatkan daya tampung yang kini tersisa 30 persen saja.

Walaupun belum mendekati ideal, setidaknya penambahan kapasitas daya tampung mampu menahan air hujan dan limpasan air tanah agar tidak langsung meluncur ke permukiman warga di hulu aliran bendungan.

"Kita berupaya kembalikan fungsi air di bendungan biar berhenti sesaat sebelum dialirkan. Intinya, bendungan Lempake (Benanga) ini berfungsi sebagai pengendali banjir. Namun tidak maksimal karena pengaruh banyaknya sedimentasi," tutur Arman.

Sedimentasi yang masuk di Bendungan Benanga diduga keras muncul semenjak pembukaan lahan di sekitar areal penyangga bendungan.

Di sekitar kawasan itu, banyak dibuka kawasan perumahan dan tambang batu bara.

Hal serupa juga terjadi di aliran sungai kecil di Samarinda Utara dan Sungai Karang Mumus yang aliran airnya bermuara di Bendungan Benanga.

Karena itu, ia mengajak semua pihak menjaga sungai dan menghijaukan daerah agar air permukaan bisa diserap alami.

Bahkan, dalam perencanaan tahun depan, jajarannya berencana menambah dan menghijaukan area penyangga di sekitar kawasan bendungan.

"Kalau digali terus, percuma, kalau sedimentasi tak ditanggulangi," katanya.

Sementara itu, Pemkot Samarinda mendukung upaya pengerukan ini dengan memberikan lahan 20 hektare untuk penampungan kerukan sedimentasi.

Lahan yang disiapkan dua tahun lalu itu letaknya tak jauh dari lokasi bendungan, persisnya di dekat lokasi mendayung.

"Awalnya kita mau sedimentasi dibuat nutup lubang tambang. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, dan makan biaya besar, jadi di taruh di lahan yang 20 hektare itu saja," kata Asisten 2 Bidang Ekonomi Pemkot Samarinda, Endang Liansyah Sabtu (8/6/2019).

1 Titik Banjir Butuh Rp100 Miliar

Penanganan banjir di kota Tepian juga dilakukan Pemkot Samarinda.

Sebelumnya diberitakan, terdapat 48 titik banjir di Kota Tepian. Dari jumlah itu, baru ada dua yang diselesaikan tahun 2018 lalu.

Salah satu kendalanya, karena mahalnya ongkos menanggulangi yang mencapai Rp100 miliar per 1 titik banjir.

Jika ditotal, butuh Rp 4,8 triliun menangani semua titik banjir di kota Tepian.

Persoalan itu, diterangkan Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Samarinda, Desy Damayanti.

Dana sebesar itu, diutarakan Desy sulit direalisasikan dalam satu kali mata anggaran.

Karenanya, mereka memasukan perencanaan penyelesaian banjir dalam satu buku besar penaggulangan banjir Kota Samarinda.

Setelah semua masuk, akan dianalisis dan dipilah sub sistem atau titik banjir mana yang ditanggulangi terlebih dahulu.

"Semuanya tergantung pada tiga indikator, yakni durasi banjir, luasan banjir, dan kedalaman banjir. Kalau kita nilai tiga indikator tersebut terpenuhi, maka lokasi itu akan langsung kita tangani,” ujarnya.

Tahun ini, DPUPR Samarinda berfokus menyelesaikan persoalan banjir di tiga sub sistem.

Masing-masing berada di Jalan HAM Rifaddin, Harapan Baru, Loa Janan Ilir. (Di depan kampus IAIN Samarinda), Jalan Simpang Sempaja dan Jalan Simpang Mugirejo.

Tiga sub sistem itu dibiayai oleh anggaran Pemkot Samarinda sebesar Rp 27,5 miliar.

Dua subsistem mulai dari jalan Simpang Sempaja, sampai ke Jalan DI Panjaitan, menuju Mugirejo. Dua sub sistem ini menghubungkan jalan menuju Bandara APT Pranoto.

“Sebenarnya, setiap tahun itu kita hanya menganggarkan untuk mengerjakan dua sub sistem saja. Namun, tahun ini kita menganggarkan untuk melaksanakan pekerja di tiga sub sistem. Jalan HAM Rifaddin merupakan sub sistem tambahan yang kita kerjakan tahun ini. Untuk dua sub sistem lainnya memang akan dikerjakan,” beber Desy lagi. (dro/ink)

Subscribe official YouTube Channel

BACA JUGA:

Persib Bandung Mulai Latihan Hari Ini, tak Ada Libur Tambahan Meski Laga Kontra Arema FC Diundur

TERPOPULER - Di Depan Jenazah Soeharto, Titiek dan Mamiek Usir Mayangsari, Begini Reaksi Halimah

TERPOPULER Penerimaan CPNS 2019 Dibuka Setelah Lebaran, BKN: Dibutuhkan 254 Ribu ASN, Ini Rinciannya

Bukan Lagi Lajang, Inilah Sederet Artis yang Pertama Kali Rayakan Idul Fitri 2019 Bersama Pasangan

Unik, Inilah 21 Ucapan Lebaran Berbentuk Pantun, Cocok untuk Update Status atau Dibagi Via Medsos

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved