G30S/PKI Pecah di Jakarta, Kesaksian Koesman, Gejolaknya Juga Merembet ke Balikpapan Kaltim
G30S/PKI ini disangkut pautkan dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia atau PKI, siapa pun yang berhubungan dengan PKI maka akan ditindaklanjuti.
Penulis: Ilo | Editor: Cornel Dimas Satrio Kusbiananto
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Pecahnya Gerakan 30 September 1965 atau yang diistilahkan dengan sebutan G30S/PKI ternyata terasa juga hingga ke Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.
Sejarah yang dianggap kelam ini merenggut nyawa 7 pahlawan revolusi dan 3 Anumerta di Jakarta.
Adanya kejadian ini kemudian munculah pembersihan yang dianggap ada sangkut pautnya dengan peristiwa G30S/PKI.
Saat itu, peristiwa G30S/PKI ini disangkut pautkan dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia atau PKI, siapa pun yang berhubungan dengan PKI maka akan ditindaklanjuti ditahan atau diintogerasi, termasuk hal ini dilakukan sampai ke Kota Balikpapan.
Hal ini diketahui secara langsung oleh Koesman, tokoh di Kota Balikpapan yang kini sudah memasuki usia senja, pernah hidup merasakan di era gelombang revolusi Indonesia dan pergolakan politik G30S/PKI.
Di tahun 2017, Tribunkaltim.co sempat meluangkan waktu bersua, berbincang dengan Koesman mengenai hal ini, bercerita gejolak G30S/PKI yang dirasakan di bumi Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dirinya membuka cerita dari peristiwa pecahnya pembunuhan para jendral di Kota Jakarta di tahun 1965, berdampak meluas hingga ke Kota Balikpapan Kalimantan Timur.
Pembersihan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikaitkan dalam gerakan pembunuhan para jenderal revolusi, dilakukan secara gencar.
Nah, sosok Koesman satu di antara orang yang pernah mengalami zaman ini, di saat usainya memasuki sekitar umur 40 tahun.
Ditemui di kediamannya di Jalan Panjaitan, Kelurahan Sumber Rejo Kota Balikpapan, Koesman bercerita masa silam, era yang diistilahkan sebagai Pemberontakan 30 September atau yang populer disebut G30S/PKI.
Raut wajah Koesman yang sekarang sudah keriput, masih ingat peristiwa yang dianggapnya memilukan tersebut.
“Sedih juga. Sesama saudara sendiri sebangsa setanah air kenapa harus terjadi pembunuhan,” ujarnya pada Rabu 27 September 2017.
Waktu tahun 1965, Koseman belum bertempat tinggal di Sumber Rejo.
Saat era orde lama, Koseman menempati di wilayah Gunung Empat.
“Rumah saya masih di Gunung Empat. Sudah berkeluarga. Punya istri dan anak,” kata pria bernama lengkap Prajitno Joyodiharjo Koesman.
Selama zaman kemerdekaan perang dunia kedua, Koseman dikenal sebagai intelejen tentara rakyat Indonesia di perang Sangasanga Kutai Kartanegara.
Dan berlanjut sebagai sukarelawan yang tergabung di gerakan konfrontasi dengan Malaysia.
Usai Indonesia berdaulat, merdeka dari Belanda dan Jepang, Koesman tidak lagi menjadi bagian dari tentara, atau yang dahulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Jalan hidup yang dipilih Koesman kala itu sebagai orang sipil, veteran perang.
Dirinya bekerja di perusahaan swasta perminyakan, yang waktu itu masih bernama BPM dan tergabung dalam serikat buruh yang berbasiskan organisasi NU atau Nahdlatul Ulama.
Dia mengaku, tahun 1965 sebelum ada peristiwa pembunhan para jendral di Kota Jakarta, Kota Balikpapan banyak diisi orang-orang yang berafiliasi dengan PKI.
Terutama warga masyarakat yang mendiami daerah di Gunung Empat Kota Balikpapan.
“Di Gunung Empat banyak simpatisan organisasi yang berada di bawah PKI. Saya ingat ada Pemuda Rakyat, ada Barisan Tani Indonesia dan Gerwani,” urainya.
Setelah ada kabar pasukan cakrabirawa menculik dan membunuh para jendral di Jakarta, warga Balikpapan juga telah mengetahui informasinya, tak terkecuali Koesman.
Kabar panasnya politik di Jakarta sampai ke Balikapapan didapat Koesman dari siaran radio yang ada di perumahan karyawan perusahaan minyak.
Nah, Koesman waktu itu menumpang mendengar radio di rumah orang karena di rumahnya belum terlairi listrik dan tidak memiliki radio.
“Satu radio didengar banyak orang. Yang mendengar banyak sekali, bukan saya sendiri. Orang-orang sampai mengerubungi radio,” katanya.
Informasi yang terpancar di radio itu disampaikan secara langsung oleh Kolonel Untung, pemimpin pemberontak 30 September.
Kala itu, Koesman ingat, pesan yang disampaikan bahwa peristiwa duka di Jakarta itu dianggap momen biasa.
Kejadian jelang dini hari itu merupakan perebutan kekuasaan dari orang-orang yang dicap sebagai kapitalis, pro negara barat.
Kolonel Untung bilang di radio bagi prajurit yang ikut berjuang, yang pro PKI dinaikkan pangkat dua tingkat.
Yang tidak pro pada PKI tidak naik pangkat.
• Kejinya Aksi G30S/PKI, Jenderal A Yani Alami 13 Luka Tembak dan MT Haryono Penuh Luka Tusuk
• Kisah Kiriman Patung dari Sosok Misterius Kepada Soeharto Sebelum Pecahnya G30S/PKI
"Seakan para Jendral itu disamakan dengan Untung yang masih berpangkat kolonel,” tutur Koesman.
Memasuki tahun 1965, nakhoda Kodam Mulawarman, Pangdam Suharyo alias Hario Kecik sudah digantikan oleh Pangdam kelahiran Probolinggo bernama Soemitro, yang jabatan sebelumnya sebagai Ketua Dewan Perencana Angkatan Darat di tahun 1963.
“Yang saya tahu Pangdam Sumitro itu tidak pro PKI. Dikenal orang yang dekat sama agamawan. Dalam setiap waktu Pangdam Sumitro rajin bertemu dengan ulama, pastor, pendeta,” urainya.
Begitu ada kejadian pembunuhan jendral yang dikatakan didalangi orang-orang PKI dan beberapa tentara militer, keadaan Balikpapan berganti wujud.
Warga di beberapa tempat pasang kuda-kuda, berjaga diri di tempat tinggalnya masing-masing.
Alasannya, jelas Koesman, untuk menghindari dari ancaman serangan dari orang-orang yang dekat dengan PKI.
Peristiwa di Kota Jakarta dianggap berbahaya, ditakutkan merembet ke daerah Balikpapan, karena itu ada warga yang mewaspadai.
• G30S/PKI, Dugaan Kudeta Merangkak Mayjend Soeharto dan Pembangkangan Perintah Soekarno
• Berbeda dengan yang Diberitakan, Inilah Pengakuan Dokter yang Otopsi Jasad Korban G30S/PKI
“Bekas pejuang, orang yang tidak pro PKI seperti orang-orang PNI, Masyumi, Pemuda Anshor, pemuda katolik, berjaga-jaga. Takut kalau juga dapat serangan dari orang-orang pengikut PKI,” katanya.
Apalagi di Gunung Empat tempat tinggal Koesman, kepala lingkungan dan Ketua RT sebagai gembong organisasi Pemuda Rakyat, terlibat dalam Perbum dan Barisan Tani, yang ditakutkan orang-orang ini memobilisasi warga untuk membuat kericuhan.
“Saya ikut Pemuda Anshor. Saya ikut Sarekat Buruh Minyak dan Tambang di bawah ormas Nadhlatul Ulama. Saya sudah siap kalau ada apa-apa. Teman-teman sekitar saya juga sudah siap,” ungkapnya.
(Tribunkaltim.co/BudiSusilo)