Dandhy Laksono dan Ananda Badudu Ditangkap, Presiden Joko Widodo Balik Badan: Sudah Ya Terima Kasih
Reaksi Presiden Joko Widodo saat ditanya penangkapan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu oleh Polda Metro Jaya
Penulis: Rafan Arif Dwinanto | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Reaksi Presiden Joko Widodo Soal Penangkapan Dandhy Laksono dan Ananda Badudu, Balik Badan, Sudah Ya Terima Kasih
Presiden Joko Widodo bergeming ketika ditanya soal penangkapan dua aktivis Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu oleh Polda Metro Jaya.
Presiden Joko Widodo bahkan balik badan setelah pertanyaan itu dilontarkan oleh awak media pada dirinya usai salat jumat di Komplek Istana Negara, Jumat (27/9/2019).
• Awkarin, Ananda Badudu, dan Dandhy Laksono di Tengah Kisruh Demo, Pengamat Beda Suara
• Polisi Beberkan Alasan Penangkapan Dandhy Dwi Laksono, Postingan di Medsos Jadi Penyebab
• Jadi Tersangka UU ITE, Dandhy Dwi Laksono Ajak Publik Fokus Soal Papua dan Mahasiswa Tewas
Awalnya Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers soal meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Randi dan Yusuf Kardawi dalam aksi unjuk rasa di depan DPRD Sulawesi Tenggara.
Presiden Joko Widodo bahkan menjawab pertanyaan dari awak media soal kekerasan polisi yang represif saat mengamankan aksi demo dari para mahasiswa.
Namun, saat ditanya soal penangkapan Dandhy dan Ananda, orang nomor satu di Indonesia itu langsung bungkam.
"Sudah ya terima kasih," ujar Presiden Joko Widodo langsung balik badan meninggalkan awak media.
Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya memulangkan musisi yang juga mantan wartawan Ananda Badudu.
Nanda sebelumnya diperiksa terkait aliran dana kepada mahasiswa saat unjuk rasa 24 dan 25 September 2019.
Menurut Ananda pembebasan dirinya merupakan bentuk jaminan hukum yang hanya didapatkan oleh sedikit orang.
Ananda mengungkapkan banyak mahasiswa yang ditangkap saat aksi di depan Gedung DPR/MPR tidak mendapatkan pendampingan hukum yang layak.
"Saya salah satu orang yang beruntung punya privilege untuk bisa segera dibebaskan.
Tapi di dalam tadi saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingan, diproses dengan cara-cara tidak etis," ujar Ananda.
Menurut Ananda, para mahasiswa tersebut justru membutuhkan bantuan yang lebih besar dibanding dirinya.
"Mereka butuh pertolongan lebih dari saya," tutur Ananda sembari terisak menangis.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono membantah pernyataan mantan vokalis Banda Neira Ananda Badudu yang menyebut para mahasiswa yang ditangkap tidak mendapatkan pendampingan hukum.
Menurut Argo, para mahasiswa yang ditangkap saat unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR telah mendapatkan pendampingan hukum.
"Kita siapkan penasihat hukum juga di sana.
Kita wajib untuk menyiapkan yang ancamannya di atas lima tahun. Kita menyiapkan semuanya," ujar Argo.
Selain itu, Argo memastikan bahwa seluruh mahasiswa telah dipulangkan. Sehingga tidak ada lagi yang tersangkut kasus hukuk di Polda Metro Jaya.
"Semua sudah dipulangkan. Jumlahnya nanti kita cek, karena banyak yang ditangani Resmob, Krimsus, dan Krimum," ujar Argo.
Dandhy Laksono Tersangka
Polisi membeberkan alasan pihaknya menetapkan pendiri WatchdoC, Dandhy Dwi Laksono sebagai tersangka dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono, menyebut Dandhy menyebarkan cuitan di akun Twitternya terkait Papua pada 23 September 2019.
Menurut Argo, cuitan tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Berawal dari postingan di media sosial milik DDL, postingan dalam tulisan itu menggambarkan kegiatan di Papua yang belum bisa dicek kebenarannya," ujar Argo.
Diketahui Dandhy ditangkap di kediamannya Jalan Sangata 2 Blok i-2 Nomor 16, Jatiwaringin Asri, Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat pada Kamis(26/9) pukul 23.00 WIB.
Dandhy sempat diperiksa oleh kepolisian terkait cuitannya akun twitter soal kerusuhan di Wamena, Papua.
Dandhy kemudian dilepaskan oleh kepolisian pada Jumat pagi. Namun, ia ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE.
Sementara, Ananda Badudu ditangkap pada Jumat pagi di kosnya wilayah Jakarta Selatan.
Argo menyebut, cuitan Dandhy tersebut diduga bisa memprovokasi masyarakat untuk membenci suatu kelompok tertentu.
"Postingan itu mengandung ujaran kebencian dan isu SARA. Makanya tadi malam, kita lakukan penangkapan," tutur Argo.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak Kepolisian untuk membebaskan Jurnalis 'Sexy Killers' Dandhy Dwi Laksono.
Sekjen AJI Indonesia, Revolusi Riza menilai penangkapan terhadap Dhandy sangatlah tidak berdasar.
"Karena itu AJI Mendesak Polda Metro Jaya melepaskan Dandhy dengan segera dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum," katanya.
Menurutnya, penangkapan terhadap Dandhy ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.
"Kasus penangkapan juga bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi," pungkasnya.
Penasihat Hukum Dandhy Dwi Laksono, Alghiffari Aqsa meminta kepada aparat kepolisian agar membebaskan kliennya dari proses hukum.
"Kami mendesak agar penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penyidikannya dan membebaskan segera saudara Dandhy Dwi Laksono," kata Alghiffari.
Dandhy telah dijadikan tersangka atas tuduhan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan/Atau Pasal 14 dan Pasal 15 KUH Pidana karena alasan status/posting di media twitter mengenai Papua. Menurut Alghiffari, upaya penangkapan ini menunjukkan perilaku reaktif Kepolisian Republik Indonesia untuk isu Papua.
Dia menilai, apa yang dilakukan aparat kepolisian sangat berbahaya bagi perlindungan dan kebebasan informasi yang dijamin penuh oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
"Penangkapan ini merupakan bentuk pembungkaman bagi pegiat informasi, dan teror bagi pembela hak asasi manusia," kata dia.
Untuk itu, dia meminta, aparat kepolisian supaya menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) yang sepenuhnya dijamin konstitusi RI dan tidak reaktif serta brutal dalam menghadapi tuntutan demokrasi.
Dia menambahkan, pelanggaran HAM di Papua terus terjadi tanpa ada sanksi bagi aparat, dan media/jurnalis pun dihalang-halangi dan tak bebas menjalankan tugas jurnalis di Papua.
"Orang-orang yang menyuarakan informasi dari Papua seperti Dandhy justru ditangkap dan dipidanakan," ujar Alghiffari.
Juru Bicara GEBRAK Damar Panca mengecam penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap Dandhy Laksono.
Menurutnya, penangkapan ini sebagai upaya pembungkaman terhadap orang-orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Mereka yang kritis dibungkam dengan pasal karet UU ITE.
"Kami menganggap pasal-pasal karet dalam UU ITE ini menyasar orang seperti Dandhy yang memblejeti kebijakan pemerintah. Ia belakangan mengkritik kebijakan pemerintah terhadap Papua melalui sosial media dan debat terbuka dengan politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko.
Ia juga menggunakan pengaruh di sosial media dengan pengikut 71 ribu di platform Twitter untuk mengemukakan gagasannya," katanya.
Menurutnya penangkapan Dandhy merupakan preseden buruk terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28E ayat (3). Isinya, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
"Kebebasan berpendapat merupakan hal vital yang menjaga demokrasi.
Sebab, kelompok marjinal dan tertindas, seperti buruh, membutuhkan jaminan kebebasan berpendapat untuk melawan penindasan.
Hak dasar ini juga mutlak wajib dijamin negara agar berbagai persoalan dapat diselesaikan secara damai dan tidak terkanalkan dalam kekerasan-kekerasan yang tidak diperlukan," katanya.
Oleh karena itu pihaknya mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya membebaskan Dandhy Dwi Laksono.
Selain itu, buruh dan rakyat juga mendesak agar kepolisian tetap bersikap profesional dengan tetap objektif tanpa terpengaruh kepentingan politik.
Ketua DPP PAN Yandri Susanto heran dengan tindakan polisi yang memeriksa sejumlah orang yang ditenggarai membantu aksi unjuk rasa mahasiswa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menurut Yandri membantu orang melakukan aksi unjukrasa merupakan hal biasa.
"Orang membiayai demo itu biasa sebenarnya biasa, membantu air minum sebenarnya biasa, kendaraan konsumsi itu biasa, jangan juga orang yang berkontribusi untuk menyalurkan pendapat ke hadapan umum semua dibungkam itu engga bagus," ujar Yandri.
Menurut Yandri dalam negara demokrasi aksi unjuk rasa seharusnya dijaga.
Terkecuali bila unjukrasa sudah mengarah pada tindakan anarkis.
Begitu pula terhadap mereka yang membantu kegiatan unjukrasa, polisi seharusnya melakukan pendekatan komunikasi terlebih dahulu, bukan langsung melakukan penangkapan atau pemeriksaan.
"Kalau ada yang membiayai mensupport untuk menyampaikan pendapat di muka umum, saya kira tidak perlu langsung ditangkap perlu ada nya pendekatan komunikasi yang lebih baik," katanya. (*)