Pailan di Balikpapan Dituduh Terlibat dalam G30S/PKI, Ditodong Senjata Api dan tak Dapat Gaji Lagi

Bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek hitam, Aloysius Pailan (78), duduk bersantai di pelataran depan rumahnya yang berwarna biru.

Penulis: Ilo |
Tribunkaltim.co/Budi Susilo
Pailan, korban politik era tahun 1965 dan jadi tahanan politik gejolak G30S/PKI di Balikpapan, Kalimantan Timur. 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMBOJA - Sebelum pecahnya Gerakan 30 September di Jakarta, terdapat beberapa pendukung garis Partai Komunis Indonesia atau PKI di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Gejolak Gerakan 30 September atau yang biasa dikenal G30S/PKI di Jakarta meledak, berimbas juga ke berbagai daerah, termasuk di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Di antara mereka, ada yang berasal dari pihak militer di Kota Balikpapan yang dituduh terlibat dalam rangkaian gelombang G30S/PKI.

Punya Karier Militer Cemerlang di Usia Muda, Pierre Tendean Lenyap Dalam Malam Tragis G30S/PKI

Milenial Balikpapan Menatap Suguhan Film G30S/PKI dan Mengenal Arifin C Noer

Kisah Tapol G30S/PKI di Balikpapan, Dituduh Ikut Pemuda Rakyat, Dipecat dari Tentara dan Diisolasi

Pengaruh PKI Susupi Seni Ludruk Proletar, Aksinya Tenar di Balikpapan Sebelum G30S/PKI Meledak

Kemudian mereka ini menjadi tahanan politik dicap sebagai satu rangkaian politik Partai Komunis Indonesia. Ini dicap saat era Soeharto menancapkan kekuasaannya di Jakarta.

Belum lama ini, Tribunkaltim.co bersua dengan beberapa tahanan politik yang dicap G30S/PKI yang merupakan bekas tentara, yang dipenjara, diisolasi ke tempat terjauh dari Kota Balikpapan dan berstatus sebagai tahanan politik G30S/PKI.

Begini kisahnya. Bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek hitam, Aloysius Pailan (78), duduk bersantai di pelataran depan rumahnya yang berwarna biru campur abu-abu, di Jalan Rajawali, Kelurahan Argosari, Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

Pria kelahiran Kota Malang itu bukan warga sipil yang ikut transmigrasi tetapi merupakan tahanan politik yang dituding ikut PKI dari kalangan militer.

Pangkat terakhir Pailan ialah Kopral Dua, bertugas di Batalyon 612.

Pailan dituding masuk dalam gerakan pemberontakan September PKI.

Pailan ditahan masuk penjara sekitar tahun 1970.

Awal mula sebelum dipenjara, Pailan kaget, secara spontan dihadang rekan-rekannya sesama militer. 
Mau berangkat tugas, tiba-tiba di tengah jalan ditodong senjata.

“Yang lakukan teman-teman saya satu asrama. Saya tanya, saya salah apa ? Kenapa ditodong senjata. Saya dipaksa takluk,” katanya kepada Tribunkaltim.co pada Selasa 26 September 2017 lalu. 

Usai berhasil diringkus, Pailan dibawa ke markas Polisi Militer, sempat diinapkan selama empat hari.

Usai itu dibawa ke tempat lain ke Kodim Balikpapan, dilakukan pemeriksaan atas sepak terjang dirinya. 

“Saya tanya ke orang yang memeriksa saya. Saya bilang ini memeriksa saya atau apa mau menyiksa saya. Kalau memeriksa saya harusnya dengarkan saja, bukan menggebuk,” ungkap pria kelahiran 24 April tahun 1939 ini. 

Kala itu, Pailan dituduh terlibat dalam kegiatan pembunuhan para jenderal di Kota Jakarta.

Hal ini dia bantah, sebab selama berlangsung pembunuhan jenderal, Pailan berada di Balikpapan.

“Dituduh membunuh jenderal. Bagaimana mungkin saya bunuh jenderal, sedangkan saya bertugas di Balikpapan, tidak pernah tidak hadir,” ujarnya.

Tempat tahanan Pailan selalu berpindah-indah dan tiada henti-hentinya disiksa.

“Bekas luka siksaan kering sedikit, dipanggil lagi. Pindah sana, pindah sini. Saya disetrum sampai lima kali. Mendapat pukulan, gigi depan rusak hingga kepala saya dihajar, berdarah,” ujarnya. 

Pernah suatu ketika, dirinya dibebaskan secara simbolik di lapangan Merdeka Balikpapan, dengan tahanan yang lainnya. Namun dalam perjalanannya, tidak mendapat kebebasan secara nyata.

 “Habis dibebaskan masih harus apel. Saya tidak dapat gaji, tidak jelas apakah saya pensiun dini dari tentara, atau seperti apa," ungkap Pailan. 

Hidup terkatung-katung,” kata Pailan yang mengaku ayah kandungnya pernah terlibat dalam perang melawan penjajah Belanda di Kota Tarakan. 

Pailan masuk militer sejak dirinya merantau dari jawa ke Balikpapan di tahun 1962.

Awalnya masuk ke Kepolisian yang ada di Stall Kuda.

Di perjalanannya, ikut pendidikan kepolisian selama tiga bulan lalu dikeluarkan.

“Saya dianggap tidak bagus dalam mengerjakan tugas membersihan bak air. Saya keluar coba masuk tentara. Diterima,” katanya. 

Masuk tentara hingga akhirnya ditangkap aparat, dianggap ikut berpolitik hingga akhirnya berujung dilibatkan dalam pendistribusian penduduk ke daerah terpencil, ke hutan Amborawang, bersama tahanan politik lainnya. 
Kini tempat ini disebut Agrosari.

“Ada instruksi siapa yang mau mukim nanti dikasih, diberi fasilitas,” ujarnya.

Namun program pemindahan itu janji tinggal janji tanpa dibarengi bantuan faslitas yang memadai.

“Katanya mau disediakan rumah, lahan dua hektar, perlengkapan tidur, rumah tangga. Tetapi tidak benar, bohong,” ungkap Pailan. 

Soal lahan, Pailan bersama tahan politik lainnya mesti merintis lahan dahulu menjadi kawasan pemukiman.

Masuk ke Amborawang, Kutai Kartanegara masih hutan belantara.

Meratakan tanah pakai tenaga sendiri, menebang pohon dengan menggergaji sendiri, membangun rumah sendiri. Masuk ke hutan masih liar rimba belantara. 

“Pernah kami tidak dapat kiriman makan," tuturnya. 

Cari sendiri di hutan, ketemu umbut rotan muda, kami olah jadi makanan.

Untungnya kita para tentara sudah biasa menghadapi alam hutan, sudahterlatihhidup di hutan.

"Menanam singkong lalu dimakan babi hutan tetap saja sisanya saya makan,” ujarnya.

Sisi lainnya, Muradi adalah bagian satu di antara tentara Angkatan Darat waktu itu, yang terseret dalam gejolak politik 30 September 1965.

"Saya dituduh ikut Pemuda Rakyatnya PKI. Saya bilang saya tidak pernah ikut Pemuda Rakyat," tuturnya kepada Tribunkaltim.co di Argosari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, sekitar akhir September 2017 lalu.

Sebagai tentara yang pernah menempuh pendidikan tempur, Muradi pernah ditempatkan bertugas di Batalyon 609 dan menjadi penjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman.

Tugas negara ini dia emban sebelum dirinya ditangkap di tahun 1970 sebagai tahanan politik atau tapol PKI.

"Sedih. Saya masih sakit kalau ingat sampai sekarang," ungkapnya. 

Dahulu saya sempat mau gila.

"Untung teman-teman saya yang tapol memberi dukungan moril," ujarnya.

Kronologis Muradi ditangkap awalnya sepulang dari dinas dan ingin pulang ke asrama tentara tiba-tiba ada rekan tentara yang lainnya datang menghampiri.

"Saya sudah tiba di asrama. Buka sepatu, lalu datang teman saya.

Di bilang saya dipanggil sama komandan," ungkapnya.

Petunjuk tersebut Muradi layani.

Pergi kekomandannya, menghadap langsung pada hari itu juga.

Setiba di lokasi diintogerasi, langsung mengarah kalau dirinya terlibat pada kegiatan politik di Pemuda Rakyat.

"Tidak tahu apa-apa soal Pemuda Rakyat," tuturnya.

Muradi mengaku, tidak bergabung di Pemuda Rakyat namun hanya mengenal orang-orang Pemuda Rakyat.

Karena pada saat itu dirinya pernah ditugaskan untuk menjaga tapol yang sudah ditangkap.

Yang kebanyakan adalah warga sipil yang tergabung dalam Pemuda Rakyat.

Pada rentang waktu tahun 1965 sampai 1969, Muardi masih tentara.

Pria kelahiran Nganjuk ini pernah berjaga, ditugaskan untuk mengamankan orang-orang tahanan PKI di Pelengkung.

"Setiap apel kenal saja. Saya kenal orang-orang PKI dari tahanan waktu jam menjaga," katanya.

"Kenal bukan dari bergabung di Pemuda Rakyat," katanya.

Atas tuduhan berfusi dalam Pemuda Rakyat, Muradi dijebloskan kepenjara tanpa melalui proses pengadilan.

Momen ini terjadi sekitar tahun 1970. Tuduhan yang dialamatkan ke dirinya membuat Muradi murung, sakit hati.

Muradi merasa difitnah, selama dirinya menjadi tentara tidakpernah masuk ke dunia politik praktis.

"Ditodong senjata. Saya disuruh melepas semua seragam tentara saya," ujarnya.

"Disuruh angkat tangan lalu masuk ke sel penjara," tutur Muradi yang lahir pada 6 Maret 1942 ini.

Anehnya, selama di penjara Muradi tidak pernah mendapat kabarakan disidangkan di pengadilan militer.

Perlakuan Muradi di penjara sebaliknya, dianggap seperti bukan manusia.

Nah, Muradi mendapat siksaan fisik yang pedih.

Tubuhnya yang masih muda, waktu itu sering mendapat bogeman mentah, dituduh Pemuda Rakyat.

"Awalnya saya dikasih makan. Sudah selesai makan dihantam sana sini. Badan disiksa," ujarnya.

Paling menyedihkan lagi, Muradi pernah diborgol bersama tahanan politik lainnya.

Pemborgolan Muradi berbarengan dengan tahanan lainnya.

Saat akan buang air kecil dan air besar, tidak dilepas harus sama-sama dengan kawan yang diborgol.

"Tangan saya diborgol. Sampai sakit pergelangan tangan saya," kata Muradi.

(Tribunkaltim.co/BudiSusilo)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved